12

322 87 22
                                    

Selasa, Oktober 2019

"Ada tiga, eh apa dua, ya?"

"Gem, Gem.. berapa, Gem? Kok gue lupa."

"Apaan?"

Gema yang sibuk meng-sketch desain di dinding, menolehkan kepalanya dan melempar pandangannya pada Halim yang duduk di lantai sambil makan snack keju bundar.

"Kucingnya Mas Ino. Yang kemarin itu waktu ambil giant flag di rumah Mas Ino. Lo kan tanya dia punya kucing berapa," balas Halim pada Gema.

"Oalah... berapa ya kemaren bilangnya tuh? Kayanya ada tiga," jawab Gema lalu melanjutkan aktivitasnya.

"Oh hooh, tiga! Iya-iya gue inget, ada tiga. Bener, ada tiga, Li," sahut Halim sambil menjetikkan jarinya.

Aku berdiri di atas kursi nggak jauh dari posisi Gema; membenahi letak selotip yang tidak lurus untuk membingkai kontruksi gambar yang akan dilukis di dinding belakang kelasku.

"Kucing ras?" tanyaku pada Gema.

Gema menggeleng, "Bukan kok. Kucing nemu di jalan. Warna oren dua, yang kecil warna abu-abu gitu."

"Dih, yang semalem gue line ke lo itu, Li. Kucing oren."

Kemarin malam, Halim tiba-tiba mengirimiku foto kucing oren yang wajahnya ngeselin banget lagi nangkring di atas kursi biru. Aku kira dia iseng atau gimana, ternyata itu kucing punya Mas Ino.

Halim mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu jahil melempari tubuh belakang Gema dengan bungkus snacknya. Sedang yang dilempari acuh sebab sibuk dengan pekerjaannya.

"Siapa Gem namanya? Aji Janu Haris?" celetuk Halim lagi.

"Muatamu, cuk."

Aku tertawa melihat Aji, Janu, dan Hari mengumpat bersamaan ke Halim. Kalau denger Begundal misuh itu ada nada khas yang diterima baik dengan telingaku. Luwes banget kalau misuh.

"Sori, Dori, Mori," ucap Gema.

Namanya lucu juga, lawak banget.

Tapi lebih lucu yang punya.

"Lo tau, Li, ternyata Mas Ino anak tunggal," celetuk Halim. Usai dengan snacknya yang kini telah habis, pada himpitan jemari Halim ada sepuntung rokok. Teman-temanku emang biasa ngerokok sih.

"Itu adek-adeknya Mas Ino," pungkas Gema.

Aku mengangguk-anggukan kepalaku. Ternyata Mas Ino anak tunggal, sebuah fakta yang baru aku tau.

Omong-omong, sekarang aku lagi di sekolah, walaupun hari sudah gelap. Besok ada penilaian kebersihan kelas, jadi sekalian mau ngehias dinding belakang kelas.

Bukan lain, tapi pasti, Begundal jadi panitia utama pelaksanaan pelukisan malam ini. Begundal, si kumpulan manusia anti pulang yang sukanya nongkrong sampai malam.

Teman-temanku yang perempuan juga ada, walaupun jumlahnya sedikit dan cuma yang rumahnya dekat dari sekolah. Mereka lagi mendata buku yang nanti diletakkan di sudut baca—semacam perpustakaan mini yang wajib ada di tiap kelas.

Aku ikut di sini, karena sekalian tadi selesai bahas training camp-nya EC. Mau pulang nanggung juga karena rumahku jauh. Tapi nggak apa-apa, pulang malem-malem itu enak.

"Rumahnya yang di perumahan belakang rumah sakit itu, 'kan?" tanyaku pada Gema dan Halim.

"Bukan. Daerah rumah lo, deket bandara juga."

"HAH SERIUSAN?!" teriakku terkejut

"Eh sumpah-sumpah, yang bener aja lo?" tanyaku memastikan.

"Noh tanya Janu kalo lo nggak percaya."

Merasa namanya dipanggil, Janu yang sedang berdiri di atas meja untuk mengecat bagian atas menunjukkan responnya dengan menganggukkan kepalanya.

"ANJIR. BISA NGAPEL DONG GUE. HAHAHA," responku antusias.

"Gue kira lo tau," celetuk Haris.

Aku menggelengkan kepalaku, "Gue cuma tau alamat rumahnya di data quick edu itu, yang di belakang rumah sakit."

"Oalah, itu rumah neneknya."

"Ooh..." balasku. Rumah yang waktu itu aku cari-cari sama Yesika ternyata cuma rumah neneknya.

Selesai dengan selotipku, aku mengambil posisi duduk di lantai untuk bergabung dengan teman-teman perempuanku untuk mendata buku, sekalian dikasih sampul plastik dan ditempel label nama.

"Widih, kok masih rame? Ngapain gais?"

Kami yang ada di dalam kelas, spontan menoleh ke arah sumber suara yang rupanya dari pintu masuk kelasku.

Itu kakak kelas, Mas Bayu—ketos yang baru lengser. Satu tongkrongan sama Mas Ino, tongkrongan anak koor. Tapi Mas Bayu sendirian, nggak ada tanda-tanda kehadiran Mas Ino.

"Weh Mas Bay! Bentar, Mas," sahut Janu. Ia turun dari meja dan meraih sebuah kantong plastik merah yang ada di atas meja.

Mas Bayu masuk ke dalam kelasku dan mengedarkan pandangannya pada dinding yang sedang kami kerjakan.

"Acara apa ini?" tanya Mas Bayu.

"Biasa Mas, kebersihan kelas," jawab Haris.

"Tumben masih di sekolah, Mas?" lanjut Haris melontarkan pertanyaan pada Mas Bayu.

Janu berjalan mendekati Mas Bayu dan memberikan kantong plastik itu. Aku nggak tau isinya apa.

"Banyak tanya lo. Nih mau ngambil ini," sela Janu.

Mas Bayu tertawa dan menerima barang dari Janu, "Makasih, Nu."

Aku dan teman-temanku yang nggak kenal sama Mas Bayu ya bersikap acuh-tak acuh. Apalagi nggak ada Mas Ino, perhatianku fokus di kegiatan menyampuli buku.

"Sendirian, Mas? Uji nyali?" tanya Haris lagi.

"Kaga, Ris. Ada si Ino kok di bawah. Lagi ngebakso sama Pak Mul. Gue balik duluan, ya. Thanks, Nu!"

Aku menghela nafas, kenapa Mas Ino nggak ikut naik aja.

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang