15. AN AGREEMENT

25 7 4
                                    

Seseorang berlari dari kejauhan, dengan baju yang lebih mirip bebatuan lengkap dengan taburan pasir dan beberapa tanaman gurun. Rupanya dia adalah mata-mata perbatasan Deserda yang berjaga di garis terluar.

Semakin cepat ia berlari meninggalkan kudanya, semakin terlihat tetes keringat dan bau matahari menyengat. Ia berlari mendekati gerbang istana yang di cat coklat muda mirip seperti warna pasir. Istana megah berdiri kokoh mengelilingi satu-satunya oasis di gurun itu, Istana Deserda.

Mata-mata itu masih tetap berlari walaupun sepertinya jika ia sadar mungkin kakinya sudah menyerah sejak pertama kali turun dari kuda. Kali ini setelah gerbang istana, ia berlari melewati lorong yang berhias kubah-kubah kecil semakin mendekati pintu masuk istana bentuk kubah-kubah itu semakin besar.

"Tolong, bukakan pintu, aku ingin segera bertemu Raja !", pinta mata-mata sambil mengusap keringat yang meleleh dipelupuk matanya. "Ini darurat!"

Dua orang penjaga pintu istana terlihat masih kebingungan dengan kedatangan sang mata-mata. Perlu sepersekian detik untuk membaca gerak tubuh yang gelisah itu. "Ada keperluan apa, Raja sedang tidak bisa diganggu," kata penjaga istana bertudung merah. "Jika kau ingin menemuinya, kau bisa datang lagi esok!" sentak penjaga istana bertudung biru. Keduanya menyilangkan pedang bengkok seakan-akan menutup gagang pintu istana agar tak sembarangan dibuka.

"Err-, aku tak yakin Deserda besok masih ada, ini sangat penting, keberlangsungan penduduk Deserda dipertaruhkan, aku tak bisa memberitahu kalian, ini butuh keputusan seorang Raja!" Sang mata-mata mencoba meyakinkan bahwa informasi yang dibawanya sangat penting dan mendesak. "Aku, Akela, ketua penjaga perbatasan Sungai Eru, kau masih tak ijinkan aku untuk masuk ?" sembari menunjukan sebongkah prasasti kecil berkilat bertuliskan huruf-huruf yang nampak seperti sebuah identitas khusus.

"Hmm, k-kau..kau... Maafkan kami Tuan Akela," kedua penjaga bertudung itu seakan tersedak ketika melihat tanda identitas khusus yang disodorkan, bahwa Akela bukan orang sembarangan, ia kaki tangan langsung Raja Deserda untuk mengawasi wilayah terluar di Sungai Eru. Orang-orang dengan identitas khusus memang tidak boleh terlihat berlalu lalang dan bertemu sembarang orang. Mereka seperti mata-mata, intelijen istana, orang kepercayaan yang membawa informasi rahasia.

"Trennggg !" kedua penjaga istana menurunkan pedang bengkok yang sedari tadi menghalangi gagang pintu. "Silahkan masuk, Tuan Akela," kata penjaga istana bertudung biru, "Sekali lagi maafkan kami atas ketidaksopanan ini", lirih penjaga istana bertudung merah.

Akela kembali meneruskan larinya untuk menemui sang raja. Di dalam istana berhawa sangat sejuk dan dingin, berhias kolam bundar bermata air jernih. Ia disambut permadani merah hasil tenun manusia yang sangat lembut menyentuh kaki-kaki telanjangnya. Permadani itu terhampar dari pintu masuk hingga ke tempat sang raja duduk di tahtanya.

Tepat di ujung permadani Akela bersimpuh dengan lututnya yang masih gemetar. "Maafkan saya Raja Aron, saya terlambat memberitahukan ini kepada Tuan," kepalanya tertunduk lesu, tangannya sedari tadi memegangi lututnya yang terus bergetar, entah karena terlalu lelah berlari atau terlalu takut.

Dengan gerakan tangan mengibas tanpa bersuara, Raja Aron menyuruh dayang-dayang dan para penjaga pergi meninggalkan mereka berdua. "Informasi apa yang kau bawa ? Apa ada penyusup yang mencoba masuk ke istanaku lagi ?" sembari merubah posisi duduknya sedikit condong ke depan.

"Bukan, bukan itu, ini lebih dari yang Anda pikirkan, mereka.. mereka datang", yang semula hanya lututnya yang bergetar kini mulutnya pun ikut bergetar, kata selanjutnya seperti tak diijinkan keluar lewat tenggorokannya. Akela dirundung rasa gugup dan takut yang luarbiasa, tak dihitung lagi berapa tetes keringat yang kini seperti memandikannya di siang bolong. "Mereka datang, pasukan Arma sebentar lagi akan melewati perbatasan," Raja Aron terkejut tubuhnya tiba-tiba seperti ditarik dengan kencang ke arah belakang. "Arma beserta ribuan pasukan akan menyerang Deserda setelah matahari tenggelam, Raja Eliodas pun ikut serta".

Setelah keterkejutannya, Raja Aron seperti ingin memutar memori di masa lalunya, matanya menerawang langit-langit mencari pintu masuk ke memori itu. "Aku sudah menduga, cepat atau lambat hal ini pasti terjadi, Eliodas sepertinya tidak terima dengan pertemuan kala itu," kemudian tangannya menyambar sebuah kotak kecil di dekat tempat duduknya, dibukalah kotak itu kemudian ia mengambil selembar kertas yang telah robek dan tercabik.

"Aku merobek perjanjian dari Kerajaan Arma di depan rajannya sendiri!" ia sedikit berteriak membangunkan kesunyian. "Aku tidak terima daerah kita dibagi-bagi seperti kue, dengan seenaknya dipotong, dibagikan seolah tidak berharga, walapun ia menawarkan sejumlah keuntungan. Tapi itu tidak pantas. Kerajaan yang kuat tidak akan mau daerahnya dibagi-bagi dan ditukar dengan sekompi pasukan. Kedaulatanku berada pada wilayah-wilayah yang merdeka diatas tanah Deserda. Itu sudah janjiku kepada rakyatku, untuk melindungi mereka, kau bisa bayangkan jika daerah itu di kuasai Arma, bagaimana nasib rakyatku yang tinggal disana, Eliodas terkenal keji dan tidak ada ampun.  "Kita akan tetap bertahan dan melindungi perbatasan Sungai Eru yang ingin mereka kuasai!" tegas Raja Aron.

Raja Aron tipikal raja yang keras kepala untuk urusan wilayah kerajaannya. Tak segan-segan ia menolak permintaan atau perjanjian dari kerajaan lain yang menyangkut wilayahnya. Itu lah yang membuat Deserda sulit ditaklukan. Eliodas sudah berkali-kali mencoba merampas wilayahnya dengan segala cara namun hingga detik ini usaha mereka sia-sia.

Akela yang sedari tadi berusaha menguasai tubuhnya sendiri tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang cukup menggusarkan Raja Aron. "Tuan, apakah Deserda mampu menghadapi Arma ? Jika sebelumnya Eliodas hanya membawa salah satu jenderalnya dan sedikit pasukan untuk bernegosiasi dengan Tuan, itu terlihat mudah mengusir mereka. Tapi kali ini, Eliodas membawa kelima jenderal terkuatnya, Tuan, pun dengan ribuan pasukan dan gerobak-gerobak senjata."

"Siap atau tidak mereka akan tetap menyerang Deserda berapapun jumlah pasukan kita. Aku berjanji tidak akan melepaskan satupun wilayah walau sampai tiba ujung ajalku. Jika setelah itu mereka menguasainya, aku akan tetap terhormat dengan keputusanku." tegas Raja Aron.

"Baik, jika itu keputusan seorang raja, tidak seorang pun di Deserda berhak melarang. Kami akan siapkan pasukan untuk berjaga di istana dan sebagian berjaga di perbatasan."

"Setelah ini, siapkan pasukan untuk membawa Ratu Mayasa dan Putri Eliasa pergi meninggalkan istana, bawa bekal secukupnya, lindungi mereka dengan segenap ragamu, Akela." pinta Raja Aron. "Aku akan tetap di istana ini, berjuang bersama mempertahankan Deserda. Keadaan alam Deserda akan sedikit mengulur waktu dan merepotkan mereka. Pergilah sekarang!"

"Baik Tuan, aku berjanji akan menjaga Ratu Mayasa dan Putri Eliasa walaupun harus bertaruh nyawaku sendiri, ini adalah sebuah kehormatan bisa melayanimu Raja Aron," tiba-tiba ada rasa panas dimata Akela, ada genangan yang mengganjal yang ia tahan untuk tidak menetes. Akela kemudian pergi meninggalkan Raja Aron.

Tak lama kemudian terumpet raksasa ditiup di atas menara tertinggi, menandai perang akan segera dimulai. Deserda akan bersiap menghadapi Arma dan kelima jenderalnya. Raja Aron dengan kehormatannya menikmati masa-masa terakhir di Deserda, duduk di atas tahta emasnya.

THE SECRET TROOPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang