16

315 97 10
                                    

Kamis, Januari 2016

Seperti kisah klasik pada umumnya, hari itu aku terlambat datang ke sekolah karena ada kecelakaan lalu lintas di dekat perlintasan kereta api. Seriusan, itu macetnya minta ampun. Aku juga udah berangkat pagi, tapi mungkin udah takdirnya buat bersilaturahmi ke BK melalui jalur pelanggaran.

Setelah turun dari motor Ayahku, segera aku berlari menuju barisan pelajar-pelajar yang terlambat hari ini. Tidak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar tujuh orang—termasuk aku. Sebab minggu lalu sudah disidak dengan teramat sadis, pelajar yang lain menemui titik kapoknya. Aku nggak kapok karena belum pernah terlambat. Jadi, ya udah, mau gimana lagi, 'kan?

"Amalia Nariswari, sepuluh ips satu, macet,"

Aku berdiri di baris ketiga deretan siswa kelas sepuluh. Khutbah panjang disampaikan oleh guru tata tertib. Khutbahnya tentang keterlambatan merupakan penghambat sebuah kesuksesan, keterlambatan adalah ketidakdisiplinan diri yang harus dihilangkan, belajar memperhitungkan waktu, dan lain-lain. Sesekali disenggol alasan-alasan nirlogis yang dikatakan siswa-siswi yang terlambat hari ini. 

Lepas dengan seluruh pencerahan yang sebenarnya enggak begitu tercerahkan, kami dibagi untuk membersihkan sekolah. Beberapa ada yang menyapu dedaunan kering yang ada di halaman depan sekolah, menyirami seluruh tanaman yang tersebar di sekolah, dan mengambil sampah-sampah yang bergeletakan di koridor-koridor sekolah.

Aku kira, menyapu adalah yang terbaik dan paling aman. Rupanya tidak. Hembusan angin kerapkali menerbangkan daun-daun yang telah berhasil aku kumpulkan.

Kesal? Banget.

"Hai pacarku, kamu lagi apa?"

Sayup-sayup terdengar bahana dari seseorang yang teramat kukenal. Siapa lagi kalau bukan Mas Ino?

Mas Bayu yang kebetulan juga terlambat dan menghabiskan hukumannya sama denganku berupa menyapu halaman sekolah, disapa apik oleh Mas Ino. 

"Bego banget, kok kamu bisa ketahuan sih sayang?"

"Gue dateng kepagian. Sialaan," keluh Mas Bayu.

"Tadi gue mau bablas, dicegat si Minus. Satpam kurang ajar emang," imbuhnya sambil menyapu dedaunan kering.

"Dan lo masih menyapu? NGAPAIN?" tanya Mas Ino sarkastik pada Mas Bayu. Mas Ino tengil juga ternyata.

Sedang aku di sini diam seribu bahasa, berlagak tidak mendengarkan obrolan yang dilontarkan sangat riuh itu. Berusaha segera menyelesaikan jutaan dedaunan kering yang tersebar di halaman ini. 

Sumpah, kalau nanti Mas Bayu betulan nggak nyapu, aku mau mati aja rasanya.

"Siapa sih tatibnya?" tanya Mas Ino, "Firaun?"

Mas Bayu mengangguk mengiyakan. Hingga tiba-tiba Mas Bayu seperti teringat sesuatu.

"Aduh, gue belum kasih flashdisk  cerpen," ujar Mas Bayu.

Mas Ino memposisikan diri untuk duduk di berem yang ada di belakang Mas Bayu, "Terus? Lo mau ngasih sekarang?" tanyanya.

Hue, aku di sini nguping banget.

"Gimana ngasihnya? Mana si Ibu mau setorin ke percetakan pas istirahat pertama,"

Usai bercakap sedemikian rupa, aku merasakan hawa yang kurang enak.

"Eh itu, si adik kicil-kicil yang kemarin nyari lo," celetuk Mas Ino mengarah padaku yang kemudian disusul panggilan-panggilan kecil.

Aku mengangkat wajahku, menatap ke arah Mas Ino berada. Aku deg-degan, tolong.

Mas Bayu dan Mas Ino melemparkan laksa netranya padaku, "Lah itu temennya si begundal sepuluh IPS satu, 'kan?"

"I-iya, Mas," jawabku dengan suara pelan.

"EH ANJIR, GUE BELOM NGERJAIN JACKPOT, BAYU," teriak Mas Ino tiba-tiba.

"Lah bego amat, terus gimana anjrit? Jam pertama,"

"Gue gantiin si adek aja nyapu biar terlambat terus nggak ikutan kelas. Si adek lo suruh kasih flashdisk  ke si Ibu, gimana?" usul Mas Ino yang benar-benar jelek banget. Masa aku dijadikan umpan?

"Anu, Mas, saya nggak berani. Nanti ketahuan Pak Firdaus," pintaku memohon.

Mas Ino menggeleng, "Nggak usah dibawa tasnya. Sama bawa flashdisk, nanti bilang aja habis disuruh Bu Ani, gitu. Lagian juga orang Tatib nggak ngapalin wajahmu. Kalau wajahku sama Bayu mah, nggak perlu ditanya,"

"Boleh ya, Dek? Ini demi kemaslahatan nilai kelas dua belasku sama Ino. Atas nama sesama IPS, boleh ya?" kini Mas Bayu yang angkat bicara. Ia memohon sambil memelas kepadaku.

"Nanti tasmu dianter ke kelasmu, deh. Atau nanti tak suruh si Haris atau Aji ngambil, oke?" pinta Mas Ino memohon.

Wah ini rasanya disembah sama kakak kelas, ya. Hehehe.

Sebenarnya aku mau menolak, tapi aku ada ulangan harian listening. Jadi ya udah lah, aku terima. 

Aku mengangguk ragu, mengiyakan konsiliasi tersebut.

"Dimana tasmu, Dek?" tanya Mas Bayu padaku.

"Di sana, Mas," ujarku sambil menunjuk tas ranselku yang berwarna coklat susu di bawah meja informasi di lobby. Mas Bayu mengerti, lalu merogoh sakunya meraih flashdisk miliknya. Lantas diberikanlah benda kecil itu padaku.

Sapu kuletakkan, lalu mengulurkan tanganku menerimanya. Setelah diberi informasi mengenai informasi filenya, aku segera berlalu dari situ.

Tatap terakhir yang ditangkap oleh mataku, Mas Ino duduk di berem sedang memangku banyak lembaran folio, sibuk menyelesaikan tugas jackpotnya. 

"Sama-sama," ujarku dalam hati walau tidak ada kata terima kasih.

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang