Laki-laki itupun tidak mengerti, mengapa kini dirinya berada ditempat yang bahkan tak pernah terpikirkan olehnya barang sekali. Dalam ruangan yang megah dan gelap itu nampaknya hanya dirinya yang tengah mengamati kedua orang diatas panggung dengan text pada masing-masing mereka, saling melempar dialog, saling mengoreksi kemudian saling menertawai ekspresi masing-masing yang terasa begitu aneh
Sang Willy Loman kini menyerahkan sebuah box berukuran besar pada sang Linda Loman, kedua tokoh yang sedang memainkan teater dari tahun 1949, Death of A Salesman itu kini berdiskusi apakah mereka harus membuka box itu atau tidak, sang Willy memberi instruksi untuk membuka box itu, sesuai naskah
Laki-laki itu enggan melepaskan pandangannya pada kedua karakter diatas panggung yang bermain peran dengan piawai, sebelum ponselnya berdering, sebuah pesan dari manajer memenuhi layar ponselnya
Shin Bujangnim
Chenle, kau tidak lupa hari ini ada rekaman pukul 7 malam, kan?
Mengamati apple watchnya sekilas, waktu sudah menunjukkan pukul 6, laki-laki dengan surai orens itu kemudian menyahut ransel hitamnya. Sebelum sempat ia beranjak dari kursi penontonnya, terlebih dahulu suara jeritan panjang sang Linda Loman memenuhi seluruh teater, Chenle membalikkan badannya, dan mendapati pemandangan mengerikan diatas panggung
Sang Linda Loman telah melepaskan genggamannya pada box dengan tangannya yang gemetar hebat, box itu terjatuh diatas panggung, hingga benda yang berada didalamnya terlempar keluar
Chenle tercekat, diatas panggung itu kini tergeletak sebuah potongan tangan yang telah pucat dan membiru tanpa lengan. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya, berharap apa yang ia lihat saat ini hanya sebuah penghayatan berlebihan dari latihan teater yang ia ikuti sejak tadi. Apakah ini bagian dari naskah?
“Tolong.. panggil guru..” jerit sang Linda Loman, hingga sang Willy Loman meraih ponselnya dan mengarahkan benda itu ditelinganya
Nyata, semua ini benar terjadi, potongan tangan dengan semburat merah itu adalah potongan tangan manusia. Chenle mengamati seluruh teater yang begitu megah dan gelap, berharap menemukan siapapun yang terasa mencurigakan, namun yang ia dapati justru kini Eric, siswa bersurai blonde yang kabarnya beberapa kali tidak naik kelas itu menarik pintu keluar teater, sebelum laki-laki itu menghilang dibalik pintu ia sempat membalikkan badannya kearah panggung yang kini telah dipadati oleh manusia
Chenle menyibakkan surainya kebelakang, ia mengambil napas dalam-dalam, dirinya sungguh tidak ingin ikut campur atau melibatkan dirinya. tapi baginya, Eric sangat mencurigakan. Mengambil langkah panjang, ia mengikuti Eric, laki-laki jangkung itu mengambil sebuah rokok dari saku seragamnya, sebelum rokok itu mencapai bibirnya, dengan cekatan Chenle menahan tangan Eric hingga laki-laki blonde itu berbalik badan mengamati Chenle dengan satu alisnya yang terangkat
“Kau mau rokok?”
Chenle menghela napas kasar, “Apa yang kau lakukan disana?”
“Dimana?”
“Di Acropolis..”
Kerutan pada dahi Eric kian dalam, ditepisnya tangan pucat Chenle dari tangannya “Kau gay? Kenapa memegang tanganku.”
“Apa yang kau lakukan didalam Acropolis?”
Laki-laki blonde itu menyemburkan tawanya, pun memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, beralih menatap Chenle dengan satu bibirnya yang tersungging “Aku sutradara untuk pertunjukan Death of A Salesman. Kau mencurigaiku karena insiden yang baru saja terjadi?”
“Kau.. apa?”
Eric mengeluarkan sebuah id card dari dalam saku celananya, yang menunjukkan bahwa dirinya adalah sutradara untuk pertunjukan Death of A Salesman
“Jangan-jangan.. kau lah yang melakukannya? Bukankah kau tidak seharusnya berada di Acropolis meningat kau bukan anak teater, sepertinya?” Eric menyapukan tangannya pada bahu Chenle “Sebaiknya kau tidak perlu melibatkan diri, semua ini bukan untukmu.”
Eric menyunggingkan senyumannya sebelum laki-laki itu berlalu pergi meninggalkan Chenle. Bagaimana bisa laki-laki itu justru mempertanyakan Chenle?
“Sial.” Mengumpat, laki-laki itu kemudian menatap kembali apple watchnya yang menunjukkan pukul 6:30, ia terlambat ke tempat rekaman. Dirinya mengumpat sekali lagi dalam hati, merutuki Eric dengan kata-katanya yang membuat Chenle semakin bingung
Ia memutuskan untuk segera pergi dari Acropolis, namun netranya mendapati seorang gadis dengan surai hitam panjang melangkah cepat untuk memasuki Acropolis. Chenle menghentikan langkahnya untuk mengamati gadis yang kini balas mengamatinya dengan tatapan aneh. Namun ia tak bisa memungkiri jika gadis yang ditatapnya itu memang sangat cantik
Chenle juga tidak mengerti kenapa ia terus-terusan mengamati gadis itu, hingga tubuh kecil gadis itu telah menghilang dibalik pintu megah Acropolis, ia masih tertegun ditempatnya
Siapa gadis tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] ANATHEMA : The Last Theatre [✓]
Fanfiction[𝐍𝐂𝐓 𝐃𝐑𝐄𝐀𝐌 𝐗 𝐓𝐇𝐄 𝐁𝐎𝐘𝐙 𝐗 𝐏𝐑𝐎𝐃𝐔𝐂𝐄] Acropolis, sebuah teater megah yang mengusung nuansa abad 18 menjadi saksi bisu bagaimana potongan-potongan tubuh manusia itu sampai diatas panggung teater, membawa benang merah pada rangkaian...