Bab 28 | Satu Centang Abu (end)

22.9K 665 18
                                    

Lambaikan tangan kalau udah nyerah😁
Enjoy the reading!

***

Pagi-pagi sekali Eryana sudah bangun, ia tersenyum sambil mengusap perut buncitnya yang sudah berumur lima bulan. "Kamu lapar ya, nak. Sebentar ya." Gumam Eryana ketika perutnya berbunyi keras.

Ia hendak membangunkan Hilman yang masih mendekapnya. Namun wajah pulas Hilman dan dengkuran halusnya, membuat Eryana mengurungkan niat. Suaminya itu pasti kelelahan setelah kemarin mengurus segala keperluan untuk launching bukunya hari ini.

Eryana mengecup pipi Hilman, menyibak selimut, lalu berjalan pelan menuju dapur. Sepi. Itu yang ia rasakan saat Bi Surti, asisten rumah tangganya, izin pulang kampung.

Eryana menghela napas. Tangannya bergerak untuk membuka kulkas, mencari-cari sesuatu yang bisa ia masak sesederhana mungkin. Maklum, sampai sekarang Eryana tidak pernah bergelut di dapur. Jika Bi Surti pulang pun Hilman yang akan memasakkannya.

Tidak ingin ribet, Eryana memilih untuk mengambil roti tawar, selai melon, dan margarin. Sepertinya roti bakar bukanlah sebuah ide yang buruk. Terlihat sangat mudah meskipun Eryana belum pernah membuatnya.

Ia mengambil selembar roti tawar, mengoleskan selai melon, melipatnya menjadi dua, lalu mengoleskan sedikit margarin di luarnya. Eryana tersenyum puas, aroma margarin menguar di indera penciumannya setelah ia menaruh roti itu di atas teflon. Sembari menunggu, Eryana memutuskan untuk mengolesi roti-roti lainnya dengan selai melon. Sesekali ia mengecek ponsel, memastikan segala sesuatu tentang keperluan acaranya nanti dengan teliti.

Selesai melakukan hal yang sama pada roti-rotinya, Eryana pun kembali ke kompor. Senyumnya mengembang, ia tidak sabar menikmati roti bakar buatannya sendiri. Dibaliknya roti itu dengan spatula. Gosong! Dua-duanya gosong!

Eryana sudah hampir menangis. Rotinya berganti warna menjadi hitam pekat seperti arang. Ia tidak yakin, roti itu masih bisa dimakan atau tidak. Sedangkan asap semakin mengepul dari teflon. Ia menghela napas berkali-kali. Ternyata membuat roti bakar tidak semudah yang ia bayangkan. Percobaan pertamanya saja gagal. Bagaimana dengan percobaan kedua, ketiga, atau bahkan ke empat? Bisa-bisa ia tidak jadi makan sampai Hilman terbangun.

"Apinya kebesaran, Sayang."

Eryana terlonjak saat sebuah lengan kekar sigap mengecilkan api kompor, disusul dengan aroma melon yang menguar dari tubuh seseorang. Tidak salah lagi, seseorang yang sedang ia pikirkan kini tepat berada di belakangnya.

Eryana memutar tubuh. Ia mengaduh ketika dahinya membentur dada bidang Hilman dengan keras. Lelaki itu spontan mengusap kening Eryana, lalu menciumnya sekilas.

"Kamu kok udah rapi? Acaranya kan masih jam sembilan nanti." Heran Eryana saat melihat Hilman yang cukup tampan dengan kaos polos berwarna hitam dan celana pendek selutut berwarna senada. Style khas Hilman yang tidak pernah berubah.

"Saya mau ke resto sebentar, siapa tahu anak-anak butuh bantuan."

Ia hanya mengangguk singkat, resto Hilman memang andil dalam acaranya sebagai sponsor. Tak tanggung-tanggung, ratusan porsi ayam geprek akan Hilman bagikan secara gratis. Sedikit pun lelaki itu tidak merasa rugi.

"Mas, apa nggak terlambat kalau kamu ke resto dulu?"

"Kamu nggak perlu khawatir. Saya bisa jadi pembalap dadakan nanti. Cukuplah sepuluh menit perjalanan."

Sepuluh menit perjalanan? Sengebut apa lelaki itu nantinya. Jarak mall dan rumahnya saja cukup jauh, ditambah lagi jarak resto yang berlawanan arah dengan mall tempatnya launching buku nanti. Dan Hilman hanya menempuhnya selama sepuluh menit? Gila!

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang