Bab 14 | Kenyataan

10.9K 718 32
                                    

Eryana Adelia 'POV

Aku terduduk di sebuah kursi, di samping ranjang yang ditempati Mas Hilman saat ini. Sudah tiga hari pasca kejadian di resto, operasi pun sudah dilaksanakan. Namun sampai saat ini, mata abu Mas Hilman masih belum terbuka. Cemas? Tentu saja. Mas Hilman sudah mengorbankan dirinya untukku.  Tapi apa yang bisa ku perbuat? Selain menyalahkan diri sendiri, berdoa, dan berharap baik untuknya.

Setiap hari aku selalu menunggu mata indahnya terbuka, tangan dinginnya kugenggam erat-erat. Sesekali aku mengecupnya sambil berbisik, bercerita tentang kenangan kami yang tidak luput dari pertengkaran kecil di setiap harinya.

'Aku merindukanmu, Mas.' Kalimat itu yang selalu kugunakan untuk mengakhiri cerita.

Masalah resto sudah ditangani oleh Sandy dan Mas Faiz. Syukurlah, Sandy masih bisa ku andalkan meskipun aku harus merasa tak enak hati karena sudah menolaknya. Hm, sepertinya aku harus mencarikan lelaki blonde ini pasangan agar aku tidak terus-terusan merasa bersalah.

"Na, aku sama yang lain mau ke kantin. Kamu nitip sesuatu?" Rima mengusap bahuku lembut.

Aku hampir lupa kalau di ruangan ini masih ada Rima, Kak Damar, Mas Faiz, dan Mbak Intan. Sebenarnya tadi ada Ibu, tapi sekarang sudah pulang setelah memberikan buku abu-abu milik Mas Hilman kepadaku.

Setidaknya kehadiran mereka bisa sedikit menghiburku di sini. Aku jadi tidak merasa kesepian. Meskipun keluargaku sendiri berhalangan hadir untuk menemaniku. Papa dan Mama masih di Swiss, mengurus cabang perusahaan yang baru diresmikan. Sedangkan Kak Karina dan suaminya, masih di pedalaman untuk mengabdi sebagai tenaga medis bersama buah hati mereka yang baru berumur empat bulan.

Rima kembali mengusap bahuku. Aku memaksakan senyum. Kurasa, makan tidak akan bisa membuatku tenang. Jadi aku menggeleng sebagai jawabannya. Meskipun sejak kemarin perutku belum terisi sama sekali.

"Kamu beneran nggak mau nitip sesuatu? Kata Ibu, dari kemarin kamu belum makan."

Aku menggeleng lagi. "Nanti gue pasti makan, Rim. Tapi setelah Mas Hilman sadar." Aku mengulas senyum, menelungkupkan wajahku di sisi ranjang, mengisyaratkan Rima agar tidak banyak berbicara padaku lagi. Bukan bermaksud mengacuhkannya, hanya saja aku sedang tidak dalam mood yang baik saat ini.

Sepertinya Rima peka dengan isyaratku. Aku mendongakkan kepala setelah mendengar decitan pintu, tanda seseorang menutupnya. Lega. Sekarang aku bisa bercengkrama dengan Mas Hilman dan membaca buku abu-abu ini dengan tenang.

Aku membacakan isi buku itu kepada Mas Hilman dari halaman pertama hingga halaman yang sudah aku tandai kemarin. Aku akan terus membacakannya meskipun tidak ada respon yang Mas Hilman tunjukkan kepadaku. Tak apalah, aku hanya ingin bercerita saja.

Aku berdehem tepat saat berada di halaman yang aku tandai.

03 Maret 2013 - di tempat biasa, mencarimu.
Bab 3, ayat 1

An, sejak seminggu yang lalu kamu ke mana? Setiap hari aku selalu menunggu hadirmu. Apa kamu sudah bosan berteman denganku?

H. S. S

Hm, seminggu yang lalu dari tanggal tiga Bulan Maret tahun dua ribu tiga belas. Berarti, Mas Hilman nggak bertemu aku sejak tanggal dua puluh lima Februari. Ada peristiwa apa ya, di tanggal itu. Aku tidak mengingat apapun di hari itu. Karena frustasi, ku putuskan untuk langsung membaca halaman berikutnya.

08 Maret 2013 - entahlah di mana, masih mencarimu.
Bab 3, ayat 2

Ana, aku lelah. Rasanya, trauma ku semakin bertambah jika kamu benar-benar tidak kembali. Mana genggaman tanganmu?! Mana pelukan yang selalu kamu berikan kepadaku?!

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang