-

147 27 5
                                    

Gadis kecil itu masih dalam posisi duduknya sambil terisak di depan jendela yang menampakkan guyuran air hujan. Dia terus menyebut nama ibunya.

Apa tadi kudengar? Mami? Terdengar manja sekali di telingaku. Aku tidak suka anak manja.

Kudekati dia, dan duduk di sampingnya. "Nangis mulu, sih. Berisik, tau."

Gadis dengan pipi merah itu melirik ke arahku masih dengan wajah penuh air mata. Tangisannya makin keras saat mata kita bertemu.

1 menit berlalu, aku masih memandangi seorang gadis cengeng yang menangisi hujan di luar sana.

Kujulurkan tanganku mengusap pipinya yang basah, "Jangan nangis. Kan udah besar."

"Umurku baru 8 tahun, tau. Aku masih kecil." Jawabnya ketus.

"Aku juga. 8 tahun itu sudah besar!"

"Masih kecil, kok."

"Kalau dibanding 7 tahun, lebih besar mana?"

"8 tahun."

"Tuh, kan. Kita sudah besar."

Seketika tangisannya mereda perlahan. Melihat itu, senyumku merekah. Memperlihatkan sederet gigi depanku.

Gadis itu terkekeh, "Gigimu lucu sekali."

"Lucu apanya?!"

"Lucu ya lucu."

"Jangan bilang kamu mau ngatain gigiku mirip keledai?"

"Aku ngga bilang gitu, kok. Kamu yang bilang barusan."

"Terserah, deh."

Kami berdua akhirnya duduk termenung di depan jendela menatap hujan.

"Nama kamu siapa?"

"Selatan."

Dia mendelik, "Aku kan nanya nama, bukan nanya arah mata angin."

"Hey, itu memang namaku. Selatan. Selatan Airlangga. Kamu bisa panggil Ethan, kok."

Kepalanya mengganguk menandakan sebuah kepahaman. "Tidak, terima kasih. Aku akan tetap panggil Selatan."

"Kenapa?"

Dia hanya tersenyum kemudian balik memandangi hujan.

"Terserah, deh." Jawabku pasrah.

Kemudian matanya yang masih basah menatapku kembali. Senyum tulusnya merekah,

"Terima kasih, Selatan."

clueless Where stories live. Discover now