Chap 02

1.2K 127 2
                                    

Beberapa hari setelah kepulangan Shingo-san, dia sama sekali tidak menghubungi ku. Bahkan pesan pesan ku pun tidak di balas atau pun di bacanya.

Aku menjadi sangat gundah memikirkannya, mungkin kah yang sebenarnya di tinggalkan olehnya itu aku dan bukan istrinya.

Kalau memang iya, aku tidak boleh merasa sedih. Karena semua adalah salahku, aku yang tidak pernah mencari tau terlebih dahulu apakah dia sudah menikah atau belum.

Aku yang telah merebut Shingo-san dari istrinya, aku telah membuat laki laki normal menerima ku yang seorang gay.

Dua minggu berlalu, aku yang sudah mulai mengabaikan ponselku. Tidak pernah ku tau jika ada pesan masuk dari Shingo-san.

Saat sore hari aku baru membuka pesannya dengan perasaan ku yang sangat gembira.

"Rama, bagaimana kabarmu?" Itulah pesan yang di kirim oleh Shingo-san.

Memang menyakitkan karena hanya itu saja yang dia katakan di pesan yang ia kirim. Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan padanya.

'Kemana saja kau selama ini? Kenapa kau tidak pernah membalas pesanku? Apa kau tidak merindukan ku? Bagaimana urusan mu disana, apakah sudah selesai? Kapan kau akan kembali kesini, aku sangat merindukanmu.'

Tapi semua hanya bisa ku pendam di dalam hati, aku tidak bisa menanyakan semuanya sekaligus, aku takut jika Shingo-san tidak akan membalas pesanku.

"Kabarku buruk, karena aku sangat merindukanmu. Bagaimana dengan kabarmu Shingo-san?" Balas pesanku.

"Aku baik." Balas kembali pesan Shingo.

Hanya itu saja yang di balasnya, aku masih ingin berkirim pesan dengannya. Tapi apa Shingo-san akan membalasnya?

"Bagaimana urusanmu disana?" Tanya ku dalam pesan ke Shingo-san.

Berjam jam lamanya, Shingo-san baru membalas pesanku.
"Ada suatu hal yang terjadi, aku tidak bisa kembali ke Amerika."

"Sampai kapan kau tidak akan bisa kembali?"

Namun Shingo-san tidak membalas lagi pesanku hingga tiga bulan tlah berlalu. Aku jadi tidak tau seperti apa sebenarnya hubungan kita ini?

Apakah masih berlanjut atau kah sudah berakhir?

Dan hari ini merupakan hari kelulusan ku, dan aku memutuskan akhir bulan nanti aku akan resign dan kembali ke Japan untuk bertemu dengan Shingo-san.

Akhir bulan pun tlah tiba, aku pun mengundurkan diri dari pekerjaan. Mereka sangat menyayangkan hal ini, karena mereka sebenarnya akan merekrutku menjadi karyawan tetap setelah kelulusan ku.

Namun aku berbual kepada mereka semua, aku mengatakan bahwa orang tua ku meminta ku untuk kembali.

Karena sejak aku pindah kesini, aku belum pernah sekali pun pulang ke Japan.
Mendengar alasanku itu, mereka tidak berusaha membujuk ku kembali.

Namun mereka akan menerima kedatangan ku kapan pun itu.

Dan tibalah aku di Japan, di tanah kelahiran ku ini. Sesampainya disini aku segera mencari apartment yang bisa ku tinggali saat ini juga.

Begitu nendapatkannya aku segera memasuki apartment tersebut dan berbaring di kasur karena lelah.

"Menyedihkan sekali, pulang kembali kesini namun tidak memiliki rumah untuk kembali pulang.

Serasa negara ini bukanlah tanah kelahiranku, melainkan negara dimana aku sedang berlibur." Gumam ku.

Aku pun bangun dan melihat apartment yang ku tempati saat ini, tidak besar dan juga tidak kecil.

Namun terasa sepi karena tidak ada apa pun disini, selain fasilitas yang memang sudah di sediakan oleh pihak apartmentnya.

Seperti televisi, sofa, meja, kulkas, mesin cuci, beberapa peralatan memasak, lemari dan kasur. Sementara barang bawaanku hanyalah satu tas koper dan satu tas ransel yang isinya hanyalah pakaian ku saja.

Bukan karena aku tidak mampu membeli hal lainnya, hanya saja aku tidak tertarik dengan benda apa pun.

Jadi aku lebih suka kalau rumah yang ku tinggali ini sepi seperti ini, karena itu juga mempermudah bagiku ketika aku harus merapikan rumah.

Aku segera merapikan pakaianku ke dalam lemari. Usai itu aku pergi ke tempat makan terdekat untuk mendapatkan makan malam dan membeli makanan siap saji di toserba agar besok pagi aku hanya tinggal memanaskannya saja untuk sarapan pagi ku.

Keesokan harinya usai sarapan, aku kembali mencoba menghubungi Shingo-san. Dan seperti biasa tidak ada jawaban apa pun darinya.

"Haaaah.... Sudah tiga bulan lamanya bukan dia tidak pernah lagi menghubungiku?

Bahkan dia mengabaikan semua panggilan serta pesan dariku. Berakhir sudah hubungan ini, tapi kenapa aku tidak bisa terima ini semua????

Setidaknya katakan saja untuk mengakhiri hubungan ini, dengan begitu aku bisa untuk berhenti menghubungi mu lagi...

Kalau seperti ini terus, rasanya aku seakan masih berharap sesuatu dari dirinya. Aargh... Ini menyebalkan.

Aku juga tidak tau dimana dia tinggal, lalu bagaimana caraku untuk mencarinya? Yang aku tau dia juga tinggal di Tokyo, tapi Tokyo kan luas. Darimana aku harus memulai mencarinya?

Tapi... Haruskah aku mencarinya? Dia sendiri saja mengabaikan ku. Kalau aku menemukannya, apa yang harus ku lakukan padanya?

Memeluknya? Memarahinya? Atau, mengabaikannya? Argh, entahlah... Aku pusing memikirkan ini semua.
Lebih baik aku mencari pekerjaan sekarang, aku tidak bisa menjadi pengangguran terlalu lama."

Puas dan lelah bicara sendiri untuk meluapkan emosi, aku pun membuka laptop dan mencari cari pekerjaan.

Aku pun mengirimi email kepada tiap tiap perusahaan dan setelah itu aku berbaring di sofa dengan menyalakan televisi.

Keesokan harinya aku mendapati panggilan untuk interview di perusahaan X hari ini setelah istirahat makan siang.

Dengan gugup aku pergi kesana melakukan interview. Selesai itu aku di katakan untuk menunggu kabar.

Merasa bosan untuk segera pulang ke rumah, aku memutuskan untuk berjalan jalan ke suatu mall.

Siapa tau saja aku mendapatkan baju atau kemeja yang bagus untuk ku beli.

Dan siapa sangka, orang yang slama ini ku cari berada di hadapanku. Dia sedang berdiri tegap dan diam tepat di hadapanku yang berjarak lima meter.

Aku sangat senang hingga membuatku tersenyum, mata kami saling bertemu. Shingo-san melangkahkan kakinya ke arahku, aku pun ikut serta melangkahkan kaki ku secara perlahan lahan.

Karena merasa sangat senangnya, kaki ku seakan kaku untuk ku jalankan.
Shingo-san tersenyum ke arahku, betapa bahagianya aku.

Lalu Shingo-san terhenti dan mengulurkan tangannya, itu membuatku ingin cepat cepat meraihnya.

Baru saja aku ingin mengulurkan tangan ku juga, aku mendengar suara wanita yang memanggil namanya dari belakangku.

"Shingo, maaf sayang sudah membuatmu menunggu." Ucap wanita tersebut dan ia melewatiku serta meraih tangan Shingo-san untuk di rangkulnya.

Betapa syoknya aku melihat kenyataan ini. Wanita tersebut tidak melepaskan tangannya untuk merangkul Shingo-san, dan Shingo-san tersenyum kepada wanita itu.

"Apakah wanita itu istrinya? Dia bilang hubungan mereka telah lama tidak berjalan baik dan akan bercerai. Tapi apa ini....?

Jadi benar kalau akulah yang akan di singkirkannya, bukan istrinya itu...
Hah, betapa bodohnya aku...

Seharusnya saat dia mengatakan kalau dia memiliki istri, saat itu juga aku berpisah dengannya.

Bagaimana pun juga dia memiliki keluarganya sendiri, kehadiranku hanyalah perusak hubungan mereka.

Selain itu dia pria normal, jangan pernah mengharapkan lebih dari pria normal. Karena itu hanya akan menyakitkan pria yang sudah terlahirkan sebagai gay."

Fight for Love (18+ / Ended) [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang