Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Dara harus terbangun dengan air mata yang membuat matanya sembab. Subuh ini Dara bangun dan langsung menangis, bukan tanpa sebab. Dara sering bermimpi ia jatuh ke dalam danau kemudian tenggelam dan koma, mimpi itu sering terjadi setiap harinya dan membuat Dara menangis setiap bangun tidur. Terlepas dari semua itu, wajah Erlangga juga ada disana dan itu yang membuat Dara menjadi sedih.
"Hiks...hiks... sakit banget." Dara menepuk dadanya yang terasa begitu sesak. Dara berusaha sebisa mungkin untuk mengatur nafasnya dan berhasil. Perlahan Dara menghapus air matanya dan beranjak pergi ke kamar mandi mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh.
"Tumben kamar lo hening?" Tanya Esa yang baru saja bergabung di meja makan untuk sarapan.
"Biar kepala lo gak pecah." Sindir Dara mengingat Esa kemarin bilang kepalanya bisa pecah bila terus mendengarkan lagu korea yang Dara putar tiap pagi.
"Hehehe padahal gue cuma bercanda tau."
"Selamat pagi adik-adik ku tersayang." Rifaul yang baru datang langsung menarik satu kursi dekat Dara dan duduk disana.
"Tumben kamar lo sepi?" Tanya Rifaul yang tidak mendengarkan lagu korea pagi ini dari kamar Dara.
"Gue mau ubah kebiasaan pagi gue." Jawab Dara sembari menikmati sarapannya.
"Yohan air nya udah gue ganti, jangan di obok-obok lagi, kalo mau kasih makan jangan banyak-banyak ntar airnya keruh." Ucap Dara dengan nada sedatar mungkin. Esa menghentikan aktivitasnya dan menatap Dara yang bersikap tidak seperti biasanya.
"Maaffin gue sering kobok akurium lo." Ucap Esa yang tak melepas pandangannya dari Dara, Dara hanya mengangguk saja. Esa tak suka dengan Dara yang dingin seperti ini, Esa lebih senang mendapat omelan dari Dara ketibang sikap dinginnya.
"Gue berangkat sendiri aja ya?" Lantas kedua pemuda yang duduk bersebrangan itu menatap Dara tak senang dengan apa yang ia katakan.
"Lo masih ngambek sama gue ya?" Itu Esa, ia sangat merasa bersalah kali ini pasalnya Dara tidak pernah minta untuk pergi ke sekolah sendirian, ia pasti akan berangkat bersama Rifaul atau Esa.
"Lagi pengen naik angkot." Balas Dara, setelahnya ia sibuk meneguk air sampai sisa setengah gelas lalu bangkit dan membenarkan letak tas nya.
"Duluan."
Sesampainya di sekolah, Dara mendapati Juno yang tengah berdiri di depan kelasnya, Dara langsung menghampiri Juno.
"Nungguin siapa?" Tanya Dara.
"Nungguin Esa."
"Salah gedung pak Ketos, gedung TKJ di sebelah sana." Tunjuk Dara pada gedung TKJ di samping gedung Administrasi Perkantoran.
"Ya kirain hari ini lo berangkat bareng sama Esa, Esa kan suka nganterin lo dulu ke kelas makanya gue nunggunya di kelas lo." Juno melihat raut wajah Dara yang tidak seperti biasanya.
"Lo lagi ngambek sama Esa ya?" Dara tak menjawab ia hanya mengangkat kedua bahunya seolah tak peduli.
"Tuh orangnya." Tunjuk Dara dengan dagunya pada Esa yang sedang menaiki tangga.
"Masih pagi udah apel." Goda Esa sembari membenarkan letak tas nya lantas ia tersenyum.
"Gue lagi nunggu lo."
"Mana ada nunggu gue di gedung Akuntansi?" Esa tersenyum miring menatap Juno dan Dara bergantian.
"Kan biasanya lo nganterin dulu Dara ke kelasnya, jadi sekalian aja gue nunggunya disini."
"Dari gedung Multimedia ke gedung TKJ itu deket lho, kenapa milih yang jauh sampai Akuntansi?" Tanya Esa mendesak Juno untuk mengaku tujuan yang sebenarnya ia menunggu di gedung Akuntansi itu apa.
"Intinya gue nunggu lo." Ucap Juno, Dara yang melihat itu hanya menatap datar Juno dan Esa lalu masuk ke dalam kelasnya tanpa pamit.
"Ayo katanya nungguin gue?" Esa berhasil mengalihkan pandangan Juno yang semula menatap kepergian Dara.
"Ke ruang Osis dulu kata pembina." Esa mengangguk dan berjalan beriringan bersama Juno.
Di kelas, beberapa temannya menyapa Dara. Dara jika tidak disapa duluan mana mau menyapa. Dara yang baru saja duduk di bangkunya langsung dihampiri temannya yang bernama Malikah.
"Juno udah dari jam enam diam depan kelas, gue udah suruh masuk tapi dia gak mau." Ucap Malikah tiba-tiba, Dara menatap Malikah merasa sedikit tertarik dengan topik pembicaraan itu.
"Niat banget dia nungguin si Esa dari jam enam."
"Tapi gue ngerasa beda tentang Juno," ucap Malikah, kalimat ambigu bagi Dara.
"Maksud lo?" Tanya Dara.
"Kayak nya Juno suka sama lo." Kalimat itu membuat Dara terdiam sejenak lalu ia tertawa sumbang.
"Ngawur."
"Mia lagi apa di bangku gue?" Tanya Eka yang baru saja datang.
"Ikut duduk bentar." Jawab Mia dengan malas.
"Enyah!" Eka mengibaskan tangannya mengusir Malikah dari bangkunya.
"Emang bangku ini punya nenek moyang lo?" Tanya Malikah.
"Iya, udah sana." Usir Eka di akhiri kekehan dan membuat Malikah memutar bola matanya malas. Dara tak memperdulikan kawannya yang sedang adu mulut, pikirannya melayang entah kemana, hatinya mendadak nyeri.
Semenjak satu minggu ia masuk sekolah, ia tak pernah lepas untuk diam di perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, ia hanya menghindari orang-orang yang ada di sekolah ini. Entah kenapa rasanya ia menjadi malas berinteraksi dengan orang-orang setelah kepergian bundanya.
"Erlangga!" Bisik seorang pemuda dari balik jendela kaca, mengetuk dengan jari telunjuknya agar tidak menimpulkan suara bising mengingat ini adalah perpustakaan.
Pemuda itu menengok dengan wajah dinginnya, lantas pemuda yang berada di balik jendela itu tersenyum penuh kemenangan.
"Kantin!" Ucapnya lagi, pemuda itu tak menyaut ia hanya menutup buku nya lalu beranjak dari bangku entah kemana, tak lama ia keluar dari dalam perpustakaan.
"Gak susah nyari lo di sekolah ini." Ucap pemuda bernametag Dishi itu, lantas ia merangkul pemuda yang tingginya sepantaran dengannya.
"Ga, sekolahan ini luas jangan cuma diam di perpustakaan." Pemuda yang di panggil 'Ga' itu masih tak menyahut.
"Berhenti menutup diri, Erlangga yang gue kenal gak kayak gini."
"Erlangga mana yang lo kenal?" Setelah lama bungkam, pemuda itu akhirnya membuka suara.
Kalimat itu membuat Dishi membisu, Dishi tak mau lagi menyahut karena ia tahu akhirnya topik pembicaraan ini akan menjadi perdebatan yang tak berarah.
"Jangan seakan lo kenal gue, Erlangga yang lo kenal udah hilang." Pemuda itu menepuk bahu Dishi. Dishi hanya menghela nafasnya, ia sudah menduga hal ini akan terjadi lagi. Dishi tak bisa memaksa, harusnya ia sadar lambat laun pun setiap orang akan berubah.
TBC
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.