7

392 93 5
                                    

Rabu, Agustus 2015

"Gimana? Lo pada nanti nonton, 'kan?" tanya Janu menghampiri bangku kami—aku, Sonya, Nakia, dan Yesika.

"Kalo lo ngasih tiketnya harga 12ribu, gue berangkat," jawab Sonya. Dia emang suka nawar harga.

"Gue dapet dari DBL-nya 15, anjir. Bisa-bisanya lo minta harga di bawah itu?" balas Janu kesal.

"Ya udah, enggak berangkat."

"NYA, INI OPENING?"

"OPENING NGGAK OPENING, DUIT GUE, JANU."

Janu menghela nafasnya, "Ya udah, lo doang. 12 ribu, 3 ribunya gue bayarin,"

"Gue enggak, Nu?" tanya Yesi pada Janu.

Janu memasang wajah melasnya, dan kami berempat tertawa.

"Jam lima, kan?"

Janu membagikan tiket pada kami berempat, dan mengangguk, "Iya. Usahain jam lima udah sampai sana. Takut-takut ramai yang bikin nggak bisa masuk tribun."

Faktanya, kami udah disini sampai habis maghrib. Belum duduk di tribun, masih di luar.

Bener-bener deh, kalo opening gini, ramenya gila-gilaan.

"Huff, capek," eluh Nakia sambil menyandarkan kepalanya di pundak Yesi.

"Lo tuh, dibilang juga apa, keluar aja. Apa perlu gue yang ngetik-in?" ketus Sonya. Di antara kami berempat, yang ketus emang si Sonya. Yesika juga sih.

Intinya yang paling lemah gemulai itu aku dan Nakia.

"Bukan se-gampang ngetik doang, Nya. Harus ngadep langsung ke ketuanya. Minta tanda tangan kemarin aja gue takut, apalagi ngadep sendirian," gerutu Nakia.

"Lo tuh join eskul buat belajar, bukan buat dibegoin?" balas Sonya lagi.

"Iya, mungkin minta tanda tangan itu termasuk belajar, Nya?" saut Yesika sarkastik. Lantas tawaan menyusul dari mulut Sonya dan Yesika. Nakia—objek yang ditertawakan, hanya melipat bibirnya.

Aku cuma diem aja, ikut tertawa. Aku lagi lihat ke luar jendela gedung DBL, menampilkan barisan rapih parkiran motor universitas sebelah. Kalau malem bagus juga, ya.

Setelah puas, aku membalikkan badanku menghadap teman-temanku.

Dan voila, di sebelah barat laut tempatku berdiri, Mas Ino sedang bersama teman-temannya. Tangannya terulur meraih sisi atas bangunan DBL yang miring—ini karena menyesuaikan bentuk tribun.

"Mas Ino tuh bukannya anak koor ya, Li?" tanya Yesika padaku. Ia menangkap arah pandanganku juga ternyata.

Tadi, saat di pelataran Graha Pena, Mas Ino terlihat bersama anak koor lainnya. Bahkan, Mas Ino lagi bawa box berisi karton buat koreo.

"Tadi penampilannya anak koor banget, sekarang jadi kaya anak kelas dua belas versi abis bimbel,"

Aku tertawa. Mas Ino, tadi di luar beneran cuma pakai kaos suporter aja. Nggak kaya sekarang. Mas Ino pakai hoodie hitam, sama lagi gendong tas ranselnya.

Mas Ino lagi dialog santai sama teman-temannya, lebih tepatnya ada 5 orang. Sesekali memukul lengan temannya, tertawa. Mungkin cara dia mengusir kejenuhan menunggu pertandingan sekolahku dimulai.

Aduh gimana ya, lihat Mas Ino interaksi sama temannya kok lucu.

Waktu udah pertandingan juga, dia enggak lepas hoodienya. Aku nggak tahu, dia lupa atau sengaja, atau lagi sakit—semoga yang ini enggak. Biasanya orang-orang kalau lagi suporteran itu pada semangat nge-chant, dia malah ketawa-ketiwi bercandaan sama teman-temannya. Biasanya bakal ditegur sih. Tapi ya, Mas Ino kelas dua belas.

Iya nggak ada yang berani negur, kan kelas dua belas?

Mas Ino bahkan enggak ikut ribet kaya anak koor. Malah di tribun suporter, enggak di depan deket capo atau keliling negur suruh nyanyi yang keras. Padahal tadi aku lihat dia kaya anak koor.

"Bener-bener ya, si Maha Membolak-balikkan pikiran orang."

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang