[22]. Viginti-Duo

18.6K 1.7K 59
                                    

Selamat membaca

Bagian Duapuluh dua

***

"Cie yang udah di ajak tunangan." Ledek Juan saat aku sedang memandang cincin yang melingkar di jari manis ku ini, aku sedang berada di poli ruanganku dan tak mendengar langkah kaki Juan masuk. Mungkin aku terlalu asik memandangi cincin itu. 

"Gak usah diliatin mulu, karatan entar." 

Aku menatapnya tajam walau tangan masih melayang. "Sirik aja sih."

Juan kemudian duduk di brangkar pasien dengan kaki sebelahnya di biarkan memanjang ke lantai, kemeja birunya di tekuk sampai siku dengan berbagai bolpoin disaku yang pastinya cuma pajangan doang. "Aftar udah izin ma gue, soalnya nyokap lo masrahinnya gitu."

Aku mengangguk.

Mama selalu gitu, maunya terima beres yang penting udah tahu siapa orangnya.

"Tapi itu semua tergantung lo juga," dia menatapku kemudian. "Gue udah tahulah namanya apa disini tapi gue udah ngobrolin ma orangtuanya Ririn kalau gue serius sama dia."

"Emang mereka nerima mantu yang selengekan kaya lo?" cecarku mengejeknya. Juan tertawa, sambil mengeluarkan macam serapahnya.

Ini jam istirahat jadi tidak ada pasien yang masuk, dan aku bisa beristirahat sebentar karena sejak pagi ramai ke poli ku. Dokter Selly mengajukan cuti sebulan dan di setujui kepala poli anak jadilah aku bekerja sendiri disini.

Juan kemudian membuka kaleng cola nya untukku lalu mengambil kaleng cola ku yang masih tertutup untuk dia minum. "Mau lah, lo kirain."

"Ngomong ngomong lo di Raja Ampat gak buka segel kan, secara camping--" aku melembarkan vas bunga yang terbuat dari plastik tepat menabrak ke pelipisnya, aku tak perduli dia gagar otak atau bagaimana. "Sakit anjing,"

"Gue bukan lo atau Clearist ya." Sial aku menyebut namanya kembali. Ada sedikit rasa aneh yang menjalar di dalam tubuhku.

Juan masih mengusap usap keningnya yang memerah. "Ya lagian jidat lo, ya gu epikir pas lagi terus gejedot batu."

"Dih!"

Aku kemudian tidak mendengarkan ucapan Juan karena sibuk melihat orang berlalu lalang di pintu, menggendong anak ataupun datang ke rumah sakit bersama suami untuk periksa kandungan. Tanpa sadar aku tersipu sipu membayangkan masa depan ku dengan dokter Aftar nantinya.

Aku melepaskan jas dokterku menyampirkannya ke gantungan di pojok ruangan. "Ngomong ngomong soal Clearist, lo yakin gak mau tahu tentang dia?"

Aku mengemasi barangku karena hari sudah siang artinya poli segera tutup dan aku harus ke UGD berjaga. "Enggak buat apa? Masa lalu juga, kecuali kalau emang ganggu hubungan gue sih."

Juan iku tberjalan di sebelahku, menutup pintu lalu mengerling kepada semua suster yang lewat. Juan memang ganjen seperti itu. "Mata lo di jaga, Ririn marah ntar."

Dia tertawa kemudian mengamitku diantara sikunya, "Udah soal Ririn mah gampang. Sekarang soal lo dilamar kemarin ceritain dong."

Aku melepaskan tangannya paksa meninggalkan dia yang di belakangku, kenapa dia gak coba tanya ke dokter Aftar sendiri? Kenapa harus memancing mancing aku?

"Tanya aja sendiri lah,"

Aku tak perduli dia mengikuti aku atau tidak yang jelas aku mesti memeriksa pasien sekarang. Aku mengambil tensimeter dan duduk di salah satu pasien lansia yang datang sendirian disini. Rambutnya putih, pendek dengan daster, kulitnya sedikit pucat mengkerut. Saat aku sedang mengambil darah melalui suntikan, seorang kakek kakek kemudian datang lalu duduk disampingnya menemani istrinya yang sedang kelelahan dia tas ranjang perawatan.

Vulnere [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang