Bab 7 | Rahasia

11.9K 761 10
                                    

Sepulang dari rumah sakit, Hilman tidak langsung tidur. Ia masih sibuk mencari pelaku penggelapan dana restonya. Karena hampir seluruh dana pengeluarannya habis tanpa sisa, membuat lelaki itu kembali ke modal awal.

Hilman memeriksa dengan teliti angka nominal yang sudah berbaris rapi memenuhi tabel di layar laptop. Ia mencocokkannya dengan laporan keuangan yang tertulis di balik map.

Malam ini, ia harus harus benar-benar menyelesaikan masalahnya. Karena jika terus-terusan dibiarkan, yang ada malah resto cabang Hilman bangkrut karena kekurangan modal.

Tidak seperti biasa, kasus penggelapan dana ini terjadi. Pasalnya, ia tidak pernah merasa mempunyai musuh dalam dunia bisnis kuliner ini.

"Mas, boleh ikut begadang nggak?"

Eryana menyelonong masuk ke ruang kerja Hilman. Ia datang dengan piyama tidur yang sudah membungkus tubuhnya. Tidak lupa juga gadis berambut sebahu itu membawa laptop dengan tangan kiri karena tangan kanannya masih lembab dan sedikit perih.

Hilman mengalihkan perhatian dari laptop, "Tangan kamu?" Tunjuknya menggunakan dagu

Eryana tersenyum. "Sudah mendingan kok, habis dikasih salep dari dokter tadi." Hilman hanya menganggukkan kepala.

Gadis itu langsung duduk di sofa ruang kerja, memakai kaca mata baca, lalu mulai sibuk dengan dunia kepenulisannya. Begitu pula dengan Hilman yang sudah merevisi beberapa nominal di laporannya.

Suasana mereka begitu hening. Hingga beberapa jam kemudian, Eryana yang lebih dulu selesai dari kegiatannya pun mulai mengajak Hilman berbicara. Ia menghampiri lelaki itu di meja kerjanya.

"Selesainya masih lama, Mas? Masalah penggelapan dana yang kemarin, ya? Emang Tama nggak bisa bantu? Apa aku aja yang bantu kamu? Ah tapi aku udah ngantuk. Dilanjutin besok nggak bisa, ya? Atau kita sewa detektif andal aja. Hm, kalau nggak, kita--"

"Diam atau saya akan suruh kamu tidur di sini?" Ancam Hilman yang sudah sangat risih dengan ocehan istrinya. Pikirannya sudah penuh dengan masalah resto, akan semakin bertambah jika gadisnya terus-terusan berbicara.

Eryana menekuk wajahnya, "Gitu amat sih, Mas. Aku kan cuma mau bantu kamu, siapa tahu ada jalan keluar kalau kita selesaikan bersama. Aku juga nggak..."

Ucapannya kembali terhenti ketika melihat suaminya mulai mengemasi barang-barang yang ada di atas meja. Lelaki itu menutup laptopnya kasar, lalu membawa map-map tadi di tangan kirinya.

Hilman menatapnya tajam. "Oke, malam ini kamu tidur di sini." Ucap lelaki itu yang langsung keluar dari ruang kerja, kemudian menguncinya dari luar. Ia menulikan telinga, tidak peduli dengan Eryana yang masih menggedor-gedor pintu ruang kerjanya dengan berteriak. Karena yang terpenting sekarang adalah ia harus menyelesaikan masalah rumah makannya. Lagipula, gadis itu juga sudah tidak sakit kan? Jadi Hilman bisa menguncinya dengan aman di sana. Tanpa takut Eryana pingsan.

***

Brak brak brak

"Maaasss!! Mas Hilmaaann!!" Eryana terus menggedor pintu itu dengan kedua tangannya. Bahkan beberapa kali ia sudah mencoba untuk mendobraknya. Namun apalah daya, tenaganya tidak sebanding dengan pintu yang terbuat dari kayu jati itu.

Eryana menendang pintu dengan kesal. "Bang**t ini orang! Niat bantuin malah dikunciin. Mana nggak ada yang nolong gue lagi. Hape juga di kamar, lupa nggak dibawa. Ck, bisa mati gaya kalau gue terus-terusan begini." Ujar gadis itu pada dirinya sendiri.

Eryana menyerah. Daripada menghabiskan tenaga untuk berteriak dan mendobrak pintu itu, lebih baik ia memanfaatkan waktu untuk melihat-lihat isi ruang kerja Hilman yang sangat rapi dan bersih dengan nuansa monokrom, warna kesukaan lelaki itu.

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang