20

617 99 26
                                    

Jumat, April 2016

"Kami segenap kelas 12 IPS 1 memohon maaf bila saya atau teman-teman pernah berbicara atau berlaku yang menyakiti hati adik-adik sekalian, baik disengaja maupun tidak disengaja."

Siluet bening termarkah di bola mataku tanpa aku sadari. Sebuah refleks atas sesuatu yang telah ditangkap oleh kedua lensa netraku.

Sepanjang enam belas tahun hidup, aku belum pernah mengagumi seseorang sedalam pada Mas Ino.

Belum pernah. Sama sekali.

Diibaratkan, ada sebuah ruang untuk mendapatkan hatiku. Letaknya tersembunyi, seperti mustahil untuk ditemukan. Namun takjubnya, Mas Ino menemukan ruang itu; bahkan dengan teramat baik. Menyentuh nadi yang hidup di dalamnya.

Tapi naasnya, aku tidak menemukan ruang milik Mas Ino.

Satu sisi.
Satu tahun aku sekolah, aku menyukai seseorang dalam satu sisi: tidak terbalas, tanpa dirinya tahu. Kata Begundal, perasaanku ini sakral.

Aku tertawa.
Sakral darimananya?
Sebuah hal bodoh bernama minder memperjelas sebuah realitas.

Realitas bahwa seorang Lia yang tidak secantik Yesika, tidak sepandai Mahesa ataupun Sonya, dan tidak selemah lembut nan ayu seperti Nakia.

Aku hanya—entahlah. Tidak ada spesifikasi dariku yang dapat bersanding dengan sosok Mas Ino dengan segala kelebihannya. Aku hanya perempuan out of nowhere, bayangan.

Kadang, aku suka berpikir 'apakah aku beneran nggak bisa sama Mas Ino, ya?'

Siapa yang tau? Aku hidup dengan prasangka yang dihidupkan oleh benakku sendiri.

Dasar aku, memang manusia pesimis.

Lebih tepatnya, aku terlalu mencintai diriku sendiri. Agar tidak tersakiti dengan sebuah penolakan atas perasaan yang telah diberikan. Atau menemui sebuah kenyataan yang teramat menyakitkan.

Pikiranku terdistraksi dengan ucapan permintaan maaf dari segerombol kakak kelas yang akan berperang pekan depan.

Mbak Mora mengambil suara, "Kalau temen-temenku ada yang ngomong jelek ke kalian, maafin ya. Kami beneran minta maaf."

Aku mengangguk. Teman-teman kelasku yang lain juga mengangguk.

Sebagaimana ritual tahunan, masing-masing kelas dua belas akan berkeliling seantero sekolah untuk meminta maaf dan memohon doa sebelum melangsungkan Ujian Nasional.

Beberapa kelas telah memasuki ruang kelasku, dan sebagai penutupan yang berkunjung di kelasku adalah kelas 12 IPS 1.

Aku nggak tau ini termasuk dalam ritual atau enggak, tapi kehadiran mereka seolah-olah memberiku pengingat bahwa mereka sudah tidak akan ditangkap kedua mataku lagi.

Terutama presensi manusia yang sedang memegang kardus aqua berisi permen itu, bersandar pada kusen pintu kelasku. Kasino Ishak, 12 IPS 1, bukan 12 IPA 8 karena sudah pindah jurusan.

Manusia yang tidak bisa dipahami olehku, bahkan waktu setahun pun tidak cukup. Segala gerak-geriknya yang memuat kesemertaan, kebebasan, dan idealisme pribadinya yang menurutnya sangat menyenangkan.

Mungkin, beberapa poin mutlak yang bisa diingat; belahan jiwa Mas Bayu dan tini wini biti.

"Lo-lo pada ada yang mau ngomong lagi, nggak? Penyucian dosa ini."

"Ino tuh, Mor, Inoo. Nok!"

Yang memiliki nama terjengit di sela-sela kegiatan berguraunya dengan teman-temannya yang berada di luar kelas.

AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang