Sepuluh

6 5 2
                                    

Dinginnya angin malam bisa kurasakan menembus kulitku. Walaupun Jakarta merupaka  kota yang selalu panas, tak bisa dipungkiri bahwa pada malam hari kota ini juga dingin.

Aku hanya berjalan. Berjalan tanpa tujuan. Yang penting aku terus bergerak dan menjauhi tempat yang kupanggil 'rumah'.

Aku menyalakan ponselku dan waktu menunjukkan pukul 11 malam. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk berhenti di minimarket sejenak sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan. Hey, ingat aku ini anak yang berencana. Walaupun kabur dari rumah, tetap harus memiliki rencana yang rasional kan.

Aku mengambil roti coklat kesukaanku, membayarnya lalu duduk di kursi yang ada di depan minimarket. Tak banyak orang yang berlalu lalang walaupun hari ini adalah malam minggu. Semuanya sibuk dengan keluarga atau orang yang mereka cintai masing-masing.

Oke. Rencanaku sudah tersusun. Sangat simpel. Aku akan kembali ke sekolah. Asrama tetap buka bahkan pada akhir pekan. Aku tahu. Bukan rencana yang jenius. Tapi setidaknya, aku tidak akan membahayakan diriku.

Rumahku dan sekolahku sebenernya tidak begitu jauh. Jika menggunakan mobil, mungkin jaraknya kira-kira 20 menit. Tapi tidak mungkinkan aku berjalan sendirian malam-malam begini. Kalau aku diculik kan, nanti bisa repot. Nanti siapa yang cerita lagi sama kalian. Hehe.

Aku memesan ojek online dan pergi menuju sekolah.

Gelap. Dingin. Seram.

3 kata yang cocok untuk mendeskripsikan suasana sekolah pada malam hari. Jelas saja. Hampir kebanyakan siswa-siswi memutuskan untuk pulang pada setiap hari jumat. Jadi, hanya beberapa murid saja yang tinggal di asrama selama akhir pekan.

Untuk sampai ke asrama, kami harus melewati sebuah taman. Di taman itu, ada sebuah kolam ikan kecil yang disampingnya ditanami pohon cherry yang tidak berbuah. Konon, katanya, penunggu pohon itu, si merah, suka menganggu anak-anak perempuan. Katanya sih, karena dulu ia mati mengenaskan lantaran ia bunuh diri karema ditinggal sang tunangan yang kawin lari dengan wanita lain. Dasar, sudah seperti sinetron.

Aku ini anak yang logis. Tapi selogis-logisnya diriku, aku tetap anak yang penakut. Aku mudah kaget. Aku juga suka berkeringat dingin tak karuan jika pikiranku ini sudah berpikiran yang tidak-tidak.

Taman itu super gelap. Sama sekali tidak ada penerangan yang digunakan. Mungkin karena ini sudah melewati jam malam kami dan memang sengaja dimatikan agar siswa-siswi berpikir dua kali ketika ingin melanggar jam malam kami.

"Panjangnya taman ini kira-kira 100m. Apa aku lari saja ya biar cepat sampai," pikirku. Oke ini absurd. Tapi berlari dalam gelap bukan solusi. Apalagi aku hanya memakai sendal jepit. Peluang aku untuk terjatuh lebih dari 50 persen.

Hampir 5 menit aku berdebat dengan diriku sendiri perihal apakah berlari merupakan jawaban yang tepat dari masalahku ini.

Tiba-tiba, alunan lagu lingsir wengi, lagu yang dikabarkan terkutuk atau berhantu itu bisa terdengar oleh telingaku.

"Ahhhh-" teriakku. Reflek aku langsung berlari dan perkiraanku benar. Sendal jepit sialan ini malah putus di saat yang tidak tepat, menghantarkanku mendekati tanah, alias jatuh.

"Sorry, sorry. Gue gatau lo bakal kaget segitunya," kata seorang laki-laki dengan kaos hitam dan jeans.

"Sumpah, gue kesel banget ma lo, Xaf. Gue beneran hampir kena serangan jantung. Lo tau kan gue penakut. Sendal gue sampe putus nih," dengusku sambil menyalakan senter dan melihat nasib sendal jepitku yang malang.

Xafier hanya mengangguk pelan, tak menjawab omelanku. Keheningan melingkupi kami berdua sampai Xafier mulai bicara,

"Piyama lo kayak anak-anak. Mana ada cewek umur 17 tahun pakai piyama gambar my little pony," ejeknya.

ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang