Setelah pertemuan yang membahas pesan rahasia dan kesungguhan tekad Alfa untuk segera menemukan Percifas, adik Eliodas, keempat temannya seakan masih ragu akan keputusan itu. Beberapa hari terakhir mereka disibukkan dengan kegiatan masing-masing.
"Rho, kau yakin akan keputusan ini ?"
"Kita hanya berlima menghadapi Raja Eliodas dengan kelima Jenderalnya, menerobos masuk untuk menyelamatkan Percifas, kalau kita lolos tanpa luka, aku bisa bilang itu mukjizat !" sambil mengaduk-aduk ramuan berwarna jingga Eta melempar pertanyaan itu kepada Rho.
"Emm... kita membicarakan Alfa kan ?" sebelum melanjutkan menjawab, Rho meyakinkan obrolan ini tentang Alfa dan keputusan yang ia buat. Bukan yang lain, ia takut pembicaraannya meleset karena sedari tadi fokusnya hanya pada Eta saja dan tangan-tangan mungilnya dengan hati-hati menuang ramuan yang kini berubah kuning pucat. "Tentu saja, siapa lagi ?" jawab Eta membuyarkan lamunan pria coklat itu.
"Emm-iya, aku percaya, apa yang dia lakukan selama ini membuktikan kalau ia cerdas dan berhati-hati. Aku masih ingat bagaimana dia menemukan cara membuat aleometer dari buku antah berantah yang ia temui di perpustakaan. Tidak semua orang bisa seperti dia, itu sebabnya aku percaya." jawab Rho sambil mengusap mysthic gun miliknya, seolah-olah benda itu wanita yang kurang dibelai.
"Maksudku, apakah dia sudah mempertimbangkan semuanya ? Keselamatan tiap anggota tim, apakah juga menjadi prioritasnya, atau dia hanya berfikir Percifas-lah prioritas utamanya, meski salah satu dari kita mungkin...gagal" tangan Eta masih sibuk menuang pada botol terakhir milikinya, tidak ada satu tetes pun yang terbuang.
"Kurasa tidak mungkin Alfa berfikir Percifas menjadi satu-satunya prioritas, terbukti saat Lota menghilang, dia orang pertama yang menemukannya, dia tahu kemana Lota pergi, dia mengenal siapa kita sesungguhnya, kita-lah keluarganya, jadi itu tak mungkin terjadi!" Rho sepertinya sedikit kesal atas pertanyaan-pertanyaan itu. Kini ia melenggang pergi dan beralasan bahwa mysthic gun miliknya perlu dimandikan. Walaupun sepertinya Rho tau, tidak ada seorang pun di dunia ini yang memandikan senapan. Alasan itu terlihat sedikit bodoh.
"Hmm..pria lebih suka mengabaikan masalah yang bahkan belum selesai" cetus Eta yang ditinggal sendiri dengan botol-botol ramuannya.
*****
"Apakah aku siap ?"
Pertanyaan itu yang akhir-akhir ini menganggu tidur malamku hingga terkadang harus berjaga sampai pagi datang. Tapi aku sudah menunggu waktu yang lama untuk ini, untuk menyelamatkan dunia, menyingkirkan Eliodas dari muka bumi, ini langkah pertama yang harus aku ambil dan tidak boleh gagal. Percifas menjadi prioritasku untuk sekarang. Tapi apakah bisa ?
Menyelamatakan dunia mungkin terlihat berlebihan, tetapi dengan lengsernya Eliodas kemudian digantikan oleh adiknya, Percifas, itu artinya dunia akan kembali damai, tak ada penaklukan, tak ada penjajahan dan tak ada kerajaan yang dihancurkan atas nama Kerajaan Arma. Itu sama artinya menyelamatkan dunia, bukan ?
Jika, aku siap, apakah teman-temanku juga merasakan hal yang sama ? Apakah mereka juga meragukanku, menganggapku membuat sebuah teori sendiri yang berakhir pada misi bunuh diri.
Ini bukan misi bunuh diri, emm mendekati iya... eh tidak, aku tidak boleh berfikiran begitu, mereka semua adalah keluargaku. Aku lebih baik kehilangan kesempatan ini jika harus ditukar dengan nyawa salah satu dari mereka. Tidak ada orang lain yang bisa kupercayai selain mereka.
Diriku yang lain menginginkan tujuan ini tetap dilaksanakan apapun risikonya, idealis sepertiku. Namun diriku yang lain lagi menginginkan keluarga ini tetap utuh, melankolis sepertiku juga. Lama-lama orang mengecapku gila karena berbicara sendiri padahal aku hanya bernegosiasi dengan sisi lain diriku.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dibalik perdebatan tunggal itu.
"Aku tidak harus bertemu Eliodas dan Jenderalnya jika aku bisa menyelinap masuk tanpa diketahui. Iyaaa, kita akan menyelinap masuk dan diam-diam membebaskan Percifas. Tujuanku tercapai, keluargaku aman. Cemerlang!" ide itu membangunkan lamunanku dan segera ku menemui Kapa yang sedang mengasah kait-kait besinya.
"Kapa, ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan," tanyaku, "Ya, tentu saja, bicaralah Alfa, aku bisa mendengarmu meski tanganku sibuk dengan kait-kait ini," jawab Kapa.
"Aku tugaskan kau untuk memata-matai Kerajaan Arma sebelum kita benar-benar kesana ?" tangan Kapa tiba-tiba berhenti, kata 'memata-matai' sepertinya sulit untuk ia cerna, mukanya sedikit bingung, "Karena hanya kau yang bisa berayun cepat melewati perbatasan, dan oh ya memata-matai maksudku, kau hanya mengintip saja dari menara di perbatasan, melihat apakah Eliodas bersama para Jenderalnya atau tidak," kuharap itu mampu menambal puzzle dikepalanya.
Wajah bingungnya perlahan menghilang diikuti senyuman lebar, "Wah mata-mata terlihat sangat keren, apakah aku punya seragam sendiri Alfa ?" kini giliranku yang pasang muka bingung, jawaban Kapa diluar prediksiku, dia selalu begitu.
Kemudian, Kapa berangkat setelah ia selesai menyiapkan semua tali-tali dan kait-kait besinya, tentunya tanpa seragam baru seorang mata-mata. Aku juga memberitahukan misi khusus ini ke anggota tim, Lota lah yang merasa paling kesepian karena setiap pagi Kapa selalu mengasah bilah pedangnya ketika dia juga menajamkan kait-kait besinya.
*****
Hari ini seharusnya Kapa sudah pulang, tetapi sedari tadi ranting-ranting pohon belum bergerak sama sekali. Tak mungkin dia sampai tertangkap, aku tau kelihaiannya dengan tali-tali itu.
Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat seorang pria berjalan terhuyung dengan baju kumal dan wajah kehitaman.
"Kapa !!" teriaku, lalu ia membalas dengan lambaian.
"Kenapa kau berjalan seperti itu, bajumu juga terlihat kumal seakan baru saja terjatuh ke kubangan lumpur ?" kataku sambil merangkul bahunya dan membantunya berjalan, "Alfa, kau tak tahu, aku harus bersusah payah menghindari pasukan perbatasan hingga aku harus sembunyi di cerobong asap dan terpeleset jatuh hingga jadi coreng moreng seperti ini," raut wajahku menjadi tak beraturan antara menahan tertawa atau mengasihaninya.
"Tapi aku mendapatkan informasi, bahwa Eliodas dan Jenderalnya tidak di Arma, dari yang kudengar mereka sedang menuju Deserda bersama banyak pasukan, mungkin akan ada penyerangan disana," kata Kapa, "tidak seperti biasanya Eliodas ikut serta, lalu siapa yang berjaga dan memimpin Arma sekarang ?" aku masih meragukan informasi Kapa, "Wanita cantik yang berwajah galak, Alfa, mungkin ia permasuri atau semacamnya, tapi aku tak suka wajahnya, terlalu mengintimidasi," jawab Kapa kemudian ia menambahkan lagi," Namanya Ratu Fazula."
Aku tak banyak tahu tentang permasuri baru Eliodas, Fazula, tapi dari cerita Kapa ia mungkin sama jahatnya dengan Eliodas. Jika Eliodas dan Jenderalnya memilih untuk menyerang Deserda dengan istana yang hanya dijaga oleh seorang ratu, itu artinya keamanan di Arma sedikit berkurang dan lebih longgar, pasukan mereka kupikir akan dikerahkan untuk membantu Eliodas dan hanya tersisa sedikit di istana. Ini kesempatan kita untuk melaksanakan strategi ini. "Alam semesta pasti mendengar keluh kesahku," kataku dalam hati.
"Terimakasih Kapa, setelah ini kau harus mandi, kau tau Lota tak senang melihat wajah tampanmu harus tertutupi abu dan arang kayu bakar, " kutepuk pundaknya dan sedikit mendorongnya memasuki basecamp.
Cerita Kapa yang terjatuh dari cerobong asap menjadi pembahasan paling menarik untuk memancing tawa, sekedar melepaskan ketegangan. Aku masih punya waktu satu hari lagi untuk mempersiapkan semua. Aku yakin ini pasti akan berjalan sempurna sesuai dengan rencana. Aku yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECRET TROOPS
Fantasy"Ketika yang hidup sudah tidak mampu lagi membuat perdamaian, saatnya yang mati untuk bertindak." Aku dan anggota tim ku yang kunamai the secret troops mencoba sekuat tenaga melawan kediktatoran Raja Eliodas, penguasa Kerajaan Arma. Iya aku dan angg...