Part 14 : Air Mata Si Gadis Cantik

142 23 4
                                    


Langit kala itu berwarna gelap. Semburatnya menyebarkan sendu. Membuat siapa saja di dalamnya merasa jadi kelabu. Mengusir lelap dalam tenggelamnya siang, mengiris asa dalam riuhnya malam.

Kirana membaca surat dari Rayyan secara seksama. Membuka kotak, lalu menyentuh cincin bermata satu itu dengan perlahan. Sendu matanya menyorotkan kesedihan. Ia tidak tahu maksud dari untaian kata yang ditorehkan Rayyan. Apakah perpisahan? Ataukah sebuah harapan?

Kirana menyentuh logo bergambar telepon berwarna hijau di handphone-nya. Ada nama Rayyan di sana. Nihil, bahkan operator itu berkata bahwa nomor itu sudah tidak bisa dihubungi lagi.

Gadis itu mulai berpikir kembali. Kenapa Rayyan pergi, setelah menyatakan perasaan padanya? Meninggalkan tanpa bisa bertanya kabar, adalah sebuah penyiksaan yang nyata.

Tapi kalimat terakhir dalam surat itu menghujam dalam dadanya. "Jangan menikah dengan orang lain," ucapnya. Ada seulas senyum yang muncul di sana, diiringi bulir air mata yang turun perlahan dari lensa hazelnya.

Cincin itu, akhirnya memasuki jari manis yang dikehendaki oleh sang tuan. Terpasang dengan manis, walau sedikit terasa longgar.

Suara ketukan pintu menghentikan buaian rindu itu. Terlihat ada Bi Mar di sana, membawakan makanan untuk Kirana.

"Non Sayang, makan dulu ya," ucapnya lembut. Matanya menangkap wajah pucat Kirana yang semakin hari semakin redup.

Setelah meletakkan nampan di atas meja kecil, Bi Mar duduk di pinggir ranjang. Menyentuh jari-jari Kirana perlahan.

"Non, mau Bibi antar ke rumah sakit lagi?"

"Gak apa-apa, Bi. Belum jadwalnya ketemu dokter." Bi Mar tiba-tiba saja mengeluarkan air matanya.

"Non, tambah kurus ...." Tangan keriputnya menyentuh pipi Kirana yang putih. Mengusap lembut lalu menyadari bahwa tulang pipi itu semakin lama semakin menegas.

"Bibi gak usah khawatir. Sebentar lagi aku sembuh." Gadis itu tersenyum. Lalu tiba-tiba saja mata Bi Mar membulat. Kirana heran, mengapa ekspresi Bi Mar berubah seketika.

"Non!" Bi Mar berdiri, lalu segera mengambilkan tissue untuk Kirana. Membantu mengelap cairan kental berwarna merah yang turun dari kedua lubang hidung bangirnya.

Kirana hanya tersenyum kecil, "Gak apa-apa Bi, ini emang dari tadi keluar-keluar terus. Kepala Kirana jadinya pusing." Ada senyum yang dipaksakan di sana. Hanya ingin menenangkan hati Bi Mar saja.

"Non Kirana ... cepat sehat, ya, Non." Bi Mar memeluk gadis itu dengan hangat dan erat. Rambatan kasih dari Bi Mar merasuki hati Kirana dengan lembut. Ada aliran rasa syukur yang mengalir dalam dada gadis itu. Karena telah Allah kirimkan manusia yang tidak sealiran darah dengannya, namun terkoneksi batin dengan begitu indah.

Setelah selesai memeluk Kirana, Bi Mar tersadar, ada yang berbeda dari deretan jari-jari Kirana. Menimbulkan senyum lebar dan bahagia di sana.

"Ecieeee ... udah ada yang kasih cincin nih, kayaknya!" ucapnya meledek.

Bibir gadis itu terangkat, diiringi derai tawa yang keluar begitu saja.

"Belum cerita kayaknya nih, Bibi belum dapet gosip terbaru."

"Apaan, sih, Bi!" Kirana mendelik sambil mengulum senyum. Malu.

"Siapa, Non? Udah dilamar, ya?" Bi Mar, percis seperti ibu-ibu yang sedang ngerumpi di depan gerobak sayur abang-abang.

"Kasih tahu ... gak, ya?"

"Non mah, gak asik!" tawa Kirana pecah. Ia gemas dengan tingkah kepo Bi Mar yang seringkali memang natural.

Diari Kirana Kejora [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang