Bab 6 | Tragedi

13.2K 732 9
                                    

Eryana tertidur pulas hingga sore hari, efek obat yang tadi ia minum. Sepertinya, gadis itu lupa dengan janjinya untuk bertemu penerbit buku di resto milik Hilman. Sedari tadi ponselnya terus berdering, membuat gadis itu terbangun dari mimpi indahnya.

Dirabanya benda pipih yang sudah berhenti berdering itu, ia mengecek history panggilannya. Eryana terkejut bukan main, berpuluh-puluh missed call ia dapat dari penerbit Pustaka Aksara, tempatnya menerbitkan buku. 'Mampus! Dimarahi Pak Tomi lagi, nih.'

Seperti orang linglung, Eryana bergegas menuju kamar mandi. Ia sudah merasa sehat, jadi tidak ada alasan lagi untuk sekedar absen ke Pak Tomi karena sakit. Deadline nya sudah menunggu sejak dua hari yang lalu.

Namun pintu kamar mandi masih tertutup rapat, menandakan ada seseorang di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan suaminya. Karena Eryana sedang tidak ingin menggoda Hilman, maka ia lebih memilih menunggu di depan pintu itu dengan bersandar.

Berbagai gaya untuk bersandar sudah ia coba. Mulai dari jongkok, duduk, berdiri, hingga salto pun sudah Eryana lakukan. Tapi lelaki itu belum keluar juga.

Ia menempelkan pipi dan separuh wajahnya di pintu kamar mandi. Pusingnya kembali terasa, meskipun tidak sesakit tadi pagi.

Bruk sreeet

Pintu kamar mandi yang dibuka keras oleh Hilman, berhasil membuat Eryana terdorong ke depan hingga menindih tubuh lelaki itu. Matanya melotot menatap netra abu Hilman. Ia merasakan sebuah benda kenyal dan basah menyentuh bibirnya. Degup jantung mereka saling bersahutan. Baik Hilman maupun Eryana, tidak ada yang lebih dulu bergerak memindahkan posisi mereka.

Eryana memejamkan mata. Ia tidak pernah merasakan sensasi aneh seperti ini. Belum lagi tubuh Hilman yang shirtless, membuatnya semakin gemetar tak menentu. Juga otot kekar suaminya yang terus mendorong otak Eryana untuk tetap bertahan pada posisi itu.

"Ya ampuunnn!!"

Sebuah teriakan datang dari arah pintu. Hilman dan Eryana langsung berdiri tegak. Kaget bercampur malu yang mereka rasakan kini. Meski begitu, Hilman tetap bisa menormalkan ekspresinya. Berbeda dengan Eryana yang sudah gugup setengah mati. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia meringis 'peace' kepada Saras dan Danu, kedua orangtuanya yang kini tengah menatap mereka berdua dengan heran.

Saras berdecak, "Kalau mau melakukan sesuatu itu pintunya ditutup dulu. Dikunci. Kalau ada yang ngelihat kayak kita tadi gimana?" Ucap Saras. Tangan perempuan itu masih bergelayut manja di lengan Danu.

Eryana dan Hilman kompak menunduk, "Ya lagian, Papa sama Mama kalau mau ke sini itu ketok pintu dulu. Salam. Telpon aku atau Mas Hilman dulu. Jangan asal masuk." Cerocos Eryana yang tidak pernah mau disalahkan. Ia menggerakkan tubuhnya gusar, agendanya untuk menemui Pak Tomi setelah ini pasti hancur.

"Tuhkan mulai. Udah jadi istri, masih aja ngebantah. Emang takdirnya nggak bisa diam ya." Omel Saras. Eryana mencebikkan bibirnya tak terima.

"Kalian juga, nggak etis banget ngelakuinnya di depan kamar mandi. Kebelet apa sengaja??" Sambung Saras yang belum puas mengomeli anak dan menantunya.

Danu mengusap lengan Saras, lelaki itu terlihat berwibawa di usianya yang sudah menginjak angka enam. "Sudah, Ma. Beri waktu untuk mereka dulu. Lebih baik kita tunggu di ruang tamu." Ujar Danu menengahi.

"Nana, Hilman, kita tunggu di sana ya." Sambung Danu.

"Iya, Pa." Ujar Hilman, lelaki itu menyalami kedua mertuanya sambil tersenyum tulus. Senyum yang tidak pernah ia berikan kepada gadis berambut sebahu itu, tentunya.

Kedua pasangan senior itu berlalu dari hadapan mereka. Eryana sedikit lega, meskipun tubuhnya tetap gemetar dan lemas karena ciuman dadakan tadi. Pipinya juga masih memerah malu, ia gugup dengan Hilman yang bahkan kini sudah memakai kaos hitamnya. Lelaki itu berjalan melewatinya dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Satu Centang Abu✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang