Part 4 : Hai, Namaku Alisha.

173 37 15
                                    

Rendy Pandugo memasuki ruangan itu dengan tertunduk. Karyawan GMN satu per satu mulai melihat ke arahnya. Mengernyitkan dahi mereka dengan pertanyaan yang berputar di kepala.

"Dia kenapa?"

"Rendy kok bonyok gitu ya?"

"Digebugin siapa dia?"

Bisik-bisik halus itu terucap pelan namun masih bisa terdengar oleh Rendy. Terburu-buru ia melangkah agar segera masuk dalam ruangannya, menghilangkan tubuhnya dari keramaian. Bahkan ia tak menyapa siapapun di sana.

"Sialan! Gue cari lo sampe ke lubang semut!" rutuk Rendy setelah ia menutup pintu. Napasnya memburu. Gejolak dalam dadanya begitu bergemuruh. Tangannya mengepal keras. Bahkan urat-urat di tangan itu menyembul keluar. Ah, Rendy Pandugo si tampan rupawan, wajahnya memar berkat bogem mentah dari luapan emosi kawan sendiri.

Pada hari itu, Rayyan bahkan tetap masuk seperti biasa. Ia paham betul bahwa ia salah. Namun,  mundur dan menjadi pengecut bukanlah dirinya. Saat benar ia akan maju dengan berlari. Saat salah, ia tak akan mundur walau selangkah.

Laki-laki gondrong itu menghadapi hidupnya dengan sangat berani.

Hidup pas-pasan sejak kecil, dibesarkan oleh seorang ibu yang berjuang mencari nafkah seorang diri, membuat Rayyan sangat mengerti arti hidup. Ibunya hanya seorang penjahit. Penjahit cantik, namun tidak berniat untuk menikah lagi setelah ditinggal cinta sejatinya pergi.

Di kota Yogyakarta, ibunya seorang diri merelakan harta berharga bernama Rayyan merantau sendiri di Ibu Kota. Dengan hantaran doa yang setiap hari mengalir, hingga hari ini ia berdiri dengan gagah di tempat ia bekerja kini. GMN dan dunia jurnalis, adalah dua hal yang sangat Rayyan syukuri.

Sosok tinggi itu masuk, lalu duduk di kursi tempat biasa ia bekerja. Senyum mengembang lebih lebar dari biasanya.

Di seberang mejanya sudah ada Kirana yang fokus pada layar laptop. Sesekali alisnya bertaut. Nampak berpikir keras dalam menyelesaikan deadline yang sudah menanti di depan mata. Siang ini, Kirana dan tim hendak mengerjakan tugas untuk peliputan batu bara yang kemarin sudah ditugaskan Rendy.

Mempersiapkan materi untuk nanti perjalanan ke Kalimantan nanti. Meninjau lokasi eksploitasi batu bara yang meninggalkan jejak berbahaya bagi masyarakat sekitar.

"Na," ucap Rayyan pada Kirana. Iya, betul itu Rayyan yang menghampirinya. Kirana bahkan menganga. Mendongak melihat sosok itu di hadapannya dengan tidak percaya.

"Kenapa, Yan?" Matanya masih membulat.

"Ini, makasih banyak." Kotak tupperware itu disodorkan pada Kirana.

Gadis itu langsung berdiri, segera memeriksa isi kotak apakah betul sudah kosong atau belum. "Hah? Dimakan? Habis? Serius?" Ia memutar-mutar kotak itu lalu membukanya.

Benar. Isinya habis semua. Seringai bahagia muncul dari wajah cantik itu.

"Rayyaaan ... bahagia banget makanan dari gue diabisin!" Kirana gemas. Lengannya memeluk kotak itu erat di dadanya.

Rayyan mengernyit. Menyunggingkan senyum sinis.

"Maksud gue, sampein makasih ke pembantu lo yang udah capek-capek masakin itu." Dingin dan datar Rayyan ucapkan itu pada Kirana. Menghantarkan lengkung di bibirnya yang ranum.

"Kok tau sih bukan gue yang masak?"

"Jelaslah! Anak manja kayak lo mana bisa masak di dapur? Paling kena cipratan telor ceplok juga lo teriak-teriak manggil pembantu." Rayyan mendelik. Meninggalkan Kirana yang masih tak percaya dengan ucapannya itu.

Diari Kirana Kejora [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang