17

309 91 5
                                    

Senin, Februari 2016

Adalah senin, sebuah hari yang terpilih untuk melakukan meeting ekstrakulikuler EC—English Club sepulang sekolah untuk membahas lomba. Dua pekan ke depan, kami akan turut dalam ajang english debate yang diadakan oleh sebuah kampus negeri di kotaku.

Dan payahnya, aku yang cuma modal nekat ini turut ambil posisi. Ya, apalagi sih yang aku kejar selain sertifikat sama perizinan bolos versi halal?

"Ini susah sih. Gimana bisa kontra sama penutupan lokasi prostitusi? Karena jelas tempat itu bikin dampak yang negatif. Baik buat kesehatan pekerjanya, juga buat perkembangan anak yang berada di lingkup situ."

Mia mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi berita yang memuat fakta tersebut, sebagai bukti bahwa argumen itu memang benar.

"Really?"

Sebagaimana lomba debat pada umumnya, ada beberapa mosi yang sudah dihidangkan sebelum hari pertandingan. Kami mencari informasi sebanyak mungkin untuk mendukung argumen kami nanti.

Salah satu mosi yang cukup fenomenal adalah membahas mengenai penutupan lokasi prostitusi di kotaku.

Bukan hal yang sulit kalau nanti timku adalah tim pro. Kalau kontra? Bunuh diri.

Aku, Mia, dan empat orang kakak kelasku yang semuanya kelas sebelas, mengadakan meeting di pujasera sekolah. Tepatnya di depan kantin delapan, alias kantin Pak Brengos. Kantin yang jadi langganan utang Begundal.

"Indeed. Makanya, gampang kalau kita dapat pro. Kalau kontra?"

Aku dengan otak yang nggak begitu mau bekerja, cuma berpura-pura mendengarkan dan berpikir.

"Aduh, kita butuh Mas Dimas sih, asli," keluh Mbak Dila selaku ketua ekstrakulikulerku.

Mas Dimas jelas tidak bisa diandalkan untuk saat ini, karena kelas dua belas sedang sibuk-sibuknya dengan ujian praktek. Mas Dimas dengan segala keambisannya, sudah pasti akan memprioritaskan ujiannya dibanding berbicara dengan kami mengenai hal ini. Lagipula, kelas dua belas juga harus dibebaskan dari tanggung jawab ekstrakulikuler.

"Oi, Li, lo ngapain?" ujug-ujug, Aji datang menyapa. Ia menghampiriku dengan gaya petentang-petentengnya.

"Biasa, EC. Lo mau kemana? Osis?" tanyaku balik.

Aji menggeleng, "Enggak. Gue mau ke basecamp. Lo bahas yang di kelas tadi lo suruh Mahesa ngerjain itu?"

Aku memukul lengan Aji, "Lo jangan bikin gue kelihatan dodol, dong."

Di tengah-tengah keributanku dengan Aji, telah hadir sosok Mas Bayu di lingkaran perundingan. Aku nggak tahu datangnya kapan.

"Si Dimas titip salam katanya nggak bisa dateng," kata Mas Bayu menyampaikan pesan. Kami para anggota EC mengiyakan pesan itu.

Mas Bayu pernah ikut debat, satu tim sama Mas Dimas. Jadi, beliau menawarkan bantuan. Jelas kami langsung mencecarnya dengan  pertanyaan mengenai mosi prostitusi itu tadi.

Melihat perundinganku yang mulai lagi, Aji pamit lantas pergi dari hadapanku.

Mas Bayu meraih kertas argumen kami, membacanya dengan khidmat.

Yah, seperti yang sudah-sudah. Di mana ada Mas Bayu, pasti ada Mas Ino kemudian.

Mas Ino hadir sambil membawa dua bungkus tini wini biti di genggamannya. Ia mengambil posisi duduk tepat di samping Mas Bayu mengobrol dengan Aji sambil sesekali menyapa rekannya yang lewat di dekatnya.

Iya, udah jelas kalau Mas Ino si dewa santuy nggak tertarik dengan obrolan serius ini.

Apa aku degdegan dengan kehadirannya? Ya, jelas. Banget malah. Parah.

Bahkan setelah kejadian terlambat beberapa pekan yang lalu, aku masih belum terbiasa untuk mengontrol ekspresi dan degupku. Walaupun aku sempat kesal karena tasku nggak diantarkan dan digeletakkan di meja lobby sampai-sampai tata usaha memanggil melalui pengeras suara.

Aku juga nggak tahu kenapa hilang rasa kesalku dan masih nggak bisa biasa aja. Tapi seenggaknya, sekarang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sedikit.

"Iya, sih. Ini quitely complicated. Soalnya gini, prostitusi itu dari segi norma, udah beneran melenceng," tukas Mas Bayu.

"Iya kan, Mas Bay? Kami juga daritadi mikir itu. Kalau segi kesehatan juga, larinya ke HIV."

"Coba lihat dari perspektif yang lain. Ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum?" tanya Mas Bayu menelisik.

"Hukum, Mas Bay. Angka mortalitas bayi tinggi, sekian persen karena aborsi. Sosial-budaya, ada berita bilang kalau banyak anak-anak yang tinggal dekat lokasi itu mengalami pendewasaan dini," balas Mbak Dila.

Entah ada angin apa, tiba-tiba Mas Ino angkat bicara.

"Bay, lo kan doyan lihat yang aneh-aneh, masa lo nggak tau kalau lokasi prostitusi itu terbesar se-Asia Tenggara?

"Nih, kalo lo mau pakai dari sisi ekonomi, penghasilan dari lokasi itu jelas gede. Masuk dana siapa? Jelas pemerintah karena ada tax.

"Itu sisi pemerintah. Dari sisi pekerja, mereka bekerja, Bay. Butuh duit. Penghasilan mereka dari sana. Lo cek deh, probabilitas angka kemiskinan setelah lokasi prostitusi yang ada di Ibukota kapan hari itu di tutup. Lo juga harus cek presentase pengangguran,"

Mas Ino masih mengunyah biskuit tini wini bitinya, sambil terus berkhutbah.

"Sekarang bahas masalah hukum, ada nggak hukun yang melindungi mereka? Tentang kesehatan, ada nggak asuransi yang menanggung kesehatan mereka agar pelanggan 'sehat'? Nggak ada, 'kan? Jelas berat sebelah."

"Coba kalian lihat dari kacamata si pekerja seks komersial itu, itu opsi terakhir yang mereka ambil karena minimnya lapangan pekerjaan sama rendahnya pendidikan mereka."

"Daripada menutup lokasi itu, kenapa nggak melakukan obligasi? Kasih mereka jaminan kesehatan. Toh, gue yakin, itu ditutup nanti juga tingkat kriminalitas bakalan naik. Gue jamin,"

Semua tertegun. Diam. Termasuk aku.

Ternyata ini yang dimaksud Begundal kalau Mas Ino memang harus ada di setiap perundingan.

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AMOR ANDESTIN [LeeKnow x Lia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang