18

327 86 4
                                    

Jumat, Februari 2016

Lepas bertarung dengan ulangan harian Sosiologi sebagai penutup mata pelajaran di hari Jumat, aku merehatkan diri di kursiku. Brutal, soal-soal ulangan harian memaksaku untuk menghafalkan sekian banyak jenis-jenis nilai, norma, asosiatif, disosiatif. Pening.

Enggak tahu, bakalan kena jackpot atau nggak. Yang penting udah selesai ulangan.

"Lo mau balik?" tanya Sonya pada Janu yang terlihat mengemasi barangnya. Ia sedang mengenakan jaket dan tasnya telah bertengger apik di punggungnya.

"Hooh. Keburu Jumatan, nanti ditutup gerbangnya," jawab Janu menganggukkan kepalanya. 

Begundal memang suka pulang mendahului bel sekolah. Katanya malas kalau melangsungkan ibadah rutin Sholat Jumat di sekolah.

"Males, Mushola sini sempit."

Yah, kuakui, Begundal emang bukan muslim yang taat sih. Mungkin sekian persen aja mereka akan sholat di luar sekolah.

"Nya, tuh bangku udah pada gue naikin. Tinggal lo sapu doang kelasnya. Gue piket ya, jangan lo anggep nggak piket," Aji berkata pada Sonya yang memiliki jadwal piket sama, yaitu pada hari Jumat. Kadangkala, Aji suka pulang mendahului. Berlagak lupa piket yang memicu adu mulut yang sengit dengan Sonya. Dua manusia yang sama-sama keras kepala.

Aku rasa, mungkin sudah kultur seluruh sekolah. Murid perempuan yang bagian menyapu, sedang yang laki-laki menaikkan kursi diatas meja. Masalah mengelap jendela, membersihkan kipas, atau mengepel lantai itu dilakukan kalau ada hari kebersihan secara serempak aja alias kalau ada wali kelas yang memantau.

"Oi, balik dulu!" teriak mereka bergerombol lantas berjalan keluar dari kelas.

Aku nggak pernah coba pulang mendahului bel, begitupun Sonya, Yesi, apalagi Nakia. Kami manusia males pulang. Bahkan hari-hari biasa, kami keluar dari kelas pukul lima sore; di mana jam tiga kami sudah pulang. 

Karena gimana ya, nongkrong dan gibah itu asik. Itung-itung refreshing habis suntuk pelajaran seharian, sebelum balik ke rumah untuk mengerjakan tugas harian.

Aku merebahkan kepalaku pada pangkuan Sonya. Lepas seluruh siswa laki-laki keluar untuk Jumatan, perempuan di kelasku biasanya akan rebahan jamaah. Menyalakan speaker  kelas lalu menyetel lagu.

"Aduh, enak banget rebahan."

"Cerita lo lanjutin dong, Li."

Tadi saat istirahat pertama, aku menceritakan kejadian di meeting  English Club pada Yesi, Sonya, dan Nakia. Ya, ke Begundal juga sih. Aku mengatakan kalau aku telah mengetahui bagaimana Mas Ino berbicara dalam sebuah forum. 

Respon Begundal tak lain seperti fanboying  Mas Ino. 

"Iya. Dia bilang 'harus lihat dari perspektif apa yang memperkuat argumen kontra' jadi dari situ bisa dapet tuh alasan kenapa kontra," jelasku panjang lebar pada Sonya.

Sonya mengerutkan keningnya, masih merasa asing dengan apa yang baru saja kuucapkan.

"Gue kira... Mas Ino orang yang nggak punya intentions  ke hal-hal mikir sama sekali. Lo lihat aja dia slengean banget. Tapi herannya tuh, kadang dia juga bisa kelihatan macem anak bener aja."

Aku tertawa, lalu teringat omongan Aji, "Lo jangan pernah coba memahami Mas Ino, deh. Lo nggak akan bisa paham."

Di tengah-tengah obrolanku dengan Sonya, Yesi dan Nakia kembali dari ruang BK dan membawa beberapa makanan serta minuman pesananku. Mereka memang mampir ke pujasera sebelum kembali ke kelas.

"Ini punya gue yang mana?"

"Itu teh tarik, yang tadi dibawa Nakia good-day."

Sonya mendekatkan hidungnya untuk mencium aroma yang menguar dari gelas, "Oh iya ini kopi."

"Lo jorok banget. Mending lo cicipin daripada lo dengusin begitu, Sonya," protesku.

Sonya hanya terkekeh pelan, bersikap bodo amat, lalu meminum good-day  pesanannya. Sedangkan milikku adalah teh tarik dengan sedikit es batu. 

"Lanjut cerita lo, Li," titah Yesi.

Nakia dan Yesi telah singgah rapi di samping Sonya. Memasang ancang-ancang untuk mendengar kelanjutan ceritaku sambil menikmati kudapan masing-masing.

"Udah... mentok. Mau cerita apalagi?" jawabku acuh. Iya, emang udah habis ceritanya. Cuma sebatas Mas Ino ternyata nggak se-bengek yang kami kira.

"Lo ngerasa nggak sih, Li? Kalo akhir-akhir ini lo sering banget dipertemukan waktu yang bikin lo bisa ngobrol sama Mas Ino?"

Iya. Aku ngerasa banget. Aku sudah dari beberapa hari yang lalu memikirkan ini. Tentang bagaimana aku sering dalam situasi yang membuatku berinteraksi dengan Mas Ino. Mulai dari tragedi Christopher cerpen salah kelas, lalu terlambat, dan berakhir kejadian kemarin tentang prostitusi.

Kalau dipikir-pikir, unik juga alasan-alasan yang melatarbelakangi interaksiku dengan Mas Ino. 

"Intinya, selalu ada Mas Bayu," celetuk Yesi.

"Lo harusnya berterimakasih pada Mas Bayu karena atas jasa beliau, lo bisa ketemu dan ngobrol ama Mas Ino."

"Iya juga ya."

Aku menggerak-gerakkan kakiku sambil menatap langit-langit kelasku. Berpikir, apakah ini memang kebetulan atau ada rencana milik alam. 

Menurutku pribadi, ini kebetulan. Yah walaupun jujur, kadang aku berpikir ini kode kalau aku berjodoh sama Mas Ino. Tapi sayangnya logikaku dengan cepat menampik kehaluanku.

"Tinggal berapa bulan sih kelas dua belas di sini?"

"April kayanya udah nggak ada. Tinggal Maret doang. Tinggal sebulan lagi," jawabku.

"Nah mungkin itu alasan kenapa lo sering ketemu sama Mas Ino akhir-akhir ini."

Iya. Mungkin. 

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang