Chap 16

771 83 1
                                    

Sudah setengah jam sejak aku berbaring di pangkuannya Shingo-san. Kini aku tengah membersihkan diri ku di kamar mandi miliknya Shingo-san.

"Tok... Tok... Tok...." Suara pintu ruangan Shingo di ketuk oleh seseorang, dan Shingo membukakan pintu tersebut.

Setelah ia mempersilahkan orang itu masuk, Shingo menutup pintu ruangannya kembali.

"Kenapa kau mengunci pintu mu segala, apa yang sedang kau lakukan?" Tanya orang tersebut yang tak lain adalah Toma.

"Ada sesuatu privasi yang ku lakukan, jadi aku harus mengunci pintunya.
Oh ya sebelum itu Toma, bukan kah Rama pernah memberitaukannya padamu kalau dia sudah punya pacar."

"Lalu apa urusannya denganmu? Dia punya pacar tapi seperti tidak punya, jadi aku akan mengambil kesempatan itu untuk mendapatkannya."

"Oh, kau ingin mendapatkannya. Sayang sekali Toma, kau harus mundur dan urungkan niat mu itu."

"Kenapa? Katakan alasannya pada ku."

"Karena kau atau pun yang lainnya, tidak akan ku izinkan untuk mendekatinya bahkan mencoba merebutnya."

"Haaah? Apa apaan itu? Kenapa kau jadi melarang ku seperti ini? Kau bahkan bukan pa...." Ucap Toma terhenti, karena mendadak dia menduga bahwa Shingo adalah pacarnya Rama.

"Itu mustahil... Kau bukan gay, dan kau punya istri." Lanjut Toma yang tidak dapat mempercayai pikirannya tersebut.

"Shingo-san, aku...." Ucap ku yang baru keluar dan terkejut melihat Toma-san berada di ruangan ini. Terlebih lagi, atmosfer mereka sangat menakutkan.

"To...Toma-san, a-a-apa yang kau lakukan disini?" Tanya ku dengan gugup.

Saat ini aku keluar dari kamar mandi Shingo-san dengan kemeja ku yang belum terkancing semua.

Dan mata Toma tertuju dengan lehernya Rama yang ada mark disana, dimana Toma dapat ingat dengan jelas bahwa dia tidak meninggalkan tanda di tempat itu.

"Shingo, kau benar benar gila." Seru Toma dan dia segera keluar dari ruangannya.

"Shingo-san, sebenarnya apa yang sedang terjadi?" Tanya ku yang masih belum memahami permasalahan mereka.

"Bukan suatu masalah besar, jangan di pikirkan." Jawab Shingo.

"Tapi dia melihatku seperti ini, pasti Toma-san akan curiga padaku."

"Kau tenang saja."

Setelah aku berpakaian rapi dan hendak keluar dari ruangan Shingo-san, Miwa masuk begitu saja dengan wajahnya yang kesal dan juga gusar.

Miwa menatap ku dengan tajam membuat bulu kuduk ku merinding dalam sekejab.

"Shingo, kita harus pergi sekarang." Tegas Miwa.

Dan aku menatap Shingo-san, begitu dia mendengar perkataan Miwa, Shingo-san juga nampak gusar dan segera mengikuti Miwa pergi.

"Shingo-san..." Gumam ku dengan cemas.

Shingo tersenyum pada ku dan berkata, "Jangan khawatir, aku akan segera kembali."

Aku hanya dapat menatapnya pergi hingga ia tak lagi ada di pandangan mata ku.
Namun entah kenapa hati ku terasa sangat berat, seakan aku tidak dapat melihat Shingo-san esok hari.

Saat jam istirahat aku memikirkan Shingo-san, bertanya tanya apakah ada suatu masalah yang datang.

Ketika memikirkan masalah, tiba tiba aku merasa ada suatu hal penting yang ku lupakan.

"Semalam, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang ku lupakan. Tapi apa itu? Hal apa yang ku lupakan?" Gumam ku dan aku terus berusaha untuk dapat mengingatnya kembali.

Hari, minggu, bahkan bulan... Shingo-san tidak datang lagi ke kantor, ponselnya pun tak dapat di hubungi.

Tentu saja ini membuat ku sangat gelisah dan cemas, aku takut suatu hal buruk terjadi padanya.

Saat ini aku sedang bersama Toma-san, dia slalu menemani ku meski aku slalu menolaknya.

Malam hari setelah kita makan bersama, aku menyalakan televisi dan sangat kebetulan yang di tampilkan adalah berita tentang Shingo-san.

Berita mengenai Shingo-san yang tidak jadi mewarisi perusahaan X dan sedang dalam proses perceraian dengan Miwa.

Dengan segera aku menghubungi Shingo-san dan berharap dia mau mengangkat panggilan ku.

Namun semua sia sia, berulang ulang kali aku mencoba menghubunginya. Shingo-san tidak mengangkatnya sama sekali.

Tanpa ku sadari air mata ini terjatuh, Toma-san segera memelukku begitu ia menyadarinya.

"Aku tau ini pasti berat untukmu, tapi aku tidak tau harus berbuat apa selain melindungi mu.

Shingo telah kalah dan dia tidak bisa balas dendam, itu sudah terjadi sejak dua minggu yang lalu, tapi aku sendiri juga tidak tau dimana keberadaannya saat ini." Ucap Toma.

Dalam pelukannya tersebut, aku mendengar dengan baik apa yang di katakan oleh Toma-san.

'Dia melindungi ku? Dia membahas soal Shingo-san padaku?' Batin ku.

"Toma-san, apa kau sudah tau soal hubungan ku dengan Shingo-san?" Tanya ku.

"Aku tau sejak waktu itu, dan berpikir apa yang kalian berdua lakukan merupakan suatu hal yang gila.

Shingo bukan gay, tapi dia jatuh hati padamu. Aku tau dia tidak pernah mencintai Miwa, karena pernikahan mereka karena paksaan.

Tapi siapa yang sangka bukan? Kalian harus menjalani jalan yang sulit, kalau kau sudah tidak tahan lagi, kau bisa lepaskan Shingo. Aku yakin dia pasti akan mengerti."

Aku hanya diam dan terlintas dalam benak ku, ingatan yang ku lupakan saat sedang mabuk bersama Toma-san tiba tiba teringat kembali dengan sangat jelas.

'Kenapa aku melupakan hal sepenting ini?'

"Toma-san, apa kah Shingo-san sangat ingin melakukan balas dendam? Apakah itu penting baginya?" Tanya ku yang melepaskan pelukan Toma-san.

"Itu sangat penting baginya, dia sangat ingin menjatuhkan ayahnya dan keluarga tirinya."

"Aku ingin sekali bisa membantunya karena Miwa tidak berhasil untuk membantu Shingo-san. Aku ingin dia bisa bahagia."

"Jika aku bisa, aku juga ingin membantunya. Dia sudah menderita sejak kecil. Tapi apa yang bisa di lakukan oleh kita berdua? Kita hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuknya."

Keesokan harinya aku meminta izin untuk tidak bekerja, dengan berat hati aku pergi menuju rumah kakek.

Setelah bertahun tahun lamanya aku di usir oleh kakekku, ini pertama kalinya bagi ku menginjakkan kaki di rumah yang sangat mewah bagaikan istana.

"Tuan muda Rama, bagaimana kabar anda? Sudah lama sekali sejak anda meninggalkan rumah." Sapa kepala pembantu di rumah kakek yang bernama Tanaka.

"Aku baik, kakek ada di ruangannya?" Tanya ku.

"Tuan besar ada di ruang kerja bersama dengan tuan Kouta."

"Terima kasih, aku akan kesana menemui mereka."

Dan aku melangkahkan kaki menuju ruang kerja kakek, lalu ku ketuk pintu ruangan tersebut yang sudah terbuka.

Kakek dan ayah mengalihkan pandangan mereka segera ke arah ku yang sedang mengetuk pintu.

Seketika pandangan mereka berubah menjadi enggan dan tidak seorang pun dari mereka yang menyapa ku atau menanyakan kabar ku.

Yang di tanyakan oleh kakek adalah, "Untuk apa kau datang ke rumah ini? Rumah ku tidak terbuka buat gay seperti mu. Lebih baik cepat kau pergi dari sini sebelum aku memanggil anak buah ku untuk mengusir mu."

Fight for Love (18+ / Ended) [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang