Limbo

88 2 1
                                    

Erlangga terdiam tak bergeming, ia hanya bermain dengan sendoknya, mengaduk kuah lontong yang masih mengepulkan asap. Lalu tak lama netranya menatap wajah Dara yang kini sedang mengamati dirinya.

"Kenapa Ra?" Dara meringis melihat perban serta luka di wajah Erlangga.

"Sakit banget ya, Lang?" Erlangga menggeleng lemah lalu tersenyum kecil. Tapi tetap saja dibalik senyumnya ada rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan.

"Tadi kenapa lo nangis?" Dara terdiam sejenak lalu menundukkan kepalanya.

"Hehe trauma aja liat yang kecelakaan." Cicitnya, padahal dibalik itu semua Dara tak mau kehilangan Erlangga lagi.

"Erlangga!" Erlangga dan Dara menoleh pada seseorang yang berdiri tak jauh dari meja mereka. Erlangga tersenyum kecil dan Dara bisa melihat itu. Perempuan itu berjalan dengan cepat meraih Erlangga, nampak khawatir di wajahnya, seketika senyum Erlangga merekah Dara melihat itu.

"Ya ampun nak, kamu kenapa?" Perempuan itu memeluk Erlangga yang tentu saja di balas Erlangga. Untuk kali pertama Dara melihat senyum Erlangga se merekah itu, wanita paruh baya ini berarti salah satu alasan Erlangga masih bertahan sampai saat ini.

"Papa kamu mana?" Erlangga mengangkat bahunya merasa malas mendengar nama itu karena pada dasarnya Erlangga tidak pernah peduli.

"Nenek!" Seruan itu membuat orang yang di panggil nenek menoleh, diikuti Erlangga dan Dara.

"Ya ampun Nakula," Nakula berlari kecil menghampiri sang nenek lalu memeluknya menumpahkan segala sedih dan beban di bahu yang sudah tidak kokoh itu.

"Kamu kok kurusan sih?" Air mata sang nenek tak bisa terbendung lagi melihat kedua cucu nya dengan keadaan tidak baik-baik saja sungguh melukai hatinya.
Nakula melepaskan pelukan sang nenek lalu mengecup jidatnya perlahan. Erlangga menghela nafasnya lalu kembali menyuap mulutnya dengan sesendok kuah berwarna kuning itu.

Hal-hal seperti ini yang membuatnya sesak, saat orang yang ia butuhkan tak pernah ada, yang hanya ia dapatkan sosoknya tidak dengan perannya.

"Maaf ya Ga gara-gara gue lo kecelakaan." Ucap Dara setelah nenek dan Nakula pergi untuk menebus obat Erlangga.

"Jelek banget ngomong nya." Erlangga menjilat bibirnya yang terasa kering. Dara tak pernah melepas pandangannya dari Erlangga entah kenapa rasanya begitu gusar.

"Ga, salah gak sih kalo kita merindukan seseorang?" Erlangga yang sibuk menatap kolam ikan di bawahnya langsung menatap Dara dengan tatapan tegas lalu ia membuang nafasnya.

"Boleh sambil ngerokok?" Tanya Erlangga barangkali Dara tidak nyaman dengan asap rokok. Dara mengangguk, mungkin selanjutnya obrolan mereka akan menjadi obrolan serius, setiap Dara membicarakan sesuatu yang serius Erlangga pasti meminta ijin untuk merokok.

"Merindukannya itu hak lo, tapi membalasnya itu hak orang yang lo rindukan," Dara tertegun yang selanjutnya Erlangga menyalakan pemantik lalu menyulut sebatang rokok di tangannya.

"Jadi gak salah?" Erlangga menggeleng lalu mulutnya mengepulkan asap tipis.

"Tapi lo harus menanggung konsekuensi kalo lo tahu orang yang lo rindukan gak merindukan lo balik." Jujur saja rasa nya sedikit perih mendengar Erlangga mengatakan itu, seakan ia mengatakan bahwa ia tak merindukan Dara, seakan Dara lah yang merindu sendirian. Karena melihat Dara terdiam lama Erlangga memutuskan untuk menikmati rokok nya dengan perasaan berkecamuk di dalam hati.

Dara pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk, senang karena Erlangga baik-baik saja, sedih karena mungkin saja perasaannya tak akan pernah terbalaskan padahal itu belum tentu terjadi, itu hanya ada di pikiran buruknya saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Erlangga 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang