Alarmku berbunyi pukul 5.00 pagi. Aku mematikannya dan bangun dari kasurku. Tingkat hemoglobin yang rendah membuatku harus diam beberapa saat ketika bangun agar tidak terjatuh. Aku mengambil minumanku lalu bergegas mandi.
Jam menunjukkan pukul 5.10 pagi saat aku selesai mandi. Kubuka lemari bajuku, dan kuambil seragam khas Nusa Angkasa, kemeja putih, rok sepan biru dongker, vest berwarna krem dan dasi berwarna merah. Tak lupa kukeluarkan juga blazer biru dongker yang hanya digunakan pada hari-hari khusus seperti hari pertama sekolah.
Aku duduk di meja belajarku dan mulai merias sedikit wajahku. Tak sampai 10 menitpun aku sudah menyelesaikan riasanku. Lalu kukuncir rambutku dengan ikat rambut berwarna merah. Kuambil tas sekolahku lalu pergi ke luar untuk turun ke ruang makan
Ruang makan sudah cukup ramai. Walaupun ya diisi oleh orang-orang yang memang selalu datang pagi ke sekolah. Memang bangun pagi itu adalah sebuah kebiasaa yang susah dihilangkan.
Aku melihat Lizzie dan Celeste yang sedang duduk bersama. Aku menghampiri mereka dan bertanya apakah aku boleh bergabung dengan mereka. Celeste menyuruhku dan Lizzie untuk mengambil makanan kami terlebih dahulu, dan ia akan menjaga mejanya.
Aku hanya mengambil 2 potong roti dan memasukkannya kedalam toaster dan mengambil sesendok penuh selai stoberi. Tak lupa juga kuisi botol airku dengan air mineral.
Aku kembali ke meja dan Celeste pun pergi mengambil makanannya. Kuambil ponselku sambil memakan roti stoberiku. Lagi-lagi Cara dan Arielle terlambat. Seperti biasa.
Aku mengirim pesan di group chat kami bertiga, Girls Club.
Aretha : TURUN WOY MAKANAN UDAH MAU ABIS!
Cara : Sabar woy lagi turun nih.
Arielle : Gw ga makan pagi guys. Gabiasa. Ntar gue makan aja pas istirahat pertama.Aku menghela nafas pelan. Aku harus datang lebih pagi ke sekolah karena ada pertemuan klub debat. Tentu saja aku tak ingin terlambat. Aku mengambil tas dan botol airku, lalu bergegas menuju lift.
Cara keluar dari lift dengan santainya. Aku menunggunya di depan lift dengan tangan terlipat.
"Car. Sorry ya, gue gabisa nemenin lo makan. Gue ada pertemuan klub nih," kataku buru-buru.
"OH IYE! GUE JUGA ADA PERTEMUAN. YAUDA LO TUNGGU DISINI. GUE AMBIL 1 ROTI ABIS ITU LANGSUNG CABUT," kata Cara sambil langsung berlari dengan kecepatan penuh ke dalam ruang makan. Memang seperti itulah Cara. Sering melupakan jadwal-jadwal penting.
Kami berdua berjalan menuju gedung sekolah yang sudah mulai ramai dengan siswa-siswi Nusa Angkasa. Kami berpamitan lalu aku langsung pergi menuju ruangan klub debat yang berada di lantai 3.
Aku mengusap dahiku yang mulai penuh dengan keringat. Kubuka pintu ruangan klun debat dan melihat ada beberapa orang disana.
"Tin, udah lama gue ga ketemu lo. Btw, congrats ya, juara 1 nih tingkat nasional," kataku sambil menghampiri Justin. Justin Ananta. Anak Debat Inggris yang jago banget debat. Kayaknya saking jagonya, dia bisa ikut debat calon presiden hehe.
"Thanks, Ar. Congrats juga ya lo juara 2 di tingkat provinsi. Lo kenapa ga ikut debat inggris aja sih. Lo kan jago. Bisa setim kita. Bertiga sama Hayden," tanyanya.
Aku hanya tersenyum kecil.
"Ngak kok. Gue biasa aja kali. Gue suka grogi kalo pakai bahasa inggris. Mending Bahasa Indonesia aja," kataku singkat.
"Lagian lomba debat kali ini aneh. Sekolah ga biayain biaya lomba nasional. Gue bayar sendiri. Aneh banget kan,"
Aku hanya mengangguk dan lanjut bercakap-cakap dengan Justin.
Ruangan klub debat yang awalnya sepi mulai penuh. Bu Christy, guru pembimbing sekaligus guru bahasa inggris, masuk ke dalam ruangan, membuat semua orang langsung berpencar dan mencari tempat duduk yang kosong.
"Selamat pagi, anak-anak. Senang bertemu kalian lagi. Bagaimana kabar kalian?" tanyanya ramah.
"Baik,bu." jawab kami serempak.
"Bagus. Kalau begitu, karena waktu kita agak mepet, ibu akan langsung ke point pembahasan kita hari ini ya." kata Bu Christy seraya mengambil spidol dari tasnya.
Tak banyak yang dibahas dalam rapat kali ini. Bu Christy hanya mengingatkan kami untuk datang ke pelatihan mingguan yang akan dilaksanakan pada setiap hari kamis. Ia juga mengingatkan aku dan Justin, selaku ketua untuk mengawasi adik-adik kelas yang berpotensi menjadi ketua selanjutnya.
"Oh iya, kita doakan agar Aretha dan Haydenbisa menjuarai lomba debat tingkat nasional ya tahun ini. Kemarin saat liburan, Aretha berhasil memenangkan juara 2, sedangkan Hayden berhasil meraih juara pertama, artinya mereka akan maju mewakili DKI Jakarta bulan november nanti,"
Beberapa adik kelas dan teman-temanku datang memberiku dan Hayden ucapan selamat.
Aku memandangi pen berwarna merah yang kupegang. Sebuah pen dari seniorku, Kak Ronald sebagai cinderamata penyerahan jabatan. Di Nusa Angkasa memang ada tradisi bagi senior untuk menyerahkan barang yang paling sering dipakai pada juniornya, sebagai tanda penerusan jabatan. Contohnya, untuk klub debat, yang paling umum diberikan adalah pen dan buku tulis. Untuk, klub futsal biasanya adalah sepatu. Konsepnya seperti itu.
Sebenarnya, aku tak percaya diri. Kalian mungkin mengiraku sebagai orang yang terlihat tak punya masalah. Prestasi segudang, cukup berada, teman-teman yang baik. Memang, aku bersyukur untuk itu. Kadang aku merasa aku tak pantas mendapat semua itu. Aku bisa mendapatkannya karena aku bekerja sangat keras untuk hal-hal yang aku inginkan. Tapi kadang diri ini tak bisa lepas dari keinginan untuk membandingkan. Membandingkan diri dengan orang lain yang bisa mencapai prestasi lebih baik dariku, dengan usaha dan perjuangan yang lebih sedikit.
Aku rasa aku menerima jabatan ketua hanya karena aku junior yang paling aktif di klub ini. Selain itu, reputasiku yang baik diantara guru-gurupun pasti ikut berkontribusi dalam pengambilan keputusan ini.
Bukan hanya masalah klub debat, aku juga tidak percaya diri dengan penampilan dan kemampuanku. Pertama, aku tidak tinggi. Tinggiku hanya 160cm. Badanku juga tidak kurus. Beratku 55kg. Wajahku juga rata-rata. Aku sama sekali tidak melihat ada yang spesial. Jika dibandingkan dengan Cara dan Arielle, jelas aku berada di tingkat paling bawah.
Kemampuanku juga aku ragukan. Orang-orang memang melihatku sebagai anak pintar. Yang selalu juara di kelasnya. Yang selalu membawa pulang medali setiap kali mengikuti perlombaan. Padahal, aku hanya anak yang cukup rajin. Rajin karena aku punya posisi yang harus kupertahankan. Hanya imej ini yang bisa kubanggakan.
Aku takut kalau aku kehilangan imej ini, apakah orang-orang disekitarku akan meninggalkanku. Apakah nilaiku di mata orang-orang akan berubah.
Aku mulai kehilangan arah. Aku merasa apapun yang aku lakukan pada akhirnya hanya menjadi ajang pembuktian kepada publik. Jangan salah, aku suka berdebat. Itu alasan utama mengapa aku mengikuti dan menekuni kegiatan ini. Tapi lama-lama, harapan orang-orang mulai menjadi beban bagiku.
Aku hanya lelah. Lelah dengan harapan. Lelah pada kepercayaan. Lelah pada hal yang membesarkanku dan juga menghancurkanku. Karena kepercayaan jika jumlahnya tepat, akan menggerakkanmu. Tetapi jika terlalu banyak, justru kepercayaan juga yang akan menjantuhkanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aretha
Teen Fiction[ On Going ] Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ada di pikiran Aretha pada tahun terakhir SMAnya. Selain nilai dan reputasinya sebagai 'murid teladan' yang harus dijaga, Aretha juga belum siap untuk jatuh hati. Tapi bukan jatuh cinta namanya jika...