[25]. Viginti-Quinque

15.5K 1.6K 51
                                    


SELAMAT MALAM
SELAMAT MEMBACA CERITA DOKTER AFTAR

SUDAH SIAP MENDEKATI ENDING?

🔥🔥🔥

Bagian duapuluh lima

***

Hari ini dokter Aftar mengajakku keluar untuk makan, mari lupakan masalah kemarin sebentar karena aku sedang tidak mau memperkeruh masalah. Aku akan menganggapnya angin lewat. Dokter Aftar mengendarai mobil dengan cepat hingga dia mengerem mendadak karena hampir menabrak sesuatu, tangan kirinya terjulur menahanku agar tidak terbentur dashboard.

Dia diam menarik nafas dalam dalam dan menyandarkan punggungnya di punggung kursi kemudi, memejamkan mata. Wajahnya kusam dan kantung mata tercipta, mungkin kalau keadaan biasa aku akan mengomelinya karena tidak mencukur jambang yang mulai tumbuh itu. 

"Kamu kalau banyak fikiran biar aku yang nyetir!" Aku tak sadar meninggikan suaraku hingga dia membuka mata dan manahanku melepaskan seatbelt.

"Nda kamu jangan marah marah dulu, biar aku jelasin." Satu hal tentang Dokter Aftar yang kusuka adalah dia tak pernah memarahiku atau mendiamkanku semarah apapun dia atau saat aku sedang marah dia selalu merespon dengan nada biasa.

"Gak perlu Tar," Aku membuka pesan masuk yang membuat ponselku bergetar sedari tadi. "Anterin ke rumah sakit ya, ada pasien yang mau kontrol."

Benar memang tentang paseie, tapi tidak untuk kontrol. Clearist mengajakku bertemu, dengan berat hati aku menyanggupinya. Dia masih temanku, sampai kapanpun dia temanku walaupun kami sedang bermasalah tapi masalalu kami tidak pernah berubah.

Aku menatapnya sendu, infus elektrolit, cairan khusus dan darah tersuplai di tangannya. Tubuhnya mulai kurus, wajahnyanya pucat, rambutnya tak lagi pirang. Dulu dia padat, berisi dan berganti ganti warna rambut.

"Hai long time no see." Katanya saat aku duduk di kursi dekat pembaringannya.

Aku tersenyum.

"Aku sakit Nda, just like what you see now." Dia bahkan tak sanggup menggerakkan tangannya. "Aku gak tahu aku sakit apa, tapi kata Aftar pernyakitku langka."

Aku mengangguk. Berusaha menahan mataku yang memerah, jujur aku marah dengannya kenapa harus dia yang diperhatikan Aftar?

Dia menangis dalam keadaan berbaring. "I missed the moment when we together." We disini adalah aku, dia dan Juan. AKu pernah bilang bukan kalau kita satu SMA dan dia pasngan Juan cukup lama di Singapura?

Kenapa kamu harus kembali saat aku sudah mulai menata hidupku kembali?

"Nda," suaranya parau karana tertutup masker oksigen. Aku tak tahu jenis penyakit apa yang menggerogotinya tapi jika dilihat dari tubuh kurus kering hingga tulangnya terlihat sepertinya dia memang benar sebagai pasien.

"I am here." Aku tak mau menatap wajahnya barang sebentar saja, dia sudah menyakiti banyak kepadaku ataupun Juan. "Kalau gak penting, aku balik."

"Kamu mau ngabulin permintaan aku gak, sekali ini aja."

Tak perduli dia (pernah) bersikap buruk padamu dimasa lalu atau sekarang, nyatanya dia adalah salah satu bagian dari masa masa indahmu. Clearist merindukan masa dimana kami bersama, masa saat semua belum terjadi. 

Clearist meninggalkan Juan dan tinggal di Amerika, Clearist pernah membuat Juan terpuruk se terpuruknya hingga dia hampir gila. Semua yang dilakukan Juan tak ada harganya di mata Clearist. Dia memilik kembali ke Aldebaran, sosok yang aku tak ketahui sama sekali jika dia adalah dokter Aftar yang bersamaku hampir satu tahun ini.

Aku menerjang hujan di luar gedung rumah sakit, tak perduli ini siang hari atau hujan deras sekali yang membuatku akan sakit. Terkena flu tak seberapa jika dibanding rasa sakit hatiku mengetahui beberapa kalimat yang dilontarkan Clearist tadi.

Haruskah aku mengalah?

Rintik hujan semakin deras jatuh ke bumi, menyakiti kulitku karena lemparannya begitu cepat dan beruntun. Aku menatap langit yang kelabu pekat, aku tak mampu menyuarakan suaraku. Bodoh kamu Nda!

"Daripada jalan sendiri dikira lagi patah hati," Aku menurunkan pandangan melihat Yunan memayungiku dari samping di ruang pojok dekat parkiran mobil ini. "Yunan temanin dokter sampai ngerasa tenang."

Laki laki tersenyum di depanku yang kusut. "Tahu dari mana kamu saya patah hati?"

Dia seperti berfikir sejenak. "Katanya kalau jalan sendiri itu patah hati?"

Aku tertawa. Sedikit meringankan bebanku. "Kamu juga sendirian."

"Berarti kita sama sama patah hati dok." Ku lihat punggungnya sedikit kebasahan, aku mencoba memundurkan tanganya supaya posisinya tidak ikut kebasahan. Aku sudah basah jadi tak perlu di payungi, ternyata dia menolak.

"Emang gitu dok, kalau suka sama orang." Tangan Yunan satu di masukkan ke saku jeans nya. Menatapku, hanya kami yang berada di tengah hujan deras ini. "Resikonya patah hati."

Mataku memerah fikiranku kembali ke ucapan Clearist tadi, aku tidak menyangka Aftar setega itu padaku. "Dok jangan nangis dong." Yunan membuat airmataku turun dan pecah begitu saja, padahal sudah mati matian aku menahannya dengan menggigit bibirku agar tak terisak. Namun semua gagal, tubuhku tak pernah bisa berbohong jika aku menangis atau menahannya.

"Saya jadi ikut sedih." Dia menepuk nepuk bahuku pelan lagi, membiarkan aku menunduk mengeluarkan tangisku. Menggenggam erat kedua tanganku yang masih kurang jika dirasakan sakit hatiku. "Saya juga sama diposisinya dokter."

Dengan masih terisak aku menatapnya, wajahnya ikut basah hingga rambutnya lepek karena angin hujan yang cukup besar. "Saya suka sama orang tapi kalah cepat." Dia mulai bercerita, "Tiap hari saya nunggu dia datang, nunggu dia pulang." 

Yunan berhenti sejenak menatapku yang mulai menggigil. Punggungnya sudah basah. "Tiap hari juga saya berdoa agar bisa berada di sampingnya sekali aja." Berbanding terbalik denganku yang selalu berada di sisinya,

"Saya juga bedoa agar dia yang selalu disampingnya itu ternyata brengsek, jadi saya bisa menggantikan perannya memayungi dia saat hujan walaupun hanya sebentar." Aku tak tahu yang dia maksud apa dan kepada siapa karena aku sibuk meratapi kisahku. 

Aku tak banyak bicara, jika aku sedang sedih semua orang akan aku diamkan.

Yunan kemudian memberikan payung hitam itu kepadaku, memaksaku menggenggamnya yang terasa berat ku pegang. "Waalau sebentar, saya suka dok, karena setiap saya mau memayungi dia selalu kalah cepat. Jadi saya hanya bisa menatap punggungnya yang berlalu masuk ke dalam mobil."

Yunan benar, kadang kita kalah cepat kalau suka orang atau kadang malah terluka saat kebersamaan itu tercipta.

"Makasih dok, jadi gini rasanya mayungin orang lalu natap dia." Yunan tersenyum kemudian mengusap kepalaku canggung kemudian meninggalkanku bersama payung hitamnya. Dia menerobos hujan, sedang aku masih diam di tempat menatapnya nyalang, biasanya dokter Aftar yang melakukannya bukan Yunan.

Dokter Aftar, satu orang yang mampu membuatku merasakan bahagia selama ini namun juga mampu menjungkirkan aku dalam satu malam hanya karena fakta yang dikatakan salah satu pihak. Aku harus bagaimana? 

Diam saja?

atau harus memintanya menjelaskan semua padahal sudah ada buktinya?

Sakit ketika kita tahu kenyataaan yang sebenarnya, bukan dari oarng yang selama ini kita percayai dan orang itu berdiri tepat di depanku tertutup payung dan aku terpaksa menaikkan payung agar bisa menatapnya. Tatapan tajam yang menghunusku, tatapan yang berbeda, dia sudah basah terkena air hujan, wajahnya lebam dan berdarah.

"Nda?" dia masih bisa bersuara netral meskipun tahu aku sedang apa.

"Kita obati dulu luka kamu," Aku berjalan meninggalkannya lebih dahulu.

-000-

Terimakasih sudah membaca cerita sampai sejauh ini. Jangan lupa apresiasikan karya penulis dengan vote/komen dan bagikan jika menurut anda menarik.

Vulnere [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang