Kala itu motor Erlangga berbelok ke arah yang berbeda, bukan arah menuju rumah Dara ataupun rumah Erlangga. Dara tak banyak bertanya barangkali ada tempat yang ingin Erlangga tuju sebelum pulang ke rumahnya.
Dara sempat tertegun ketika Erlangga berbelok masuk ke tempat pemakaman besar di kota, udara sehabis hujan begitu terasa menenangkan diri. Tak lama dari sana Erlangga berhenti di tempat parkir makam di ikuti Dara yang turun terlebih dahulu.
"Gak apa-apa kesini dulu, Ra?" Dara yang tengah mengamati sekitar pun langsung menengok pada Erlangga lalu mengangguk meskipun ia tak tahu mau apa Erlangga di tempat itu.
Keduanya berjalan dengan Dara yang mengekor di belakang Erlangga, hingga mereka tiba di satu pusara Dara sempat membaca nama yang tertera di atas batu nisan itu, lantas ia berfikir dengan menyebut namanya saja pasti beliau wanita cantik.
Erlangga terduduk disamping pusara di ikuti Dara, Erlangga mengusap pelan batu nisan yang berdebu itu lalu ia tersenyum
"Hai Bun," Dara jelas terkejut, ia baru tahu bahwa makam itu adalah tempat peristirahatan terakhir bunda nya Erlangga.
"Hari ini Erlangga gak bawa bunga buat Bunda, tapi hari ini untuk pertama kalinya Erlangga datang dengan hati yang lapang Bun, hati Erlangga melega." Suara Erlangga terdengar semakin serak menahan air mata yang bisa jatuh kapan saja. Dara memegang bahu Erlangga lalu mengusapnya pelan.
"Bun kenalin ini Dara, Erlangga belum tahu apa sekarang kita berteman atau sekedar saling kenal," Erlangga tersenyum simpul di ikuti senyum Dara.
"Sebenarnya kita temenan tante, tapi Erlangga gengsi!" Balas Dara yang membuat Erlangga terkekeh diantara menahan air matanya agar tak jatuh.
"Erlangga kecewa lagi sama Papa, Bun." Entah mengapa ketika mengatakan itu tenggorokannya terasa hampa tidak semencekat biasanya, entah karena ia sudah menerima keadaan atau hatinya mulai melapang. "Tapi orang di samping Erlangga buat aku sadar bahwa kecewa itu manusiawi, yang gak manusiawi itu tindakan yang di lakukan ketika kecewa." Erlangga menengadah ke atas langit menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Nangis aja, Lang." Disini Dara sadar Erlangga tidak setegar yang ia kira, ada hal yang ia simpan sendiri.
Cukup lama keduanya diam, Erlangga sibuk menatap nisan bertuliskan nama sang Bunda sedang Dara tertunduk memanjatkan doa-doa untuk Bunda.
"Ayo Ra, mau hujan." Dara langsung menengadah menatap langit yang menggelap tertutup awan pekat. Tanpa sepatah kata Erlangga berjalan mendahului Dara menuju parkiran motor, tanpa Erlangga ketahui Dara masih berdiri di tempatnya menatap pusara bernama.
Dara tersenyum, "anak Tante kuat banget." Tak lama setelah mengatakan itu Dara berjalan menyusul Erlangga yang sekarang sudah berjalan jauh di depannya.
Udara khas hujan begitu terasa, langit pun masih mendung, jalanan kota terasa sepi tidak seperti biasanya. Keduanya sama-sama bungkam, sama-sama sibuk bergelut dengan pemikiran masing-masing.
Tak terasa perjalanan dengan bungkam, keduanya sampai di pekarangan rumah Dara. Tadinya Dara menolak untuk diantar pulang ke rumahnya tapi Erlangga bersikeras untuk mengantarnya sampai rumah.
"Baru pulang, Ra?" Itu suara Rifaul yang tengah nyebat sembari mengeringkan motornya yang baru saja ia cuci. "Eh Ga, masuk dulu?"
"Makasih kak gue langsung pulang." Balas Erlangga yang di angguki paham oleh Rifaul.
"Makasih ya udah anterin adek gue," Erlangga mengangguk.
"Gue duluan kak, Ra duluan."
"Hati-hati, Lang."