Bab 9 | Bertemu

10.3K 661 10
                                    

Eryana Adelia POV

Aku mendesah pasrah. Seharusnya malam ini aku bisa membawa Mas Hilman pergi ke resto. Selain untuk menemaniku, aku juga ingin membuktikan perihal Agorapobhia itu. Namun nyatanya, aku gagal membujuk Mas Hilman. Alasannya begitu banyak hingga aku tidak bisa mengelak saat ia menyuruh Tama untuk menemaniku.

Sekarang, aku sedang berada di perjalanan menuju resto dengan Tama yang masih setia memegang kemudi di sampingku.

"Non, nggak papa?" Lelaki itu mengiba saat menatapku. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Mood ku sudah berubah sejak tadi, maka aku memutuskan untuk tidak banyak bicara. Semoga saja, Tama paham akan hal itu.

Setelah melewati macet dan hujan, akhirnya kami berhasil sampai dengan selamat di resto. Tama memberikanku payung, mengajakku untuk segera masuk ke dalam resto itu. Beruntung sekali, ia sigap melapisi laptopku dengan tas waterproof yang ia punya sehingga aku tidak khawatir dengan naskahku yang sudah pasti aman di sana.

Aku menyimpan payung di tempat penitipan barang, sedangkan Tama sudah izin untuk kembali mengurusi resto. Tidak masalah, aku bisa bertemu dengan Pak Tomi tanpa ditemani lelaki itu.

"Nana?" Seseorang menepuk pundakku. Aku yang baru saja selesai menitipkan payung pun langsung menoleh padanya.

"Siapa?" Aku kembali bertanya karena merasa asing dengan lelaki berambut pirang ini. Jika sekilas aku lihat, ia memang tampan dengan hidung mancung dan bibir tipisnya. Tapi masih kalah tampan sih dibanding dengan Mas Hilman.

"Kamu nggak ingat? Aku. Sandy." Jelasnya dengan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi gingsul yang membuatku teringat seseorang.

Aku menautkan alis, berpikir. "Sandy Anggoro?" Tebakku final. Nama panggilannya sangat mirip dengan teman kecilku dulu.

"Tuh ingat." Aku merasakan tangan besarnya sedang mengusap rambutku dengan lembut.

Aku tersenyum kikuk, "Ah iya, maaf."

"Tidak masalah, Nanalia." Goda Sandy dengan memanggil nama penaku hingga kami tertawa bersama.

Aku mengajaknya berjalan mencari tempat duduk. Setelah sebelumnya, ia lebih dulu menawariku untuk makan malam bersama. Tidak masalah kan, kalau aku rindu dengan lelaki ini. Bertahun-tahun tidak bertemu, kurasa Tuhan sudah berbaik hati menemukan kami kembali di Sabtu malam ini.

Pasalnya sejak Sandy pindah ke Bandung untuk sekolah bisnis, kami tidak pernah berhubungan lagi. Berhubungan dalam artian saling menelpon atau sekedar mengirim pesan.

"Gimana kabar kamu?" Tanya Sandy setelah kami memesan makanan.

"Aku? Baik. Kamu sendiri, sudah move on?" Tanyaku langsung kepada intinya. Tiba-tiba aku teringat dengan cinta pertamanya.

"Move on? Kasep kamu baru tanya hari ini. Udah lama aku move on nya." Sandy kembali terkekeh, membuatku terperangah dengan aura ketampanannya yang masih sama. Ah iya, jangan bilang ke Mas Hilman kalau aku pernah menyukai lelaki di depanku ini.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Oh iya? Bagus dong. Terus, siapa yang sudah membuat kamu move on? Apa ada gadis cantik yang berhasil mengalihkan pikiranmu?" Godaku mencairkan suasana. Berbicara dengan Sandy adalah hal yang menyenangkan. Aku tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas bersamanya.

Sembari menunggu jawaban lelaki ini, aku memilih untuk menatap sekitar. Berjaga-jaga jika Pak Tomi sudah datang. Aku tidak mau revisi naskah ini semakin diundur hingga memperlambat acara launching bukuku.

"Na?"

"Eh iya, San. Jadi siapa gadis beruntung itu?" Ulangku mendadak tak fokus dengan apa yang ia bicarakan.

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang