10

80 16 8
                                    

Hari ini aku kembali mengunjungi rumah Dewa untuk bermain game bersama. Entah kenapa, rasanya aku gugup. Apakah karena keberadaan Dara?

Selain itu, aku juga belum paham kenapa Dara mengenalku lebih dulu. Mungkin aku bisa menanyakannya hari ini. Karena jujur saja, mencari keberadaan Dara di sekolah sangatlah susah. Karena keterbatasannya dalam melihat, Dara lebih suka menyendiri, mungkin.

Dewa membukakan pintu untukku kemudian kami berdua menyusuri ruang demi ruang. Sesampainya di ruang keluarga—tempat pertemuanku dan Dara tempo hari—aku melihat sosok gadis yang sedang bermain piano itu lagi. Tiba-tiba tanpa sadar seulas senyum merekah di wajahku. Memperlihatkan gigi depanku yang berjajar rapi.

Dewa yang menyadari hal itu langsung meledekku. Karena kebisingan kami berdua, Dara menyadari keberadaanku.

Ia menoleh, kemudian mengambil tongkatnya untuk menuntunnya menuju tempat aku dan Dewa berdiri. Dalam hati, aku langsung bersyukur pada Tuhan karena telah diberi nikmat untuk melihat. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam gelap.

"So, we meet again?"

Tadinya aku hanya mengangguk. Namun sadar bahwa Dara berbeda, aku menjawab sapaan hangatnya.

"Glad to see u. Dan kalo boleh, bisa ngobrol?"

Dara tersenyum lebar. Cantik sekali.

Dewa yang mendengar obrolan kami langsung berdehem kuat,

"Jadi mau main game apa mau ngapel?"

"Jadi, kenapa kamu bisa kenal aku?" tanyaku.

Ia diam dengan tatapan lurus pada pohon besar yang ada di depan kami. Jari mungilnya meremas bagian ujung kemejanya.

"Aku kira, berita kalo kamu amnesia itu bohong. Ternyata beneran." Dia tersenyum kecut. Menunjukkan sebuah kekecewaan.

Aku menggeleng tidak mengerti, "maksudmu?"

Ia menghela napas, "Selatan, we are same. Kita sama sama kehilangan orang tua. Kita sama sama berstatus anak tiri. Kita sama sama bisa melihat, sampai kecelakaan itu terjadi."

"Dara? Kamu ngga lagi becanda, kan?"

Dia memasang muka tidak suka. Kemudian menggeleng kuat-kuat.

"Untuk apa aku berbohong? Minta belas kasihan? Aku ngga butuh, kok. Kita memang dari panti asuhan yang sama. Kamu masuk kesana lebih dulu, juga diangkat lebih dulu. Ninggalin aku yang ngga punya temen lain selain kamu."

"Aku inget banget sama kamu. Semua tentang kamu. Ngga ada yang aku lupain sama sekali. Itu kenapa aku bisa kenal kamu tanpa melihat walaupun jarak dari piano ke pintu ruang musik itu cukup jauh. Bau kamu, suara derap langkah kaki kamu, semua yang kamu suka, gimana cara kamu ketawa, ngga ada yang aku lupain sama sekali."

"Dan semua hal yang pernah aku lihat, aku harap ngga akan aku lupain."

Terlihat kesedihan yang mendalam dari cara Dara bicara. Aku benar-benar bisa merasakannya.

Pohon dan dedaunan di taman belakang rumah Dewa seraya mendengarkan obrolan kami dengan baik. Angin berhembus cukup kencang, menerbangkan surai panjang Dara yang berwarna kecoklatan.

Selain itu, dilihat dari jarak dekat begini, Dara sangat cantik. Ya Tuhan, ini semua tidak baik untuk jantungku.

"Dan soal gosip kamu yang ngga pernah dapet mimpi, itu betulan?"

Aku tercekat. Ternyata benar, ada seseorang yang menyebarkan gosip tentang mimpiku. Padahal aku hanya bercerita pada sahabatku.

"Kamu..tau soal itu?" tanyaku pelan.

Dia mengangguk ragu. Seperti ada kalimat yang seharusnya ia lontarkan, namun enggan.

"Dara, soal mimpi, apa kamu juga udah dapet?"

jengjengjeng!

clueless Where stories live. Discover now