Seorang pemuda nampak terduduk di hadapannya terdapat pusara bernama, matanya nampak sayu menatap tulisan yang tertulis di atas batu nisan lantas ia tersenyum pilu.
"Bun, hari ini mereka gak pulang, aku sendirian lagi di rumah," dia__Erlangga menjeda kalimatnya, rasanya sesuatu yang sesak tertahan begitu mengganjal di tenggorokannya.
"Aneh rasanya, rumah gak pernah ramai padahal keluarga di dalam nya cukup lengkap, cuma gak ada Bunda aja disana. Sosok yang orang-orang sebut sebagai pengganti Bunda itu jarang di rumah dan aku merasa kosong di bagian itu. Saat Papa juga sama sibuk dengan kertas-kertas sialan yang begitu berharga baginya, kedua posisi penting itu gak pernah ada buat Erlangga, Bun." Saat itu angin bertiup seakan membawa pesan dari sang Bunda untuk memeluk putranya yang tengah mengadu di tengah tempat peristirahatan besar di ibu kota.
"Satu-satu nya orang untuk mengadu sekarang sibuk bertugas jauh di luar kota, Kak Nara sibuk," Erlangga tertawa sumbang menertawakan kehidupannya yang begitu sepi. Burung-burung di langit pun ikut berkicau turut menertawakan betapa hampanya hidup Erlangga.
Lama sekali Erlangga terdiam sembari menatap nisan bernama Utari Maheswari, matanya tak lagi berkaca-kaca seperti terakhir kali ia datang. Bahu nya yang selalu merosot kini mulai ia tegakan meskipun ia yakin suatu saat bahu itu akan ambruk kembali.
"Bun, Elang pamit pulang dulu. Elang sayang Bunda." Pamitnya seraya mengusap batu nisan bertuliskan nama sang bunda.
Erlangga bangkit, lalu menepuk celananya beberapa kali menghempaskan tanah yang tertinggal di celananya.
Keadaan ibu kota cukup sepi mengingat hujan baru saja mengguyur membuat kebanyakan orang malas untuk pergi keluar. Erlangga sengaja menyimpan motornya di rumah, ia hanya ingin sampai ke rumah lebih lambat dari biasanya, entah kenapa tempat yang di beri nama rumah itu terasa bukanlah rumah.
Netra Erlangga terpaku pada sebuah toko buku tua yang berada di seberang jalan, tempatnya begitu khas, terasa begitu klasik. Lantas ia menyebrang karena penasaran tempat seperti apa itu.
Denting lonceng terdengar kala pintu utama terbuka, bau khas buku begitu menyeruak kala Erlangga masuk, bau yang menenangkan. Dari luar mungkin terlihat sedikit kumuh mengingat ini adalah bangunan tua tapi ketika masuk ke dalam, nampak begitu asri, rapih dan tertata.
"Selamat datang," sapaan ramah datang dari seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan meja kasir, penampilannya khas wanita jaman dulu tapi wajahnya nampak begitu ayu meskipun sudah di telan waktu. Erlangga membalas dengan anggukan serta senyum tipis, lantas ia masuk menjelajah lebih dalam melihat berbagai isi di dalam.
Di luar nampak bangunan ini terlihat sempit, tapi ketika masuk kedalam ternyata cukup luas, belum lagi segala interior yang begitu klasik. Nyaman dan tenang.
Satu hal yang membuatnya terpaku cukup lama menatap, seorang gadis yang tengah duduk di pojok rak buku sembari membaca, nampak begitu nyaman walaupun beberapa bangku dan meja berjajar di hadapannya tapi ia memilih untuk duduk di lantai.
Erlangga tak asing dengan gadis itu, ia gadis yang akhir-akhir ini selalu tertangkap jepretan netranya dan sedikit berinteraksi dengannya. Yang ia tahu, gadis itu satu angkatan dengannya di sekolah.
Erlangga menarik pelan kursi di sampingnya, ia duduk sembari mengamati gadis yang sampai saat ini masih sibuk membaca tanpa sadar bahwa seseorang tengah memperhatikannya. Ia tengah membaca buku dengan kosa kata yang begitu berat di dalamnya, bola matanya nampak bergerak kesana kemari, tak ayal dahinya beberapa kali mengerut mungkin karena menemukan kata yang sulit di cerna kepala.
Entah kenapa rasanya begitu candu mengamati gadis yang nampak kalut itu, tiba-tiba saja sudut bibirnya tertarik. Lantas tatapan sang gadis menampar Erlangga, ia langsung memalingkan wajahnya karena tertangkap basah sudah mengamati gadis itu.
Jantung Erlangga ketar ketir kala sang gadis menyudahi kegiatannya dan bangkit, Erlangga menarik buku yang tergeletak di atas meja pura-pura membaca mencoba menyembunyikan rasa malunya. Tapi Erlangga harus kalah dan menahan malu nya sekarang, sang gadis malah menarik kursi dan duduk di sampingnya.
"Ada yang salah sama gue?" Erlangga terperanjat sontak menatap gadis itu, gadis itu nampak menautkan alisnya tak senang atau mungkin mencari jawabannya dari Erlangga.
"Kenapa emang?" Bukannya menjawab Erlangga malah balik bertanya membuat gadis itu tersenyum miring lalu menggelengkan kepalanya.
"Lo__adiknya kak Rifaul kan?" Tanya Erlangga mencoba mencairkan suasana canggung di antara keduanya.
"Bukan, gue pacarnya." Jawab gadis itu.
"Nama lo?"
"Adara." Erlangga tersenyum kecil kala mendengar nama itu, nama yang indah, batinnya.
"Udah lama?" Dara menatap Erlangga yang baru saja mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud?"
"Merhatiin gue," Erlangga kicep, ia kira Dara tidak tahu bahwa Erlangga memperhatikannya, tapi nyatanya itu salah besar, ia terciduk.
"Ada yang salah?" Ulang Dara, Erlangga menggeleng pelan memilih untuk tidak bersuara, semoga Dara paham dengan gerakan fisik itu bahwa Erlangga tidak mau melanjutkan pembahasan itu.
Lantas keduanya sama-sama diam, dari luar keduanya terlihat sibuk dengan isi buku yang tengah mereka baca sekarang tapi tanpa di ketahui isi kepala keduanya sama-sama ramai. Dara yang merasa dejavu dengan kejadian seperti ini dan Erlangga yang menelan malu akibat terciduk mengamati gadis manis yang sekarang tengah duduk di sampingnya.
"Jadi selama ini apa alasan lo merhatiin gue?" Setelah lama hening, Erlangga membuka percakapan dengan kalimat tanya yang membuat Dara sedikit terlonjak. Dara langsung memperbaiki diri bersikap seolah ia tidak pernah kaget dengan pertanyaan Erlangga.
"Lo mirip seseorang." Jawab Dara, Erlangga mengerutkan kening. Ia ingin tahu lebih jauh seperti apa orang yang Dara sebut mirip dirinya itu.
"Mirip dalam segi apa?" Dara terdiam lalu menutup buku yang sedang ia baca, netra nya menatap Erlangga yang sekarang duduk di sampingnya.
"Wajahnya...suaranya...matanya...raut wajah...emm senyum? Eh tapi gue belum pernah lihat lo senyum." Dara menaikkan kedua bahunya tanda ia tidak peduli lalu bangkit seraya merampas buku yang tergeletak di atas meja, membawa nya menjauh dari Erlangga.
Erlangga terdiam sebentar menelisik kemana arah Dara melangkah, ternyata ia pergi ke kasir mungkin untuk membayar buku yang akan ia sewa.Entah kenapa Erlangga malah ikut menarik buku yang tergeletak di atas meja yang bahkan ia tidak tahu buku tentang apa itu. Langkahnya mengikuti jejak Dara, hingga sekarang berdampingan di depan meja kasir menunggu administrasi yang sedang di lakukan oleh penjaga toko.
"Untuk berapa hari mas?" Tanya ibu paruh baya pada Erlangga.
"Sama kayak perempuan disamping saya." Lantas ibu paruh baya itu menatap Dara seraya tersenyum penuh arti sedangkan Dara yang di tatap tidak peduli, ia hanya sibuk dengan buku yang sedang ia pegang sekarang.
Erlangga merasa ruang kosong nan gelap di hidupnya terasa terisi sedikit, berinteraksi dengan orang baru ternyata tidak seburuk yang di bayangkan. Meminjam buku hanyalah sebuah alasan agar ia bisa bertemu dengan gadis lugas yang sekarang tengah berdiri di sampingnya. Padahal di sekolah pun banyak kemungkinan untuk keduanya bertemu, tapi berinteraksi lebih dekat di tempat seperti ini terasa begitu berbeda bagi Erlangga.
Lalu denting lonceng mulai terdengar, Dara sudah pergi meninggalkan Erlangga tanpa berpamitan, Erlangga yang di tinggalkan segera berlari, ada sesuatu yang ingin ia ucapkan tapi ia ragu untuk memberitahu Dara setelah melihat punggung Dara yang semakin menjauh dari jangkauannya.
Erlangga beralih melihat nama toko buku yang tertera di bagian paling atas toko, lantas ia tersenyum. Erlangga menatap buku ditangannya, buku yang tanpa sengaja ia bawa begitu saja, ia menggeleng dengan sedikit tawa sumbangnya menertawakan kebodohan diri sendiri.
TBC