14

55 12 5
                                    

"Biasanya Dara suka kemana?"

Dewa menggeleng. Adik macam apa dia? Kalau situasinya tidak setegang ini, aku sudah memaki dirinya dengan 1001 sumpah serapah.

Aku menghela napas kasar, "Terus mau nyari kemana kalo lo aja ngga tau kakak lo yang cantik itu sukanya kemana?"

Anak itu justru terbahak. "Bang, Lo suka sama kakak gue, kan? Ngaku Lo?!"

Seketika wajahku memerah saat mendengar pertanyaan Dewa barusan. Aku tidak tahu apa itu rasa suka atau cinta. Yang aku tahu, aku tidak ingin kehilangan manusia pemilik senyum terindah di muka bumi ini.

(ew, cheesy.)

"Bodo. Balik ke topik. Kita mau cari kemana?"

"Aduh, Bang. Gue clueless nih. Ngga ngerti. Gue tanya Aksa dulu ah. Lo mah payah, gitu aja ngga ngerti."

"Heh kambing lo ya! Udah gue bantuin bukannya makasih malah ngatain. Gue turunin pinggir jalan mampus kau."

"Biarin. Supir pribadi gue ada 5, kok. Helikopter juga nganggur di rumah."

"Oh, sombong—"

"HALO AKSA SAHABATKU YANG JUARA 1 PARALEL DI SEKOLAH. MAU NANYA NIH, CUY."

Sekali lagi, kalau ini bukan di situasi tegang, sudah aku hantam bocah kurang ajar yang satu ini.

Semenit berlalu, Dewa mematikan teleponnya dengan raut wajah kesal. Aku yakin, dia tidak mendapat jawaban apapun dari Aksa. Karena mau bagaimanapun, Nayaka Abhyaksa itu juara 1 paralel di sekolah, bukan juara 1 cenayang yang pandai meramal.

"Ngga tau dia, Bang. Duh gimana ya." ucapnya sambil mengacak rambut. Ia begitu mengkhawatirkan kakaknya, nampaknya. Ternyata semenjengkelkan itu pun, Dewangga Danuardara tetap seorang adik yang menyayangi kakaknya, Andhara Danuardara.

"Gue tau, Bang."

Panti asuhan masih terlihat menyala lampunya. Pertanda masih ada kehidupan di sana. Aku dan Dewa buru-buru masuk ke dalamnya, dan benar saja dugaan Dewa. Dara ada disana. Sedang asyik bermain  dengan anak-anak kecil yang kini terlihat bahagia dengan boneka barbie di dekapannya.

"Kakak!"

Dara menoleh, mencari sumber suara. Kemudian setelah Dewa menggeggam jari jemarinya, ia tersenyum. Lagi lagi aku diberi kesempatan untuk melihat senyumnya. Semua bad mood ku hilang saat itu juga.

"Kakak kok ngga bilang aku dulu kalo mau kesini?"

"Iya, maaf. Tadi kakak ketemu sama salah satu pengasuh kakak dulu, terus diajak kesini. Maaf ya, udah bikin khawatir."

Dewa menghela napas lega. Sebab ia tadinya takut Dara kenapa napa. Melihat kondisi kakaknya sekarang, senyumnya sudah bisa terlihat lagi.

"Kamu sama siapa?" tanyanya pada Dewa.

"Hai,"

"Oh, Selatan. Kamu inget tempat ini?"

"Sebenernya sih engga. Tapi rasanya kok ga asing juga, ya."

Namun obrolan aku dan Dara terhenti saat beberapa wanita paruh baya menghampiriku dan memanggilku dengan raut wajah sedih.

"Selatan?"

Aku menoleh. 3 orang wanita itu juga nampak tidak asing. Namun aku juga tidak mengenal mereka.

"Ha-halo." jawabku ragu.

"Kamu benar benar Selatan. Ibu kangen, Than." jawab salah satu wanita itu, kemudian memelukku erat.

Beliau mengusap punggungku, kemudian rambutku. Dekapannya juga terasa hangat. Entah kenapa, saat itu aku tidak masalah di peluk oleh orang asing. Wanita itu mulai menangis saat aku membalas pelukannya. Tangisannya begitu deras, layaknya ibu yang sudah bertahun tahun terpisah dengan anaknya dan dipertemukan kembali.

Aku melepaskan pelukannya. Kemudian ia tersenyum padaku. Senyum yang sarat akan kerinduan.

Dara yang paham akan keadaannya, langsung menghampiri kami berdua, didampingi Dewa.

"Ibu, ibu inget kan soal kecelakaan setahun setelah kita diadopsi? Gara-gara itu, Selatan kehilangan sebagian ingatannya, Bu."

Wanita itu melotot kaget. Ia nampak tidak percaya akan apa yang Dara katakan, kemudian kembali menatapku nanar. Entah kenapa aku juga ingin rasanya menangis saat itu. Suasana haru kala itu sungguh menyentuh hatiku.

"Kak, ini udah jam 9 malam. Apa ngga sebaiknya dilanjut besok aja?" sela Dewa.

Dara dan aku mengangguk. Kemudian kami bertiga berpamitan pada seluruh penghuni panti asuhan—yang katanya adalah tempat aku dan Dara dibesarkan.

Di dalam mobil, Dewa terus mengomel pada Dara yang hanya di-iya-kan saja oleh gadis itu. Sedangkan, aku masih terus tenggelam pada rasa penasaran.

Siapa wanita tadi? Mengapa semua ini tidak asing bagiku? Apakah mereka adalah orang orang dalam ingatanku yang hilang? Sungguh, pertanyaan pertanyaan itu tidak mau pergi dari pikiranku.

Kami menghabiskan waktu untuk perjalanan selama 15 menit. Begitu sampai di rumah Dewa, kami disambut oleh orang tua mereka yang tampak sangat cemas. Mereka memeluk Dara erat. Syukurlah jika Dara mendapat orang tua yang sayang padanya.

Karena merasa sudah hampir larut, aku memutuskan untuk berpamitan pada mereka berdua.

"Oiya, Dara, Dewa, gue balik dulu ya."

Dara menghampiriku yang hendak membuka pintu mobil, kemudian menarik pergelangan tanganku dan membawa aku ke dalam dekapannya.

"Terima kasih, Selatan."

clueless Where stories live. Discover now