Bab 24 | Perban

11K 644 29
                                    

Jam makan siang telah lewat beberapa saat yang lalu. Dengan ditemani Asa, Eryana masih asyik mengulum ice cream rasa melon yang sudah menjadi ice cream ketiganya. Wanita hamil itu tidak memedulikan kontrakan Asa yang menjadi kotor karena bungkus dan stick nya berserakan di mana-mana.

"Na. Ini udah ice cream ketiga loh. Aku nggak mau sampai kamu pilek nanti." Ucap Asa memperingati.

Eryana cemberut. Bibirnya yang belepotan serta pipi tembamnya yang menggembung membuat ia semakin lucu dan menggemaskan. "Baru juga makan tiga. Kalau lo mau, lo boleh ambil kok. Kan pakai uang lo."

Asa menggeleng cepat. "Aku udah bosan makan ice cream."

"Hm, iya iya. Yang lagi banyak uang. Terima kasih buat traktiran yang ke sekian kalinya ya. Maaf, gue udah banyak ngerepotin lo."

Asa tersenyum kikuk. Ia tidak bisa memberitahukan jika selama ini Hilman sudah mengiriminya sejumlah uang untuk kebutuhan Eryana selama di kontrakan. Bahkan lelaki itu juga membolehkan Asa untuk menggunakannya, 'anggap saja sebagai bonus karena kamu sudah menampung istri saya' begitu katanya. Padahal, gadis berkerudung itu sama sekali tidak mengharapkan imbalan. Ia hanya melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh sesama temannya.

"Huh, senangnya di sini. Mau beli baju sama sandal, diturutin. Beli berbungkus-bungkus keju, diturutin. Dan sekarang, gue beli ice cream sebanyak ini, diturutin juga. Apalagi ice cream ini kan harganya mahal-mahal. Paling murah yang tiga puluh ribuan. Woaah! Lo benar-benar baik banget." Eryana terus menyunggingkan senyum lebarnya. "Eh iya.. uang lo kan udah banyak, Sa. kenapa lo masih mau tinggal di kontrakan ini. Apartement di sekitar sini kan banyak." Lanjutnya sambil membersihkan stick ice cream dengan lidahnya.

Asa tergagap. Gimana mau nyewa apatement? Gaji sebagai guru honorer dan guru ngaji saja kadang tidak cukup untuk membayar kontrakannya. "Eem.. aku-- aku belum kepikiran. Udah nyaman sama tetangga sekitar. Kalau di apartement kan susah buat berinteraksi sama tetangga. Belum lagi harus adaptasi sama lingkungan baru." Asa bernapas lega setelah bersusah payah mencari alasan untuk wanita hamil itu.

Eryana hanya mengedikkan bahu tak acuh.

"Kamu nggak pengen kembali ke rumah, Na? Ini udah seminggu loh. Kalian perlu bicara." Bujuk Asa. Walau bagaimanapun juga, ia merasa tidak enak dengan Hilman yang terus-terusan mengiriminya uang dengan dalih 'bonus' itu.

Eryana mendengus, "Lo ngusir gue? Gue belum pengen pulang. Toh, Mas Hilman sampai sekarang belum nyariin gue."

"Ya gimana mau nyari kamu. Ancaman kamu aja bikin ngeri." Asa teringat dengan ancaman Eryana kepada Hilman yang akan bunuh diri jika lelaki itu menemuinya.

"Harusnya Mas Hilman peka dong. Jelas-jelas gue nggak akan ngelakuin hal bodoh itu. Ck, emang dasar orang lempeng. Sekali lempeng ya tetap lempeng. Nggak bisa berubah, kayak tembok."

Asa tersenyum geli mendengar cibiran Eryana untuk Hilman. Nana-nya tidak berubah. Masih menjadi perempuan yang apa adanya dan ceplas ceplos seperti dulu.

Ddrrt drrtt

Asa menatap layar ponsel yang menampilkan nama Rima di sana. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkatnya.

"Assalamualaikum. Ada apa, Rim?"

"..."

"Apa?! Oke aku sama Nana ke sana sekarang. Wassalamualaikum."

Asa langsung bangkit dari duduknya. Ia segera memakai kerudung, mengambil tas selempangnya, juga kunci kontrakannya.

Sedangkan Eryana hanya bisa menatap bingung sahabatnya yang nampak kelabakan. Ia mencekal pergelangan tangan Asa, "ada apa?"

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang