Part 15 : Retak

144 27 0
                                    



Piring yang dibanting ke lantai itu menimbulkan suara nyaring dan menghentak hingga bergema di rumah besar itu. Kirana masih terdiam di dalam kamar, mendengarkan seluruh drama dengan pandangan yang kosong.

"Kamu aja yang keluar dari rumah." Suara baritonnya terdengar tenang, namun masih terdengar menggaung.

"Gak tahu diri! Kamu pikir ini hasil kerja kerasmu sendiri, hah!? Ingat, lima puluh persen rumah ini dibeli pake hasil kerja kerasku juga!" Wanita itu terdengar lebih emosional.

"Kamu yang keluar!" Bentakannya nyaring. Namun hanya dibalas senyum tipis dan sinis dari sang suami.

"Laki-laki butuh pemuasan. Kamu gak bisa, ya saya cari yang lain. Life is just as simple as that, Ros." (Hidup sesederhana itu, Ros.)

"Marriage is about commitment. Why did you do that?" (Pernikahan itu tentang komitmen. Kenapa kamu lakukan itu?)


"Commitment? What did you just say?" (Komitmen? Apa yang baru saja kamu bilang?) Laki-laki bertubuh besar itu berdecih. Lalu melanjutkan kalimatnya, "As i didn't know what you've been done out there!" (Seperti saya tidak tahu saja kelakuan kamu di luar sana!)

Rosmawati tidak peduli. Ia melanjutkan kalimat yang penuh dengan amarahnya dengan membabi buta.

"Who's that girl, hah!? Who's that whore?" (Siapa gadis itu? Siapa pelacur itu?)

Ahmad langsung menampar pipi ibu dari anaknya itu dengan begitu keras. Bahkan suaranya terdengar jelas sampai pada kamar Kirana yang ada di atas.

"Don't you dare to say that! She--is--my--wife!" (Jangan kamu berani mengatakan itu! Dia--adalah--istri--saya!)

Bagai petir yang menyambar dengan begitu keras,
"WHAT?!" Wanita itu terhuyung. Memegang kepalanya karena pandangannya mulai gelap dan mengabur.

Rosmawati menangis. Tersedu menghadapi suaminya yang keras bagai batu. Pernikahannya kacau balau. Sudah goyah sejak lama, kini bagai sebuah menara yang semakin keropos fondasinya. Hanya tinggal beberapa detik lagi, bangunan itu akan roboh dan hancur tak bersisa lagi.

"Kita cerai."

"Ahmad!" Ros terhenyak. Kalimat sakti itu telah dilontarkan sang suami. Menghujam hatinya yang kini tengah berdarah.

"Go home to your hometown." (Pulang ke kampungmu.) Laki-laki itu berdiri, lalu meninggalkan Ros yang masih tersedu di atas lantai. Tak kuat ia berdiri, hanya bisa menangisi nasib rumah tangganya yang hancur tak bersisa.

Gadis itu tersenyum getir di dalam kamarnya. Seolah hal ini telah ada dalam prediksinya sejak lama. Kirana Kejora bahkan tak kuat untuk menangis lagi. Pandangannya kosong. Menyorotkan putus asa dan rasa sakit yang sudah ada di ambang batasnya. Tenaganya telah terkuras oleh kanker yang menggerogoti tubuh yang kini semakin kurus itu.

Mati rasa. Adalah kata paling tepat yang dapat menggambarkan apa yang kini mewarnai jiwanya. Semakin banyak tempaan, semakin terasa hampa. Rasa sakitnya nyata, hanya saja Kirana sudah mulai terbiasa.

Mungkin akan ada yang bertanya, mengapa tak bisa kau lihat setitik kebaikan orang tua yang telah susah payah membesarkan sedemikian rupa?

Bukan, bukan Kirana yang tak bisa melihat itu. Bahkan kini ia sedang berusaha melihat setitik cahaya dalam balutan gelapnya kecewa. Mencoba memahami, bahwa orang tuanya adalah manusia biasa, tempatnya khilaf dan alpa.

Sekuat tenaga ia berusaha tetap menumbuhkan cinta, juga memaafkan keduanya tanpa kata "tapi" dan tanpa "walau" yang dapat menghalangi.

Maka yang terjadi, terjadilah ....

Biar Allah yang kini mengurusi semuanya. Kirana berpasrah.

***

Gontai. Dengan wajah pucat ia melangkah menuju kamar mandi.

Diambilnya air wudu. Perlahan ... ia nikmati tetesan air yang memasuki pori-porinya, mengusap lembut wajahnya, juga memberikan sensasi dingin saat menyapu kepalanya.

Rasa segar yang berbeda walau dibandingkan dengan mandi bunga. Ada yang merasuki hati, mendinginkan yang terasa panas, juga menyapu sedikit sedih.

Tangannya diangkat, melantunkan doa bakda wudu yang baru saja Kirana hafalkan lewat ceramah online di youtube.

“Asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalahu. Wa asyhadu anna Muhammadan’abduhu wa rasuuluhu Allahummaj alnii minattabinna waj alnii minal mutathohiirina waj alnii min ‘ibadatishalihin.”

Sebuah doa yang indah. Terlantun setelah bersuci dari segala kotoran yang menempel pada kulit juga hati.
Arti yang indah, yang juga dihafalkan Kirana untuk dikenangnya.

“Saya bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah yang esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah jadikanlah saya orang yang ahli taubat, dan jadikanlah saya orang yang suci, dan jadikanlah saya dari golongan hamba-hamba Mu yang saleh.”

Kirana memakai mukena, lalu menunaikan salat dua rakaat dengan khusyuk dan khidmat.

Tangannya menengadah, berdoa pada Tuhannya dengan hati yang pasrah. Kini ia tahu, bahwa ada banyak hal yang tidak bisa ia dapatkan, namun Allah ganti dengan pelajaran.

Pelajaran yang sangat ... berharga.

***

"Ucil! Sekarang jarang masuk kantor, sih, lo kenapa?" Suara Alia terdengar nyaring. Wajahnya terlihat dari layar handphone berlogo apel itu. Di sebelahnya, ada Sasa yang tersenyum semringah melambaikan tangan pada Kirana.

"Hai, gaess ... gue lagi recovery, nih. Gak enak badan aja." Senyum terbaik dipersiapkan Kirana agar sahabatnya tidak menaruh curiga.

"Pucet banget lo, Cil." Alia mengernyitkan dahi. Melihat Kirana yang wajahnya tak berseri.

"Iya ih, sakit apa, sih, Na?" Sasa pun menangkap hal yang sama.

"Gak apa-apa, kok. Gue ma emang sakit-sakitan mulu, kan, lo berdua udah hapal." Ada derai tawa yang dipaksakan oleh Kirana.

"Cil, jangan kebiasaan." Wajah Alia berubah serius.

"Kebiasaan apa?"

"Kebiasaan nyimpen masalah sendirian!" Amarahnya penuh dengan kasih sayang.

"Na, semenjak lo jarang masuk kantor, Rayyan juga tiba-tiba resign. Ada apaan, sih, kalian?"

"Hah? Serius lo?" Tubuh Kirana menegak. Terhenyak dengan berita yang baru saja dikabarkan Alia.

"Iya, udah cabut dari kemarin lusa sih kayaknya." Alia dan Sasa saling pandang, sama-sama mempertanyakan reaksi Kirana yang terasa begitu aneh.

"Kalian ... ada apaan, sih?"

"Rayyan pergi ke mana?" Kirana malah balik bertanya.

"Gak tahu, Na. Semenjak dia resign, HP-nya gak bisa dihubungi."

Kirana terdiam lagi. Sorot matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan di sana.

"Gara-gara lo tolak tempo hari, ya?" Alia bertanya tanpa basa-basi, membuat Sasa yang menangkap sinyal kesedihan Kirana menyenggol bahu Alia. Mengisyaratkan agar jangan dulu bertanya tentang Rayyan.

Kirana hanya tersenyum. Mulai memikirkan Rayyan yang entah di mana, dan bagaimana kelanjutan nasib hubungan mereka berdua.

Di satu sisi, ada rasa lega di hati. Karena gadis itu pikir, Rayyan suatu saat pasti akan menyerah jua. Maka dengan tidak bertemunya mereka, adalah jalan terbaik agar sama-sama menjauh satu sama lain. Walau tak bisa dipungkiri, dalam hatinya masih berbalut rindu yang sama, dan harap yang tidak berubah sejak bertahun-tahun lalu lamanya.

-bersambung-

Cerita-cerita Dinar bisa dibaca juga di :

FB : grup KBM (Dinar Khair)
Instagram : @storidinar

Salam sayang buat semua pembaca yang udah ngikutin dari awal. 💕
Terima kasih banyak ya supportnya selama ini ... asli, kalian baik sekaliii.

Diari Kirana Kejora [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang