Hampir setengah jam setelah bel pulang Dara menunggu Rifaul di depan kelasnya tapi Rifaul tak kunjung datang juga. Dara sudah menghela nafasnya dan berdecak berkali-kali, ia bosan. Karena tak ingin lagi menunggu, Dara pergi saja ke kelas Rifaul.
Di luar kelas terdapat beberapa orang yang tengah duduk dan salah satunya Dara kenal, dia Alvin. Dara menghampiri Alvin yang tengah sibuk dengan ponselnya, mungkin bermain game.
"Kak Alvin, Rifaul ada?" Tanya Dara. Alvin sempat melirik Dara kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Lagi piket, sini duduk dulu." Alvin menepuk ruang di sampingnya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari ponsel. Dara menurut saja dari pada terus berdiri di depan kelas orang lain, ia duduk di samping Alvin.
"Eh Dara?" Dara melirik orang yang baru saja memanggil namanya, dia Tegar yang keluar sembari membawa tong sampah penuh.
"Lagi nunggu Rifaul ya?" Tanyanya, Dara hanya mengangguk. "Bentar lagi juga selesai." Lanjut Tegar dan langsung membuang isi tong sampahnya pada tong sampah besar yang di sediakan di depan kelas, kemudian masuk kembali ke dalam kelas.
Dara yang bosan sedikit menggeser tubuhnya untuk melihat apa yang Alvin mainkan di ponselnya, Alvin yang merasakan tubuh Dara semakin mendekat pun paham, ia langsung menggeser ponselnya agar Dara juga dapat melihat. Berakhirlah Dara yang menonton Alvin bermain game di ponselnya.
"Yuk pulang!" Suara bariton milik Rifaul berhasil mengalihkan perhatian Dara dari ponsel Alvin.
"Kak, gue pulang dulu." Pamit Dara pada Alvin. Alvin menatap Dara sebentar kemudian menyimpan ponselnya di saku.
"Iya gue juga mau pulang." Ucap Alvin kemudian keluarlah Tegar dan Teguh dari dalam kelas, disusul satu pemuda yang Dara tak kenal.
"Duluan ya?" Pamit Rifaul dan pergi setelah mendapat anggukan serta wejangan untuk hati-hati di jalan.
Di parkiran Dara diam sembari memandangi Rifaul yang sedang memasangkan helm pada Dara karena Dara tak kunjung menerima helm itu.
"Kenapa?" Tanya Rifaul, Dara hanya diam menatap Rifaul dengan tatapan datarnya.
"Gak apa-apa."
"Kebiasaan!" Rifaul menggeplak pelan helm Dara sedang Dara hanya diam merenggut.
"Kenapa gue ada di daftar anak medis pilihan tim basket?" Tanya Dara, Rifaul yang mengerti akhirnya tertawa sumbang menertawakan Dara.
"Tinggal jawab aja."
"Jadi lo ngambek gara-gara itu?" Dara menghela nafasnya kemudian berdecak beberapa kali, Dara menendang udara akibat kesal pada dirinya sendiri.
"Kenapa lo?" Rifaul mengangkat sebelah alisnya sembari menatap tingkah aneh adiknya itu. Dara langsung melepas helmnya, Rifaul yang melihat itu semakin bingung dengan tingkah tak terduga Dara.
"Itu pasti acara pas hari libur kan? Tolong dong lo tuh ganggu banget acara gue ah!"
"Emang lo punya acara apa?"
"Rebahan seharian."
"Ck! Dari pada rebahan, mendingan jadi anggota medis tim basket lumayan bisa lihat yang bening. Apalagi mau pengesahan anggota baru." Dara tak menjawab lagi, ia kesal pada Rifaul sekarang, pasalnya Rifaul dengan seenak hati menetapkan Dara sebagai salah satu anggota medis tim basket dan ketua PMR meng-iyakan permintaan itu. Bukan maksud Dara tak menerima tanggung jawab, tapi ayolah acara basket sering di laksanakan pada hari libur, sedangkan waktu-waktu itu adalah waktu untuknya beristirahat.
Di ujung lorong seorang Erlangga tengah kesal pada pemuda di hadapannya yang seenak jinat mendaftarkan dirinya masuk tim basket dengan embel-embel "sayang kalo bakat lo gak terasah." Pasalnya alasan Erlangga pindah sekolah itu untuk menghindari interaksi lebih dengan orang-orang.
"Emang agak sialan lo!" Pemuda itu tertawa penuh kemenangan, pasalnya Erlangga tidak bisa membatalkan karena sudah di serahkan pada pembina basket.
"Lo gak dengar mulai tahun sekarang ekskul itu wajib, nilai plus di rapor. Emang lo gak mau gitu punya nilai plus?"
"Seenggaknya lo tanya gue lah, Al! Lo gak bisa seenaknya!"
"Ini demi lo, untuk kelangsungan hidup lo di sekolah! Biar gak hambar!"
"Hidup gue gak hambar ya!" Tegas Erlangga pada pemuda yang sekarang sedang memasang wajah menyebalkan bagi Erlangga.
"Iya tapi cuma kurang garam!"
***
Dara tengah termenung di kamar mengamati akuarium miliknya. Ikan di dalamnya hanya mengambang tanpa ada pergerakan sedikit pun. Di kamarnya Ayana, Rifaul dan Esa hanya mengamati Dara sembari menghela nafas berkali-kali, mereka tadinya sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing, sampai Dara mengerang dengan kencang ketiganya langsung masuk ke dalam kamar Dara.
"Ntar kita beli lagi, Ra." Ucap Rifaul untuk ke sekian kalinya.
"Diam!" Titah Dara dengan dingin.
"Udah waktunya Yohan di ambil Tuhan, Ra. Lo harus ikhlas." Ucap Esa sembari menatap iba Dara.
"Mulut lo!" Bisik Rifaul sembari menabok lengan Esa.
"Makanya kalo gue suruh jangan di kobok tuh nurut! Yohan jadi mati kan?!" Dara menatap tajam Esa kemudian mendelik sebal.
"Ya udah maaf, ayo besok kita beli mumpung libur." Dara tidak mengubris perkataan Esa, Dara hanya fokus pada ikan nya yang sudah mati mengambang di akuarium. Ayana yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya saja, entahlah dua putranya ini suka sekali menjahili Dara, tapi jika Dara sudah marah barulah mereka merasa bersalah.
Dara bangun dan membawa akuarium itu ke kamar mandi, tak lama kemudian ia kembali dengan akuarium yang sudah kosong.
"Yohan di buang?" Tanya Esa dengan wajah bersalah nya.
"Kenapa, mau lo goreng?" Tanya Dara ketus. Rifaul juga diam sembari menunduk karena ia juga bersalah pernah mengobok akuarium Dara.
"Gue tuh bingung sama kalian berdua, seneng banget sih gangguin gue!" Dara menyimpan akuarium itu dengan keras di atas nakas membuat Rifaul dan Esa tersentak.
"Keluar lo berdua!" Ucap Dara dengan datar.
"Ra..." panggil Rifaul. "Maaf kan itu cuma ikan." Lanjut Rifaul.
Ayana hanya tersenyum dan menggeleng maklum lalu beranjak dari kamar Dara menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.
"Keluar sebelum ini akuarium mendarat di kepala lo berdua," dengan terbirit-birit, Esa dan Rifaul keluar dari kamar Dara sebelum Dara benar-benar melempar akuarium itu. Pasalnya Dara jarang main-main dengan kata-kata nya, jika ia bilang akuarium itu akan mendarat di kepala Rifaul ya maka itu akan terjadi. Segalak itu Dara.
TBC