Bab 4

11.9K 801 15
                                    

Semoga suka💜 kritik dan sarannya ya🙏

***

Pagi-pagi sekali seisi rumah sudah geger dikarenakan Eryana yang tidak mau pergi ke rumah sakit bersama Tama.

Gadis itu bersedekap di depan dada. "Pokoknya Mas Hilman harus ikut! Kalau nggak gitu, aku nggak akan mau ke rumah sakit!" Ia menatap tajam suaminya yang sedang mengurut dahi. Lelaki itu tampak pusing dengan kelakuan istrinya.

"Jangan manja, Eryana! Baik Tama maupun saya itu sama saja!" Desis Hilman yang terdengar tajam di telinga Eryana. Lelaki itu mengeraskan rahangnya.

Namun Eryana tidak mau mengalah, ia beranjak dari posisinya yang semula duduk di atas ranjang, menjadi berdiri berhadapan dengan Hilman. "Oh gitu. Ini sebenarnya yang suami aku itu siapa sih? Mas Hilman atau Tama?!" Balas Eryana tak kalah tajam. Napasnya memburu seiring dengan pergerakan dadanya yang naik turun karena emosi.

Lelaki itu mematung. Hilman tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Tama yang berdiri di ujung pintu sambil menundukkan kepala, seakan tidak mau ikut campur dengan persoalan rumah tangga majikannya.

"Jawab Mas!" Gertak Eryana lagi. Ia sudah tidak peduli dengan denyutan yang menyiksa kepalanya. Wajah gadis itu memerah karena emosi dan suhu tubuhnya yang tinggi.

Hilman menghembuskan napas kasar. "Tama, cepat bawa Eryana ke rumah sakit!" Titahnya tak terbantahkan. Ia berlalu dari hadapan dua insan yang masih termangu itu.

Eryana sendiri tidak menyangka jika Hilman akan benar-benar mengacuhkannya. Bahkan pertanyaannya saja tidak dijawab oleh suaminya.

Tama mendekat ke arah Eryana. Gadis itu terduduk di tepi ranjang sembari memegangi kepalanya. "Mari Non, saya antar ke rumah sakit."

Eryana mendongak. Ia tersenyum lembut kepada asisten suaminya. "Nggak usah Tam. Terima kasih." Ucapnya lesu. Ia berbaring memunggungi Tama yang masih berdiri di sisinya.

Jika boleh jujur, Eryana pun merasa kasihan kepada Tama yang terus-terusan menuruti titah Hilman. Tapi mau bagaimana lagi, intuisi gadis itu selalu mengatakan jika perbuatan Hilman salah. Seringkali ia merasa bodoh ketika Hilman mengabaikannya saat berbicara. Dan itu tidak hanya berlaku satu hari, seterusnya akan begitu jika Eryana diam saja.

Gadis berambut sebahu itu menghela napas. Entah kenapa saat sakit, perasaannya menjadi dua kali lipat lebih sensitif dari biasanya. Jika dilihat dari kesehariannya pun Eryana tidak semanja ini kepada Hilman.

Lagipula gadis itu sudah terbiasa dengan rasa sakit yang selalu Hilman berikan sejak dulu. Sejak ia mencintai Hilman diam-diam, saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar dengan Hilman yang sudah di bangku SMA. Bayangkan saja bagaimana bisa, seorang anak kecil yang lugu memendam perasaan kepada cool boy SMA.

Tes

Jika kalian mengira itu adalah air matanya, maka kalian salah. Karena kini cairan kental berwarna merah sudah menetes perlahan dari hidungnya. Eryana langsung bangkit. Ia mendongakkan kepala agar darah yang keluar tidak semakin banyak.

Gadis itu menatap sekitar, ia sudah tidak menemukan siapa pun di kamarnya. Juga tidak ada Tama yang tadi sempat mengajaknya pergi ke rumah sakit.

Cklek

"Nanaaa! Ya ampuunn! Kamu kok bisa sih sakit?" Seorang wanita yang tengah hamil tiba-tiba berlarian kecil sambil memeluknya erat. Eryana hampir tersedak oleh darahnya sendiri.

Ditepuknya pelan bahu Rima. Sahabat sekaligus adik iparnya ini memang selalu datang di waktu yang tepat. Ia sedang membutuhkan teman untuk bercerita saat ini.

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang