19

326 91 2
                                    

Kamis, Maret 2016

Tidak akan pernah ada yang terjadi. Apa yang diharapkan dari seorang pengagum diam-diam yang nggak berani ambil langkah sedikitpun untuk mengikis jarak?

'Punya hak apa?'
Mungkin pertanyaan itu yang akan selalu muncul.

Entah. Bahkan sadar diri sama nggak percaya diri itu dibatasi sebuah garis tipis yang samar-samar terlihat.

"Lo mikirin apa sih?"

Kesadaranku kembali setelah mendengar sayup suara Sonya. Sebuah gelengan kecil aku jadikan jawaban.

"Itu lengan lo di lipet, Lia."

Sebelum aku hendak melipat lengan, kedua tangan Nakia sudah terulur untuk melipat bagian kanan lengan baju seragamku.

Seluruh degupku terhadap kegiatan imunisasi ini hilang saat aku mendengar Begundal membicarakan kegiatan kelas dua belas. Terdistraksi dengan suatu makhluk tak kasat rasa bernama Ino.

Bahkan di penghujung studinya di sekolah ini, aku belum berani mendekati Mas Ino secara terang-terangan.

"Ini sakit nggak sih?"

Nakia menggeleng, "Nggak kok. Lebih nyeri yang biasa dulu di SMP."

Aku melangkahkan tapak kakiku maju. Nggak ikut dalam obrolan milik Yesi, Sonya, dan Nakia.

Kami sedang antre menunggu giliran sebuah jarum menembus lengan atas kami untuk menyalurkan sebuah obat. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula sekolah. Sekarang giliran kelas sepuluh. Kelas sebelas juga dua belas nggak tau sudah atau belum.

"Tumben lo diem aja, Li?"

Aku memalingkan wajah menuju suara bariton yang memanggilku. Rupanya Felix, si bule nyasar berdiri di sampingku sambil memegang lengannya yang tersingsing.

"Takut tuh si Lia. Cupu."

Sebuah lengkungan pedih terpatri di bibirku mendengar celetuk Haris yang jelas nggak diajak konversasi. Aku cemberut, lalu menganggukkan kepalaku.

"Tenang aja kali. Rasanya kaya digigit semut..."

"...tepatnya, seribu semut merah sih."

"LO GILA YA FELIX?!"

Felix tertawa melihat reaksi histerisku. Aku mengelus lenganku, berpikir untuk kabur.

"Nah udah idup lagi. Dadah, gue ke baris sebelah," pamitnya sambil melambai dengan wajah tak berdosa.

Gangguan Felix membuat atensiku terhadap antrian teralih. Dua manusia di depanku; Yesi lalu Sonya, sedang dieksekusi.

Sebenarnya, aku nggak takut disuntik, sih. Cuma deg-degan aja. Serius.

Aku mengedarkan pandanganku, melirik seantero aula. Aula dibagi menjadi dua bagian dengan sekat tipis di tengah sebagai pembatas. Serambi kanan untuk murid laki-laki dan serambi kiri untuk murid perempuan.

Nihil. Nggak ada tanda-tanda kehadiran Mas Ino.

"Jangan tegang, ya. Rileks."

AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang