Dive into you

699 55 10
                                    

Hari senin adalah hari yang banyak di benci oleh sebagian orang, terlebih untuk anak sekolahan karena ada upacara dan hari nya akan berlangsung sibuk. Contohnya saja Dara yang saat ini tengah sibuk membantu temannya membereskan obat-obatan di UKS persiapan untuk upacara dan membawa blankar ke dekat lapang. Ia melingkarkan slayer berwarna kuning di lehernya sembari baris di barisan paling belakang diantara anak TKJ.

Dara melihat Juno yang tengah berjalan bersama temannya menuju barisannya, Juno melirik Dara sembari tersenyum hingga matanya menyipit, padahal hanya dengan senyum seperti itu beberapa gadis di sekitarnya nampak terpesona.

"Juno!" Panggil Dara, Juno langsung menepuk bahu temannya memberi isyarat untuk pamit lalu menghampiri Dara di pinggir lapang.

"Kenapa?" Tanya Juno sembari membenarkan letak topinya. Dara menggeleng kemudian tangannya terulur membenarkan dasi Juno yang sedikit miring.

"Rusuh ya lo?" Juno jelas terkejut dengan pergerakan cepat tangan Dara, ia hanya menatap Dara.

"Heh mau baris apa liatin gue?" Suara Dara berhasil merebut kembali kesadaran Juno, membawanya ke dunia yang sedang ia pijak sekarang.

"Gue__duluan." Juno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian berlari mencari barisan kelasnya. Juno terus saja memegang dasi yang baru di benarkan letaknya oleh Dara kemudian ia tersenyum tipis membayangkan adegan tadi. Bucin dia.

"Gemes banget gue sama lo." Gumam Juno.

Setelahnya atensi Dara teralihkan pada pemuda yang tengah berjalan melewatinya sembari memakai dasi, wajahnya yang dingin dan terlihat tenang itu membuat netra Dara terpaku hingga netra pemuda itu membalas menatap Dara.

Ada rasa aneh diantara keduanya saat netra mereka saling bertabrakan hingga akhirnya sang pemuda yang lebih dulu memutuskan kontak mata dan bergegas masuk ke dalam barisan yang tak jauh dari tempat Dara berdiri.

Rasanya kaki Dara begitu lemas, ingin ambruk tapi masih kokoh untuk diajak berdiri. Hatinya berkecamuk, pikirannya ikut mengeluh, sedangkan sorot matanya nampak kosong dan sedikit berkaca-kaca.

Suara pembukaan dari petugas upacara berhasil menyadarkan Dara, ia kembali ke raganya dengan tatapan yang setia menatap punggung pemuda itu, Erlangga.

Hampir setengah jam upacara berlangsung, ucapan salam penutup dari petugas upacara membuat beberapa orang menghela nafas, tak ayal beberapa orang mulai keluar dari barisan masing-masing.

"Ga, Dara ngeliatin lo mulu tuh," ucap Dishi pada Erlangga yang sedang duduk di depan masjid sekolah, lantas netra nya ikut menatap Dara gadis yang akhir-akhir ini hampir selalu muncul di netranya.

"Lo kenal dia?" Tanya Dishi kemudian karena Erlangga tak kunjung bersuara.

"Enggak, cuma lihat beberapa kali." Jawab Erlangga yang masih menatap Dara meskipun sang empu sudah berjalan menjauh dari jangkauan Erlangga.

Disinilah sekarang Dara berada, duduk memandang pemandangan dari atas dimana gedung TKJ berada. Matanya hanya menatap kosong kedepan.

"Jadi dia orangnya?" Suara berat khas pemuda itu membuat Dara tersenyum pilu lantas ia menghela nafasnya.

"Lo menghela nafas kenapa?" Tanya pemuda itu lagi.

"Lega dan kecewa, Sa." Balas Dara sembari menatap pemuda yang ia sebut 'Sa', ya dia Mahesa adiknya.

"Lega karena dia benar-benar ada di dunia yang gue pijak sekarang,"

"Kecewanya?"

"Kecewa karena dia terasa jauh." Esa ikut menghela nafas juga akhirnya, entah kalimat penyembuh seperti apa lagi yang harus ia utarakan sedangkan penyebab menganganya luka masih sama.

"Setelahnya gue ngerasa 'kok gue nyesel ya?' seharusnya gue gak minta Tuhan buat hadirkan dia di hidup gue, harusnya gue cukup mengenang aja. Seenggaknya kenangan itu pun akan gua lupakan seiring berjalannya waktu, tapi dengan cara seperti ini gue malah membiarkan luka ini semakin menganga." Mahesa melihat sirat kekecewaan di mata Dara, matanya yang biasa berbinar itu tak lagi di lihatnya. Senyum yang biasa ia lihat begitu tulus sekarang hanya sekedar tarikan dari kedua sudut bibirnya saja.

"Udah deh gue nyerah aja, mungkin gue punya rasa tapi semesta punya cara kerja."

"Jangan nyerah gitu aja, lo belum mengenal dia Ra begitupun sebaliknya. Mau gimana pun belum tentu dia orang yang sama, lo masih punya kemungkinan buat mengenal dia lagi." Sampai saat ini Mahesa masih meyakinkan Dara dengan keyakinan-keyakinan yang memang samar, tapi disana Dara memang sudah menyerah ia hanya menyerahkan pada semesta dan mengikuti cara ia bekerja.

"Sederhanya, semoga gue tetap waras buat menghadapi berbagai ketidakpastian ini."

Bel masuk berbunyi, percakapan diantara dua bersaudara itu terpaksa harus berhenti meskipun pembicaraan yang mereka bahas tak berujung karena tak ada jawaban atasnya. Yang satu menuntut untuk bertahan tapi yang satu memilih ambruk di awal karena merasa itu tidak akan berhasil.

Mahesa hanya menatap kepergian kakak perempuannya hingga bayangannya menghilang dari pandangannya.

"Gue gak tahu Ra, pertemuan ini baik atau buruk buat lo."

Jam pelajaran pertama setelah upacara adalah pelajaran olahraga, Dara yang baru masuk di kejutkan oleh teman-temannya yang rusuh berganti pakaian mengingat sang guru tak suka dengan keterlambatan.

"Dara! Cepetan!" Itu Eka yang melambaikan tangannya pada Dara agar cepat bergerak berganti pakaian.

Keadaan lapang kala itu benar-benar ramai, bukan hanya kelas Dara yang sedang jam olahraga ada kelas satu, kelas dua juga kelas tiga.

Semua siswa kelas Akuntansi langsung berbaris di lapang setelah mendapat instruksi untuk pemanasan, kala itu pemanasan di pimpin oleh Nugraha sang ketua kelas sisanya mengikuti intruksi Nugraha.

Lagi-lagi netra Dara menangkap bayangan seorang pemuda yang duduk di pinggir lapang menatap semua teman-temannya pemanasan, hanya ia yang duduk karena tak memakai pakaian olahraga. Mengingat yang tidak pakai baju olahraga tidak boleh mengikuti pelajaran olahraga.

Bisa-bisanya netra itu ikut membalas dan kali ini berjalan cukup lama, keduanya saling tatap dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya pemuda itu berjalan mendekati Dara dengan netra yang setia menatap.

Cukup lama Dara terdiam sampai pemuda itu tepat berada di hadapannya, ia tak bersuara hanya menatap Dara dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Lo ada masalah sama gue?" Itu kalimat pertama yang Dara dengar setelah sekian lama, suara yang sama, suara khas yang selalu Dara rindukan. Meskipun itu bukanlah kalimat sapaan, tapi entah kenapa rasanya begitu senang bisa mendengar suaranya kembali secara nyata.

Helaan nafas terdengar begitu jelas di telinga Dara, lantas pemuda itu memutar kembali pergi meninggalkan Dara yang sibuk mematung. Erlangga malas berlama-lama menunggu jawaban seseorang meskipun ia penasaran, ia tak suka menunggu. Lagipula untuk apa juga ia berbicara dengan orang yang tidak di kenalnya, ia akan berlaku sewajarnya saja.

Dara yang baru saja sadar berhasil menguasai dirinya sendiri, harusnya ia menjawab bukannya mematung seperti orang bisu. Bagaimana pikiran Erlangga tentangnya nanti, mungkin saja Erlangga berfikir bahwa Dara adalah gadis aneh yang begitu mengganggu.

Dengan setengah jiwanya yang melayang pergi entah kemana, Dara melanjutkan kembali pemanasan yang masih di pimpin Nugraha di depan sana.


TBC

Erlangga 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang