"Adara!" Seruan itu tak pernah gadis itu hiraukan.
"Ck Dara kebiasaan!" Gerutu seorang pemuda yang dari tadi menyeru nama Dara tapi sang pemilik nama tak pernah menyaut, ia hanya asik berjalan dengan memegang sisi ransel.
"Heh!" Karena jengah, pemuda itu menarik ransel Dara hingga Dara mundur beberapa langkah.
Dara langsung memutar tubuhnya dan menendang tulang kering pemuda yang baru saja menarik ranselnya.
"Argg sakit, Ra!" Pemuda itu mengusap tulang keringnya yang baru saja di tendang Dara.
"Jangan tarik tas gue!" Ucap Dara dingin.
"Iya maaf, abis gue panggil gak nyaut." Dara langsung menyibakkan rambutnya dan memperlihatkan telinganya di sumpal earphone berwarna hitam tanpa kabel.
"Pantesan. Tungguin disini gue bawa motor dulu ke parkiran." Dara mengangguk tanpa berucap.
Pemuda itu beranjak meninggalkan Dara yang sekarang sudah duduk di tribun menunggu dirinya. Setelah berjalan cukup jauh, pemuda itu berbalik menatap Dara yang terlihat begitu hampa tak berjiwa. Ia tahu ini masih terasa baru untuk Dara, perkara mimpinya yang belum sepenuhnya Dara ikhlas kan, tentang sosok Erlangga yang sampai saat ini masih menggantung di hatinya.
"Buat liat senyum lo aja jadi susah, Ra." Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju tempat parkir, ia tak mau membuat Dara menunggu lama.
"Eh gue kira udah pulang?" Seorang pemuda berjaket denim itu duduk di sebelah Dara membuat Dara melepas kedua earphone nya.
"Nunggu Rifaul." Jawab Dara singkat, pemuda itu mengangguk paham akan jawaban Dara.
"Sa," panggil Dara dan pemuda disampingnya menengok.
"Hm?"
"Enggak deh,"
"Kenapa, gue dengerin kok."
Dara terdiam lagi sembari menatap orang-orang yang berlalu lalang dilapangan, mengamatinya satu persatu dan pemuda disampingnya itu tahu apa yang sedang Dara pikirkan sekarang, semuanya masih perihal Erlangga dan segala kenangannya.
"Esa, apa gue boleh mengenang?" Pemuda itu, Mahesa Haris tersenyum simpul tebakkannya tepat sasaran, ia hafal betul topik pembicaraan apa yang akan berlanjut.
"Boleh, Ra."
"Meskipun kenangan itu sebenarnya gak pernah terjadi?"
"Kalo gitu buat apa lo mengenang padahal lo sendiri tahu bahwa itu gak pernah terjadi?" Dara menelan salivanya yang terasa mencekat di tenggorokan. Bahkan angin musim kemarau pun ikut menampar Dara seolah menyuruhnya untuk segera bangun dari segala khayal Dara.
"Sebenarnya lo boleh mengenang Ra, sangat boleh. Tapi lo harus ingat, apa-apa yang lo kenang sekarang berakibat baik atau buruk buat lo? Kalo mengenang cuma buat lo sedih, mending gak usah, hidup lo masih harus berjalan, lo gak bisa terus terjebak disana. Banyak orang yang nunggu lo."
Mahesa menjeda kalimatnya sembari menghela nafas panjang, kemudian menatap wajah Dara dari samping dan tersenyum.
"Lo boleh cerita kapan pun, gue siap jadi orang pertama yang dukung lo." Esa bangkit seraya membenarkan letak ransel di pundaknya, "gue kantin dulu, Juno nungguin. Bang Faul udah datang tuh." Mahesa menunjuk Rifaul yang sedang duduk diatas motornya, lalu menepuk bahu Dara beberapa kali.
"Bang, katanya bm surabi!" Teriak Mahesa.
"Elu atau Dara?" Balas Rifaul.
"Ya gue lah hahaha..."
"Asem!"
"Hati-hati kakakku tersayang, saranghaeyo!" Mahesa mengedipkan sebelah matanya sembari nengacungkan finger heart pada Dara yang membuat Dara tersenyum simpul melihat tingkah adiknya itu.
Seharu itu alur ceritanya, saat aku sedang berharap bahwa kau benar nyata adanya, tapi semesta seakan menolak. Seolah semesta berkata berkali-kali bahwa kau hanya khayal yang harusnya tak ku anggap nyata.
TBC
Tokoh Baru
Mahesa Haris
(Adik Dara dan Rifaul)