Lima

8 5 1
                                    

'The child who is not embranced by the village will burn it down to feel its warmth'

Aku memandangi tulisanku di buku catatan berwarna lavender. Pikiranku yang banyak serta rasa kantuk yang mulai muncul membuatku tidak fokus pada penjelasan Pak Gunawan. Aku menguap dan menggambar doodle-doodle kecil di buku tulisku.

Pelajaran matematika minat yang memusingkan ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pikiran-pikiran yang kini mengambang dan berputar-putar di dalam otakku.

'Ingin jadi apa?' tulisku di buku tulisku.

Aku sudah kelas 12. Tahun depan sudah jadi mahasiswi. Seharusnya dan idealnya, pertanyaan ini seharusnya sudah bisa dijawab. Namun tidak dengan diriku. Masih tak ada jawaban.

Aku melihat sekelilingku. Cara yang duduk di belakang, kini sudah tak sadarkan diri. Arielle memutar-mutar pen miliknya sambil bersenandung. Sepertinya ia sedang berada di mood yang baik.

Cara dan Arielle sudah tahu mereka akan kuliah di jurusan apa. Cara akan lintas jurusan dan mengambil jurusan bisnis untuk meneruskan bisnis keluarga, sedangkan Arielle akan mengambil jurusan musik. Dan keluarganya mendukungnya. Hal ini karena keluarga Arielle adalah keluarga seni.

Kadang rasanya aku iri dengan mereka. Rasanya mereka sudah punya jalan masing-masing. Aku disisi lain masih kebingungan dengan jalan apa yang ingin aku pilih.

Aku menepuk wajahku pelan.
"Ayo fokus, Ar. Masalah jurusan apa nanti kita diskusiin sama mama papa sabtu nanti. Kalo nilai lo jelek kan sama aja gabisa masuk kuliah nanti."

"Ar, tolong dong. Penghapus gue jatoh di deket kaki lo," pinta Xafier.

Aku mengambil penghapus hitam miliknya dan menaruhnya di atas mejanya. Aku melihat sketsa bangunan di buku matematikanya.

Karena aku manusia yang dicintai oleh segala masalah yang ada di semesta ini, dengan bodohnya aku berbicara dengan suara yang lumayan keras,

"Gila, Xaf. Keren juga gambar lo. Gambarin gue dong," kataku senang tak sadar bahwa sebentar lagi masalah akan datang menghampiri diriku yang entah bodoh atau lugu.

"Ehem,"

Aku pun menoleh kearah pemilik suara itu. Xafier memegang dahinya. Masalah lagi-lagi datang tanpa diundang.

"Aretha, Xafier, sudah selesai ngerjain soal-soal di depan?" tanya Pak Gunawan dengan alis kirinya yang terangkat.

Aku menelan ludahku dan memberanikan diri untuk menjawab.
"Udah nomor 6 pak. Sisa 4 nomor lagi," kataku setengah berbohong. Kenapa setengah berbohong? Karena aku baru menyelesaikan 4 soal.

"Lanjutkan, Aretha. Kalau kamu bagaimana Xafier?" tanya Pak Gunawan dengan pandangan matanya yang meneror Xafier. Bahkan aku yang berada di sampingnya bisa merasakan betapa menusuknya tatapan Pak Gunawan.

Xafier, masih dengan wajah datarnya, terus diam sambil melihat kebawah. Aku yang baik hati bagai titisan bidadari, tentu saja melihat adanya ketidakberesan. Sebagai teman yang bertanggung jawab, aku pun memutuskan untuk menggunakan jurusku terakhirku sebagai murid yang bisa tergolong teladan ini.

"Saya lagi ngajarin Xafier, Pak. Makanya tadi sempat ngobrol sebentar," kataku dengan kikuk. Serius. Aku benar-benar takut pada Pak Gunawan.

Dia terdiam. Kami berdua pun terdiam. Keringat mulai bermunculan di telapak tanganku. Untungnya, Pak Gunawan akhirnya hanya menyuruh kami melanjutkan latihan dan meninggalkan kami.

"Sejak kapan lo ngajarin gue," kata Xafier membuka pembicaraan.

"Yaelah, seengaknya kebohongan gue menyelamatkan lo dari hukuman lari lapangan. Lo ga liat tuh matahari teriknya kayak masa depan gue," jawabku kesal karena merasa usahaku tak dihargai makhluk es di depanku ini.

Bibir milik Xafier terangkat sedikit "Iya, masa depan lo saking terangnya ga keliatan kan."

"Dasar ya, makhluk titisan apa sih lo? Bikin kesel aja kerjaannya," dengusku.

"Tulisan di buku lo," katanya singkat.

"Kenapa? Lo kalo ngomong yang full dong. Dikata ngomong sms apa. Pelit amat sih,"

"Bagus. Kirim ke anak jurnalistik aja."

Aku berpikir sejenak. Boleh juga. Aku memang hobi menulis. Tapi aku hanya menyimpannya sendiri. Toh, aku bisa meminta anak jurnalistik untuk menerbitkannya tanpa nama.

"Ya. Ya. Ntar gue pikirin. Woy, sini deketan. Pura-pura belajar. Pak Gun lagi jalan kesini," pintaku sambil menarik kemeja milik Xafier pelan.

Dan, pelajaran matematika minatpun akhirnya berlalu. Cara yang sejak tadi tidur memiliki energi tambahan untuk mengisengi Gerald, anak voli, teman baiknya sejak SMP. Kadang aku juga tak mengerti kenapa, tapi aku mempunyai feeling, kalau sepertinya Cara menyukai Gerald.

Hari sabtupun akhirnya tiba, waktunya aku untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga.

"Halo, pa. Iya, bentar. Aku lagi turun," kataku menjawab panggilan dari ayahku. Aku menyambar tas berisi buku-buku pelajaranku lalu memencet lift.

Aku melihat mobil hitam familiar di depan gedung asrama. Aku membuka pintunya dan seorang laki-laki paruh baya duduk di kursi pengemudi.

"Mana mama sama luna? Bukannya kita mau ke mall GI ?" tanyaku bingung.

"Kita balik dulu kerumah. Biasa lah. Pada belom kelar siap-siap," balas papa singkat.

Alunan musik oleh band kesukaan papa, Gun and Roses bisa terdengar sayup-sayup di mobil. Aku yang tak begitu menyukai genre lagunya, memutuskan untuk memakai headset.

"Akhirnya balik juga lo. Udah lama gaada yang gue bisa gangguin. Lo bawa si Pypy?" sapa adikku, Aluna.

"Jelas bawa lah. Gue kan gabisa tidur kalo gaada si Pypy," kataku sambil mengeluarkan Pypy, boneka anjing kecil dari tasku.

"Yay. Bisa gue lempar-lempar," jawab Aluna sambil merampas Pypy dari tanganku. Aku yakin 100%, sebenernya Aluna suka dengan bonekaku si Pypy, cuman dia gengsi aja buat mengakuinya.

Oh iya, perkenalkan. Ini adikku, Aluna Aurelia Winata. Saat ini, dia bersekolah di SMA Nusa Angkasa juga. Dia masih kelas 10. Masih kecil.

"Gimana SMA? Suka gak?" tanyaku sambil duduk di sofa.

"Enak. Yang gaenak, ulangan sama pr terus aja," jawabnya sambil duduk di sebelahku.

"Bingo," kataku sambil membuat huruf O dengan jari-jariku.

Mama yang lama dengan segala kesibukannyapun akhirnya keluar. Kamipun langsung pergi ke mall. Kami sekeluarga yang sudah lapar memutuskan untuk pergi ke restoran terlebih dahulu untuk mengisi perut kami.

Setelah beberapa menit mengitari mall, kami memutuskan untuk makan di restoran italia kesukaan Aluna. Aku membuka menunya dan memesan Creamy Fettucine. Makanan favoritku.

Setelah seluruh keluargaku memesan, kami semua bercakap-cakap seperti biasa. Kami bercerita tentang bagaimana minggu kami berjalan diselingi dengan lawakan-lawakan papa yang sama sekali tidak lucu.

Makananpun datang. Kami semua sibuk dengan makanan kami masing-masing sambil sesekali berbincang.

"Jadi, kamu udah putusin mau kuliah apa dan dimana, Ar?" tanya mama.

Seketika nafsu makanku hilang. Aku meletakkan sendokku keatas piring dan meminum segelas air yang ada di depanku. Aku benci dengan pertanyaan ini.







ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang