Part 16 : Rindu

153 25 0
                                    



"Tahan, ya, Na." Dokter Adrian, memasukkan infusan ke dalam tangannya. Kemoterapi kini sudah jadi pilihan Kirana. Berbekal tabungannya selama bekerja, Kirana memutuskan untuk membiayai sendiri seluruh pengobatan.

Bila dana memadai, sesungguhnya ada cara lain yang lebih efektif. Yakni operasi sumsum tulang belakang.

Hanya saja, Kirana tidak ingin melibatkan orang tuanya. Mereka tengah sibuk menghadapi bisnis, juga menghadapi perceraian yang menyita seluruh perhatian keluarga besar.

"Dok, udah ini saya bakalan muntah, ya?"

"Ya mana saya tahu. Gimana reaksi tubuh kamu aja itu sih." Santai Dokter Adrian berkata sambil menulis sesuatu di catatannya, lalu memperhatikan infusan dengan seksama.

"Dok, kalau saya mati, bakal dikangenin, gak?" Dokter Adrian nampak berpikir. "Hmmm ... jangan mati dululah, nikah aja dulu, gimana?" Alisnya naik turun menggoda.

"Siapa yang mau sama saya? Bentar lagi juga wassalam." Derai tawa Kirana terdengar ringan. Membuat Dokter tampan itu ikut tertawa.

"Ada ya, pasien leukemia sesantai kamu?"

"Ini, buktinya ada."

"Itu, buktinya ada juga yang lamar. Berarti ada yang mau." Dokter Adrian melirik pada cincin di jari manis Kirana. Gadis yang sedang duduk itu pun tersipu malu. Memasukkan jari-jari lentiknya ke dalam selimut. Kirana kikuk. karena ternyata sang Dokter memperhatikan dirinya sedari tadi.

"Yaaa ... kalau cincin sih saya juga bisa beli sendiri!"

Dokter Adrian manggut-manggut. Lalu berucap, "Secara fakta, itu tidak mungkin terjadi. Kenapa? Karena pertama, saya tahu orang tau kamu tidak tahu menahu tentang penyakit kamu ini. Kedua, tabungan kamu pasti limited karena pekerjaanmu hanya seorang jurnalis. Saya tahu kisaran gaji jurnalis berapa.

So, dengan kondisi seperti ini, sudah pasti, uang yang kamu punya hanya diprioritaskan untuk pengobatan saja. Bukan untuk cincin." Mirip detektif, Dokter Adrian menjelaskan analisanya secara rinci.

Kirana tidak bisa mengelak. Seluruh analisanya benar. Tapi Kirana masih tidak kehilangan akal.

"Ya ... bisa aja ini cincin pemberian Mama."

"Nope. Saya tahu betul, kamu tidak pernah pakai cincin itu sebelumnya. Itu cincin baru. Terlihat dari kilauannya yang masih sempurna. Pemakaiannya belum sering." Senyum simpul Dokter Adrian terlihat agak mengerikan di mata Kirana.

"Kepinteran Dok jadi orang!" Tawa Dokter itu pun berderai.

Lalu tak lama kemudian, Kirana merasa mual. Dokter Adrian segera mengambil wadah untuk menampung isian perut dari gadis itu.

Berulang kali keluar, hingga perutnya terasa perih, namun rasa mualnya masih menyiksa Kirana.

"You can do it, Na." Dokter Adrian menatapnya iba.

Kirana merebahkan tubuhnya di ranjang, lalu memaksakan diri untuk memejamkan mata. Menikmati efek kemoterapi yang cukup membuat Kirana kaget dengan reaksinya.

Dokter Adrian menghela napas. Berusaha menahan degup jantung yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu terhadap Kirana.

Seperti ... memeluk atau mengusap kepalanya.

Tapi, ia tahan hanya dalam hati saja. Berusaha untuk tetap profesional dan menjaga jaraknya sekuat tenaga.

"Kita akan lawan kanker ini bersama." Senyum simpul itu menenangkan, namun tidak bisa dinikmati oleh Kirana yang masih beradaptasi dengan reaksi kemoterapi yang ternyata ... cukup menyakitkan.

***

Di rumah sakit itu, Dokter Adrian memutuskan untuk memberikan perawatan inap bagi Kirana. Karena ternyata reaksi kemoterapinya membuat tubuh Kirana semakin melemah.

Hari kedua di rumah sakit, Kirana tak bisa lagi menyembunyikan sakitnya lebih lama pada orang tuanya.

Rosmawati, sang ibunda, sudah duduk di hadapan Kirana dengan tatapan yang tajam.

“Rahasia sebesar ini kenapa kamu sembunyikan?” Kirana hanya mengehela napasnya lalu mengembuskannya dengan kasar.

“Mama sama Papa gak ada waktu. Kirana paham, kok.” Gadis itu hanya tertunduk. Memainkan ujung selimut dengan jari-jarinya yang lentik.

“But this is leukemia! Do you think it’s a joke?” (Tapi ini adalah Leukemia. Kamu pikir ini lelucon?) Ros menatap Kirana semakin tajam.

Kirana hanya tertunduk dengan tatapan kosong.

“Perceraian Mama sama Papa gimana? Udah selesai?”

Diari Kirana Kejora [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang