𝟎𝟑 : 𝐁𝐨𝐧𝐧𝐢𝐞 & 𝐂𝐥𝐲𝐝𝐞

241 36 2
                                    

Laki-laki dengan surai blonde itu menghembuskan asap rokoknya sekali lagi, membiarkan seluruh bebannya ikut mengepul di udara, namun sayangnya tak semudah itu, bebannya tak akan mungkin hilang dibawa oleh apapun

“Matikan rokokmu sekarang.” Gadis bersurai pendek itu mengeram sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dada, sudah satu jam lamanya ia hanya melihat laki-laki blonde itu, Eric merokok tanpa membicarakan sepatah katapun padanya

Berpura-pura tuli adalah pilihan yang Eric lakukan. Rokoknya yang hanya tersisa setengah batang itu tidak mungkin ia sia-siakan, namun nasib nahas menimpa rokoknya yang hanya tersisa setengah karena kini Adora menyambar benda itu dan menginjaknya dengan sepatu

“Aku tak datang kemari hanya untuk melihatmu merokok..” mengeram sekali lagi, gadis itu kini berjalan menuju ke ambang pintu, namun sebuah tangan dingin dan besar menghentikan langkahnya

“Jangan pergi. Duduklah.”

“Berjanjilah untuk tidak merokok lagi.” Gadis itu, Adora, mengamati Eric dengan netranya yang nyalang

“Baik-baik. hanya hari ini, oke?”

Adora memutar bola matanya malas, gadis itu mengambil tempat duduknya seperti posisi semula, tetap menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Adora menyadari bahwa sejak tadi Eric memikirkan sesuatu didalam kepalanya yang tak berisi apapun, namun agaknya laki-laki itu berat mengatakannya pada Adora

“Kita akhiri saja semua ini, bagaimana?”

Kini Eric menoleh cepat kearah Adora dengan suaranya yang melemah, membulatkan matanya

“Bagaimana kalau kita fokus menata karirmu, aku akan fokus untuk melanjutkan bisnis ayahku, kau bisa fokus menjadi idol, kita lepaskan semua ini. bukankah kau sudah muak juga?” kini Adora mencondongkan tubuhnya pada Eric yang tengah menyelami netra gadis dihadapannya

Kedua manusia itu hanya saling tatap, tanpa mengucapkan apapun sebelum kemudian Eric mengusap wajahnya kasar “Tidak bisa. Aku harus menuntaskan semuanya sampai akhir, kau tau kan aku tidak pernah setengah-setengah? Aku menyusun segala rencana ini tanpa tidur.”

“Aku tau kau juga muak, tapi mari kita bertahan sedikit lagi. Semua ini harus segera berakhir. Semua target harus masuk kedalam lubang. Adora, kau harus ingat kita sudah sampai pada titik ini. banyak misi yang sudah kita selesaikan bersama, banyak hal yang menjadi pertimbangan, banyak hal yang harus dikorbankan. jadi mari kita bertahan sedikit lagi, ya?”

Gadis itu bukannya menjawab, ia masih tidak bergeming, ia tau jika Eric tengah memanggil dirinya dengan namanya sendiri, artinya ia sedang serius, hingga mau tidak mau Adora menghela napas panjang, dipejamkannya matanya yang lelah, kemudian mengangguk, ketika dirinya membuka mata, didapatinya kini Eric melemparkan sebuah senyuman tipis padanya

“Jadi, target 1 sudah berada dalam jangkauan?”

“Ya, dia sangat penasaran padaku.”

Eric mengeluarkan sebuah kertas berukuran A4 yang tadinya ia lipat, Eric membuka kertas itu diatas meja, menjelaskan kepada Adora secara detail apa yang ia tulis disana hingga Adora mengangguk paham

“Kau siap?”

Gadis itu mengangguk

Laki-laki dengan kulit seputih patin itu membiarkan surai orensnya beterbangan diterpa semilir angin di atap. Entah apa yang membawanya kemari, ia pun baru mengetahui ada tempat setenang ini disekolah barunya

Namun yang baru saja laki-laki itu sadari ialah sebuah garis polisi membentang di salah satu sisi atap yang sedikit menjorok kedepan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namun yang baru saja laki-laki itu sadari ialah sebuah garis polisi membentang di salah satu sisi atap yang sedikit menjorok kedepan. Diamatinya lamat-lamat garis itu, menurutnya, di sekolah ini terlalu banyak garis polisi, garis itu juga membentang di ambang pintu klub archery, sehingga kini ruangan klub itu harus pindah

Otaknya yang begitu ribut tiba-tiba saja berubah tenang ketika seorang gadis dengan surai hitam panjangnya yang diterpa angin membuka pintu atap, dengan sebuah krisan putih ditangannya, ia melirik kearah Chenle, pun kemudian berjalan lurus seakan laki-laki itu tidak berdiri disana

Gadis itu berjalan menuju ambang atap bertanda garis polisi, ia tak bergeming dalam beberapa detik, hanya berdiri ditempatnya berpijak, kemudian bunga krisan itu diletakkannya dibawah garis polisi, dirapatkannya kedua tangan dan bibirnya melantunkan sebuah doa panjang

Dan Chenle mengamati gadis itu tanpa jeda

Hingga sang gadis berbalik badan dan berjalan menuju pintu, Chenle dengan tubuhnya yang jangkung berhasil menghalangi sang gadis hingga kini tatapan sinis harus ia terima dari gadis dengan netra kelam dihadapannya

“Minggir.”

Chenle merendahkan pandangannya, hingga dirinya berhasil membaca name tag milik gadis itu, name tag bertuliskan ‘Hwang Jina’ itu akhirnya menjawab rasa penasarannya selama berhari-hari

“Kau tuli? Kubilang minggir.” Hwang Jina berhasil membuat Chenle berpindah dari hadapannya hanya dengan sekali singkiran tangannya pada lengan Chenle hingga kini gadis itu berhasil menghilang dibalik pintu atap, membiarkan Chenle yang masih terpaku seorang diri

Laki-laki itu tidak tau bahwa dirinya bisa begitu berdebar hanya dengan ditatap seorang gadis secara sinis, bahkan tanpa sadar kini dirinya menyunggingkan sebuah senyuman diwajahnya yang terasa memanas

Asyik merasakan sesuatu yang aneh dari dalam dirinya, kini Chenle merasakan ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari manajer, ia ingat betul hari ini tidak ada jadwal apapun, mengapa manajernya sampai menelepon?

“Ya, bujangnim?”

Jika kau tidak punya kegiatan penting disekolah, segeralah kembali, orang tuamu menunggu.”

“Orang tuaku? Mereka di Korea?”

Ya, segeralah kembali, mereka menunggumu.”

Sambungan telepon ditutup, Chenle buru-buru memasukkan ponselnya kedalam saku, laki-laki itu menuruni tangga dan berjalan menuju kelas, meraih tas hitamnya dan berjalan keluar sembari mengenakan topi hitam dan masker

Kini Chenle duduk diseberang kedua orang tuanya yang tengah menikmati makanan mereka, sesampainya Chenle di agensi, kedua orang tuanya mengajak laki-laki itu untuk makan malam secara privat

“Ibu dan Ayah kenapa datang tanpa memberitahu aku terlebih dahulu?”

“Kami datang kemari secara mendadak, ayahmu menerima sebuah telepon dari kolega tadi pagi dan kami memutuskan untuk terbang kemari siang tadi tanpa memberimu kabar.” Jawab sang ibu “Kau terkejut?”

“Tentu saja..”

“Baiklah putraku, maafkan kami, sekarang habiskan dulu makan malammu, ada yang harus kami bicarakan padamu.”

Chenle melanjutkan beberapa suap terakhir dari steaknya, sejujurnya sejak tadi dirinya tidak enak makan. Orang tuanya tiba-tiba saja datang ke Korea tanpa langsung mengatakan apa tujuan mereka adalah hal yang membuat Chenle sedikit terganggu

Usai Ibu dan Ayahnya menghabiskan suapan terakhir dari makanan China yang mereka pesan, Ayah Chenle mengamati anak laki-lakinya lekat-lekat

“Ayah kemari karena harus menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan di Korea. Ayah juga akan menjadi tamu penting di sebuah komunitas. Ayah harap kau akan ikut Ibu dan Ayah kesana.”

“Bukankah ayah sudah sepakat bahwa aku tidak akan ikut campur dalam urusan perusahaan dan bisnis ayah?”

“Kami hanya memintamu untuk ikut hadir, sayang. Jadi kau tidak boleh menolak karena kami sudah jauh-jauh kemari, oke?” senyum manis dari wajah ibu Chenle tersungging begitu saja, hingga membuat Chenle menghela napas panjang

tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti apa yang Ayah dan ibunya minta

[3] ANATHEMA : The Last Theatre [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang