Dara terdiam menatap keluar jendela yang terbuka, menikmati semilir angin malam yang bebas menerpa wajahnya. Entah kenapa pikirannya melayang pada pemuda yang satu jam tadi menghantarkannya pulang, Dara tahu Erlangga sedang tidak baik-baik saja dan Dara mengkhawatirkan itu.
Di sisi lain Erlangga tertuduk di sebuah permadani lembut berwarna abu sembari meregangkan kakinya yang entah kenapa terasa pegal. Harinya begitu penat terlebih pertengkaran serta perdebatan tanpa arah.
"Keluar juga dari rumah itu," Suara berat itu membuat Erlangga menghela nafasnya dalam, rasanya begitu tenang tapi sedikit sesak.
"Di apain lagi?" Pemuda itu bersuara lagi karena Erlangga tak kunjung membuka mulut untuk sekadar bersuara, bahkan air putih yang di suguhkan pun tak kunjung disentuh.
"Gue lebih berharap fisik sih kak." Lirih Erlangga, pemuda itu tak menatap Erlangga barang sedetik pun, ia hanya sibuk mengurus gitarnya yang sekarang nadanya sedikit sumbang.
"Itulah, kadang yang jatuhin mental anaknya itu orang tua. Harus banyak memaklumi." Balas pemuda itu, Erlangga menatap pemuda itu dari samping karena dari tadi ia tak kunjung menatap Erlangga saat berbicara.
"Kalo lo memaklumi, kenapa harus pergi?" Pemuda itu tersenyum simpul, di bibirnya terdapat luka yang membengkas namun itu menjadi daya tarik tersendiri.
"Gue memaklumi bukan bertahan." Lantas wajah yang selalu Erlangga hormati itu menoleh menatap bangga Erlangga, rasanya tatapan itu berkata "bagaimana bisa dia tumbuh secepat itu?"
"Udah lama gue gak ngerasain jadi seorang kakak." Erlangga tertunduk terbenam di antara kedua lututnya entah menangis atau hanya merenung, yang di pasti ia terdiam tak bersuara.
"Kak..." Panggil Erlangga lirih.
"Hemm?"
"Kak Nakula..." Pemuda bertubuh bongsor itu membuang nafasnya kala nama itu terucap dari bibir Erlangga.
"Gue kangen bunda." Ucap Erlangga lirih, pemuda bernama Nakula itu hanya tersenyum maklum, tak di pungkiri ia pun sedih tapi entah kenapa air mata sudah enggan keluar dari matanya meskipun sesak sudah melanda dada.
Malam itu Dara tengah tertidur di bawah rembulan redup tapi raut wajahnya terlihat gusar, ia bermimpi buruk. Ia terus mengerutkan kening dalam tidurnya, seketika nafasnya memburu dan air mata mulai berlinang dari ujung matanya yang terpejam.
"Tolong...hiks...hiks tolong gue." Racau Dara.
"Hiks...jangan pergi hiks...hiks..." Tangisnya semakin deras bahkan menjadi rintihan di balik matanya yang terpejam bersamaan dengan keringat dingin yang bercucuran dari pelipisnya.
"Ra, Dara! Lo kenapa? Dara!!!" Mendengar suara itu Dara langsung terbangun, nafasnya masih memburu, ia memegang dadanya yang begitu sesak dan nyeri. Mimpi itu, mimpi dimana ia tenggelam dan tak ada satu pun orang yang menyelamatkannya.
"Dara lo gak apa-apa?" Dara melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya, ia mendengar suara Juno. Sambungannya dengan Juno masih belum terputus semenjak 3 jam yang lalu.
"Lo mimpi buruk lagi hm?" Dara sedikit lega karena mendengar suara Juno dan ia mencoba mengatur nafasnya yang tersenggal.
"Minum dulu." Bagai sihir, Dara langsung meneguk air yang berada di atas nakas.
"Lo belum tidur, Jun?" Tanya Dara dengan suara parau nya.
"Gue lagi nugas, tidur lagi aja hm? Gue gak akan matiin sambungannya kok."
"Gue gak bisa tidur lagi, Jun."
"Bisa, tutup mata lo." Dara kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Berusaha tidur setelah mimpi buruk panjang tidak lah mudah, bayang-bayang mengerikan itu terus muncul di pikirannya. Ia tak suka itu.
