Part 10

290 31 0
                                    

°Ombak tak pernah marah pada batu karang yang menghalangi nya menyapu pasir, begitupun sebalik nya batu karang pun tidak pernah marah kepada ombak yang menghantam diri nya hingga mengikis°

***

Langit-langit sedikit menggelap dengan kepulan awan putih di sisi sebelah sang jingga yang mengapung di lautan, si penjaga senja tengah berbaur di langit, beterbangan membawa segenggam kehidupan untuk esok dan kegelisahan manusia yang terekam langit gelap.
Indah... ini sungguh indah seperti lukisan Maha Agung ‘Senja di kaki Bukit’.

Aku tersenyum di silaukan sinar jingga yang dengan genit mengenaiku.

Iseng-iseng ku mainkan kakiku ke tepian pantai, saat ombak mengenaiku aku berlari menjauh lalu ombak surut menyisakan pasir basah yang polos. Dan tiba-tiba aku ingat dirimu, namamu begitu menggelitik ingin ku tulis di pasir basah itu

“ARKANALI REINDRA”

Dulu kau sangat menyukai pantai,  pasir, terlebih lagi ombak. Tiap pagi kau membangunkanku utuk  melihat sunrise dan sunset ketika sore, bahkan kau sering kali mengajak lari dari hiruk pikuk ibu kota jakarta, lihat betapa konyol nya kau dulu.

Apa kau ingat li, dulu kau tak pernah bosan dengan pantai dan kaleng ajaibmu. Kau selalu berkata “tuliskan inginmu di atas kertas, masukkan ke dalam botol dan lempar ke tengah laut, maka dewa laut akan mengabulkan keinginanmu” Ya, kau percaya bahwa dewa laut itu ada. 

Kau memang selalu aneh.
Kau tau, Li? Diam-diam selama ini aku juga mempercayai adanya Dewa Laut, dewa yang menurutmu dapat mengabulkan keinginanmu. Selama aku di jerman aku selalu melempar 3 botol tiap minggunya, seperti yg sering kali kita lakukan dulu, berharap dewa masa kecilmu memang ada dan mengabulkan segala keinginan ku.

Pun barusan aku melmpar lagi li, bukan apa-apa, aku hanya berharap dapat bertemu denganmu lagi meski mungkin status mu akan berbeda dari terakhir kali kita bertemu.

Lagi-lagi aku tersenyum pahit mengingatmu, mengingatmu kadang membuat ku hancur li, membuat hati ku teriris perih, tapi aku mencoba untuk menerima dengan ikhlas, karna kebahagiaan nala juga lebih penting bagiku.

‘Tak rindu kah kau padaku, Li?’

Spontan dadaku sesak, nafasku berat mengucapkan kata itu. Langit sepenuhnya gelap mirip keresahan para pelaut saat penghujan datang. Tak ada mendung yang menyangga langit-langit, hanya beberapa bintang menggantung di sisi gelap pantai ini.

“ Jujur, aku masih merindukan mu li, Aku sadar aku egois, sangat amat egois karna mengharapkan laki laki yg telah memiliki ikatan, terlebih lagi laki laki itu memiliki ikatan dengan kakak kandung ku sendiri, tapi aku gak bisa li, aku gak bisa menghilangkan rasa ini dari hatiku, rasa yg mulai aku sadari setelah kehilanganmu, sekalipun aku telah pergi menjauh dari hidup mu”

Pandangan ku mulai kabur dan angin seolah tajam menggores tinta dingin di kulitku, lalu semua benar terasa begitu gelap.

***

*TO BE CONTINUE*

PELABUHAN TERAKHIR (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang