"Live in naik apa kita?"
Suara Xafier membuyarkan lamunanku.
"Hah, kenapa tadi?"
"Gue tanya, kita live in pergi naik apa nanti," ulangnya."Kereta dulu kan, terus lanjut bus," jawabku.
Kelas 12 memang akan mengikuti live in. Karyawisata ditujukan untuk siswa-siswi kelas 10 dan 11 saja.
"Wonosobo kayak apa sih ? Gue ga pernah pergi kesana," tanyaku pada Xafier.
"Gatau. Gue juga belom pernah. Tapi kita bakal pergi ke dieng juga. Kayaknya bakal dingin deh," jelasnya.
"Gak bakal dingin, Xaf, kan masih di Indonesia. Dingin itu mah kayak di Swiss. Liburan lalu gue kesana dan temperaturnya negatif," sambarArcher yang datang entah dari dunia mana.
Aku memutarkan mataku. Sungguh. Tak ada yang meminta pendapatnya.
"Tapi gue sih bakal bawa baju dingin yang gue beli buat ke Swiss kemaren. Sayang kan, gue udah beli 5 juta, kalo cuman dipake sekali," katanya bangga.
Ingin muntah diriku ini. Mata Xafierpun ikut membesar mendengar pernyataan Archer yang bisa dibilang super percaya diri.
Tak nyaman dengan situasi ini, aku menepuk lengan Xafier lalu pergi ke tempat duduk Cara. Seperti biasa, ia sedang sibuk menganggu Gerald. Lebih tepatnya mengejek Gerald dan sohibnya Darren yang sedang menari ala rocker di depan kelas. Kelas kami tak pernah sepi karena ada dua manusia penghibur ini.
Bukan cara yang baik untuk mengakhiri minggu ini.
.
"Halo ma," kataku seraya membuka pintu mobil sedan berwarna putih milik mamaku.
"Masuk cepet, Ar. Kita pergi makan yuk. Mama udah laper nih."
"Aluna mana ma ?" tanyaku mencari adikku yang seharusnya sudah pulang sekolah.
"Pergi ke rumah temennya. Katanya sih kerja kelompok. Tapi kayaknya main deh, tha. Soalnya pas kelas 10, kamu jarang banget pergi kerja kelompok," celotehnya.
Aku hanya tersenyum kecil dan mengganti musik yang diputar di mobil.
Sebenarnya, kelas 10 itu banyak kerja kelompok. Tapi, aku yang tak suka kerja kelompok. Lebih tepatnya, untuk apa kerja kelompok kalau ujung-ujungnya aku yang mengerjakan semua. Namanya sudah ganti dong, jadi kerja sendiri.
Ya, namanya masa lalu. Eh, gak bisa dibilang gitu juga sih. Memang udah bawaan. Sifat kan gak bisa berubah gitu aja. Aku memang lebih suka bekerja sendiri.
"Oh iya, Ar. Minggu depan dress-up week kan? Baju-bajunya udah ada atau belum ?" tanya mamaku.
"Udah ma. Tahun ini sengaja dibikin lebih gampang temanya," jelasku.
"Baguslah. Gak buang-buang energi nyari bajunya. Oh iya kan senin depannya kamu langsung berangkat live in kan? Dingin loh katanya tempatnya. Barangnya dipersiapin dari minggu ini. Jangan last-minute," pesan mamaku panjang lebar. Memang ya mamaku ini tak bisa diam.
"Iya, ma. Oh iya, drive through Mcd dulu gapapa kan ? Hehe."
"Boleh. Asal nanti makan lagi sama mama. Kamu kurusan loh," kata mama seraya memegang lenganku.
"Sip," kataku seraya mengacungkan jempolku.
Aku mengambil kentang goreng legendaris itu dan memasukkannya ke dalam mulutku. Hiruk pikuk jala raya Jakarta bisa terlihat jelas. Mobil-mobil berlalu lalang diselingi dengan motor-motor yang menyelip diantaranya. Sebuah hari jumat yang ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aretha
Teen Fiction[ On Going ] Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ada di pikiran Aretha pada tahun terakhir SMAnya. Selain nilai dan reputasinya sebagai 'murid teladan' yang harus dijaga, Aretha juga belum siap untuk jatuh hati. Tapi bukan jatuh cinta namanya jika...