Part 6 : Diari Kirana ...

206 35 15
                                    

"Jakarta, Jum'at, 15 Februari 2013.

Hai, Pa, Ma, gimana kabarnya? Hari ini Kirana bagi rapot. Bi Mar nemenin tadi. Guru kelas kasih pengumuman. Katanya, Kirana dapet juara dua. Wah, bahagia banget, Pa, Ma.

Kelas Kirana itu kelas unggulan. Susah buat masuk tiga besar di sana. Saingannya berat-berat. Kirana inget, kemarin-kemarin begadang setiap hari cuma buat latihan soal-soal. Persiapan ujiannya susah. Bahkan, sampe Bi Mar marahin Kirana. Katanya, jangan kecapekan. Tapi Kirana nolak. Pokoknya, Kirana harus jadi juara di kelas. Soalnya takut Papa marah lagi kayak waktu itu.

Eh, bener aja ... Kirana mimisan. Tapi gak parah kok, Ma, Pa. Setelah itu langsung tiduran, besokannya Kirana belajar lagi. Biar Mama sama Papa bangga sama Kirana.

Tadinya, Kirana pikir, dengan hasil yang kayak gitu bakalan bikin kalian bahagia punya anak kayak Kirana. Tapi ternyata masih kurang, ya?

Kenapa Papa malah bentak Kirana? Papa ingin  Kirana juara satu, ya? Maaf, ya, Pa.

Juara satunya Anita, bukan Kirana.

Mungkin emang masih kurang usahanya. So sorry, lain kali Kirana gak usah istirahat aja, dan terus belajar sampe ngerti. Sampe Kirana MATI!

Gak apa-apa, kalian pasti senang kan ya?"

Aku menulis diariku lagi. Masih sama dengan sebelumnya. Penuh dengan air mata, hingga bulir-bulir air itu meninggalkan bekas bulat-bulat yang banyak di atas kertas.

Pembagian rapot kala itu, Bi Mar yang akhirnya menemaniku. Papa ada pertemuan bisnis keluar kota. Mama ... ada arisan bersama kawan-kawannya. Sudah kuminta untuk menunda dulu pertemuan arisan itu untuk menghadiri pembagian rapotku. Namun Mama bilang, arisan ini adalah kolega-kolega Mama dalam bisnis juga. Kalau Mama tidak datang, nanti kerja sama jadi tidak lancar. Mama meminta pengertian padaku. Lagi dan lagi, aku selalu berusaha untuk mengerti.

Tak apa, ada Bi Mar. Yang selalu setia menemani ke mana pun diri ini pergi.

Malam harinya, ketika semua sudah berkumpul di rumah, Mama dan Papa menanyakan rapotnya. Mendadak mereka peduli sekali.

Seperti sedang dinilai oleh juri, dadaku berdegup kencang. Aku seperti siap menerima penghakiman. Mata mereka memeriksa dengan teliti. Mama terlihat membisikkan sesuatu pada papa. Hingga akhirnya, suara itu terbuka juga.

"Kirana, cuma dapet juara dua?"

Kan, sudah kuduga. Pasti akan berakhir seperti ini.

"Iya, Pa."

"Juara satunya siapa, Sayang?" Lebih lembut mama berkata. Namun, tetap saja mereka ada di kubu yang sama.

"Anita, Ma."

Mata papa menyipit. Dahinya mengernyit.

"Kok bisa? Papa lesin kamu biayanya jutaan, lho!"

Ya benar, pebisnis ini memang tidak pernah mau rugi.

"Tapi, kan, Kirana masih dapet juara."

"Tapi gak juara satu!" Suaranya menekan. Berhasil membuatku tertekan.

"Kirana udah berusaha, Ma ...." Aku berusaha meraih simpati mama kali ini. Berharap hatinya lebih lembut dari sosok menyeramkan di hadapan yang sedang menatap nyalang.

Tapi hanya kudapatkan kecewa. Ternyata mama diam saja. Menundukkan kepala dengan ekspresi kecewa juga.

Kenapa harus kecewa? Di mana letak salahnya? Dalam hati aku terus bertanya. Tak henti berkata dan kujawab sendiri dalam senandika yang kureka-reka.

Diari Kirana Kejora [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang