Bab 26 | Semu

11K 647 19
                                    

21:30

"Jadi-- Rasi, adiknya Tama itu terlibat penggelapan dana juga?" Eryana mengambil susu ibu hamil yang baru saja dibuatkan Hilman, "Terima kasih." Ucapnya.

Lelaki itu mengangguk, "Salah satu pegawai bernama Rozi yang memberitahu saya, dengan semua bukti yang sudah dia dapatkan."

"Terus, sidangnya Rasi kapan? Kamu udah dapet pengacara?"

"Saya kurang tahu. Tapi semua sudah diurus sama Sandy." Hilman menghela napas, membaringkan tubuhnya di samping Eryana. "Saya jadi nggak enak sama dia. Selama ini sudah banyak bantu kita."

Setelah meneguk susunya hingga tandas, Eryana mengangguk setuju. "Nah. Nggak salah kan kalau aku pernah muji kebaikan Sandy? Lelaki itu emang bisa diandalkan. Selalu tanggung jawab, kalau bantuin orang nggak pernah setengah-setengah."

Hilman memutar bola matanya malas. Ia cemburu! Ia paling tidak suka jika istrinya terang-terangan memuji lelaki lain di hadapannya. Ya, meskipun Eryana tidak sampai membandingkannya.

"Terus gimana ceritanya sampai mereka ditangkap polisi?" Eryana mengusap perutnya sambil menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Ia memberikan gelas kosong itu kepada Hilman agar ditaruh di atas nakas.

"Pegawai bernama Rozi yang berhasil melacak keberadaan Tama. Nah ternyata, Rasi ini pacarnya Rozi. Selama beberapa hari, ia berkunjung ke apartement Rasi. Melihat situasi dan kebenaran tentang keberadaan Tama."

"Pacarnya Rasi? Emang Rozi rela kalau Rasi dipenjara?"

"Nggak tahu juga sih. Tapi katanya, lebih baik dia putus dengan Rasi. Perempuan itu harus dipenjara daripada berulah lagi dan bisa merugikan orang banyak."

"Wow. Bijak banget!"

Hilman kembali mendengus malas. Sudah ia bilang bukan, kalau ia tidak suka Eryana memuji lelaki lain di hadapannya?

"Kan kamu ke apartement nya sama polisi. Kenapa bisa sampai dibacok sama Tama?"

Ekspresi Hilman mendadak berubah. Lelaki itu terkekeh mendengar bahasa Eryana yang menurutnya terlalu berlebihan. "Hanya kegores, Sayang. Bukan dibacok. Dibacok kan biasanya lebih parah."

"Ya ya ya itulah pokoknya."

Hilman sedikit berpikir, "Awalnya kami memang berniat untuk berangkat bersama. Namun saat sudah sampai di apartement, polisi memberitahu kami kalau datang sedikit terlambat dari perkiraan. Sedangkan, Tama dan Rasi sudah mau pergi lagi dari apartement. Daripada kehilangan jejak-- saya, Sandy, sama pegawai yang lain langsung menyelinap masuk ke apartement Rasi.

Saya sempat lengah saat Tama tiba-tiba menyerang saya. Pisau yang dia bawa pun berhasil gores lengan saya. Untuk di bagian lengan, nggak tahu lagi deh kalau kena di bagian leher atau pinggang."

Eryana menyentuh perban di lengan Hilman. Ia nampak prihatin, "Ini masih sakit?"

"Banget!! Tapi lebih sakit saat kamu ninggalin saya." Ujarnya sambil tersenyum. Entahlah, sepertinya Eryana sudah berhasil menjalankan misinya untuk melelehkan Hilman. Terbukti dari beberapa hari ini, Hilman selalu membuang senyumnya secara cuma-cuma.

Eryana ikut tersenyum. Hilman selalu bisa membuat pipinya memerah dengan segala ucapan dan perbuatan manisnya.

"Sudah yuk! Tidur." Hilman menarik tangan Eryana dengan lembut, hingga perempuan itu ikut berbaring di sampingnya.

"Belum selesai ih."

"Apalagi? Masih ada yang perlu dipertanyakan, Sayangku?" Diusapnya pipi tembam Eryana, lalu dikecupnya sekilas.

Berusaha berpikir dengan Hilman yang terus menatapnya, Eryana mencari-cari pertanyaan yang belum ia tanyakan kepada lelaki ini. Rasanya ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya.

"Ah iya, buku abu-abu!" Pekiknya saat terlintas alasan mengapa ia pergi di hari itu.

Hilman mendesah kasar, ia sudah sangat malas membicarakan buku itu. "Bukunya udah saya buang. Nggak guna juga." Ia memiringkan tubuhnya menghadap Eryana. "Harusnya, dari dulu saya udah nggak berhubungan sama buku itu lagi. Toh, Ana cuma masa lalu saya. Derajatnya di hati saya udah nggak ada. Semuanya diambil alih sama kamu." Sambungnya dengan tersenyum lebar.

Eryana mendecih, "Gombal!! Ish, kenapa langsung dibuang sih. Padahal, aku kan mau buat komik sama novel tentang kamu. Kalau bukunya dibuang, aku dapat referensi dari mana lagi?"

"Ya dari saya sendiri lah. Saya bisa bantu kamu kok jadi narasumber. Ah iya, gimana proses penerbitan kamu?"

"Tinggal nunggu nomor ISBN. Sekitar dua sampai tiga bulan lagi udah bisa launching buku." Ketusnya.

Eryana beralih memunggungi Hilman. Emosinya tiba-tiba naik setelah mengetahui kalau buku abu-abu itu dibuang. Belum lagi Hilman terlihat ogah-ogahan dan enggan membicarakan buku itu lebih lanjut. Hm, pintar sekali suaminya mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba bertanya mengenai penerbitan buku saat pembahasan sama sekali tidak mengarah ke sana. Dasar! Mulai sekarang, ingatkan Eryana jika ia sedang merajuk kepada Hilman!

"Pokoknya aku mau buku abu-abu itu balik! Kalau nggak, aku akan pergi lagi!"

Eryana berucap tanpa sungguh-sungguh. Well, ia juga tidak ingin pergi lagi 'kok. Hatinya masih terlalu berat untuk merindukan suaminya. Jadi-- sedikit menggertak Hilman dengan ancaman, boleh kan?

Lelaki itu menghela napas panjang. Dipeluknya tubuh Eryana dari belakang, ia menyerukkan lehernya di pundak Eryana. "Iya-iya. Bukunya belum saya buang kok. Jangan marah-marah gitu lah. Saya kan jadi pengen gigit."

"Ish. Apa hubungannya marah-marah sama gigit? Nggak nyambung, tau!"

Hilman semakin terkekeh dibuatnya. Ia sengaja menciumi seluruh wajah Eryana dari samping, membuat wanita hamil itu ikut tertawa geli dan meminta Hilman untuk menghentikan aksinya.

"Aduh.. iya-iya udah. Udaaahhh... Huh... huh.."

Eryana menghirup udara dalam-dalam. Ia menyentuh dadanya yang tengah berpacu cepat. Ketika membalikkan tubuh, Hilman sudah menatapnya intens.

"Kenapa kamu begitu kekeuh melarang saya untuk membuang buku abu-abu itu?"

'Ish. Kan aku udah bilang, kalau buat bahan kepenulisan novel selanjutnya.'

"Selain untuk bahan kepenulisan karya kamu."

Skakmat! Eryana membisu setelah hampir saja mengeluarkan jawaban yang sama dengan jawaban Hilman.

Ia kembali memutar otak, mencari-cari jawaban yang pas untuk suami tampannya ini. Sebisa mungkin ia merangkai kata yang lebih dramatis dan puitis saat ia mengucapkannya nanti. Tidak sia-sia ia kuliah di jurusan sastra, otaknya mulai dipenuhi dengan rangkaian kata mutiara yang cukup membuat dirinya tersenyum lebar.

Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, ia memilih satu kata mutiara yang cocok. Lalu mengucapkannya kepada Hilman.

"Karena buku abu-abu itu yang sudah mengajarkan aku bahwa semua yang kita punya di dunia ini hanyalah semu. Kapan saja bisa luruh, kapan saja bisa runtuh."

***

Jangan hujat aku kalau kata-katanya kurang puitis gengs✌ -Eryana-

Hai!!

Ending sudah di depan mata😙

si_melon💜

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang