Tujuh

6 4 0
                                    

Karena cinta seperti oksigen
Tak terlihat
Tak bisa dirasakan
Tapi tanpanya
Tak ada lagi makhluk yang berdiri tegap diatas kakinya

-anonym

Aku melihat puisi buatanku terpampang di papan mading. Tadi pagi, saat jam istirahat, aku menghampiri Inggrid, ketua klub jurnalistik di kelasnya, 12 IPS 3. Katanya, aku datang di waktu yang tepat. Baru saja mading akan diprint, jadi puisi milikku masih bisa dimasukkan ke dalam formatnya.

Aku menunggu Hayden yang sampai sekarang batang hidungnya belum terlihat. Karena bawaanku cukup banyak, aku memutuskan untuk  berjongkok. Lelah juga rasanya belajar siang dan malam. Berjongkok membuatku mengantuk dan tak sadar bahwa Hayden berdiri di depanku.

"Wake up, sleepyhead," katanya sambil menggoyangkan pundakku.

"Erm," aku mengusap mataku pelan dan bangkit berdiri.

"Lama banget lo, gue udah sampe ngantuk nungguin lo," omelku. Padahal Hayden tepat waktu, aku saja yang memang kepagian.

"Gue pas loh," katanya sambil memperlihatkan jam ponselnya yang kini menunjukkan pukul 2.30.

Aku memutar bola mataku lalu langsung berjalan mendahuluinya.

"Ayo cepatan, gue udah laper," kataku ketus disusul dengan Hayden yang tertawa kecil melihat moodku yang mendadak buruk karena perutku belum diisi.

Kami berdua memasuki Cafe lalu memilih tempat duduk yang agak dibelakang, lagi-lagi karena tak ingin ada gangguan.

"Mau pesen apa? Biar gue aja yang pesenin," tawar Hayden sambil berdiri.

"Aglio Olio aja, sama ..."

"Peach tea kan," potong Hayden sambil langsung beranjak pergi dari tempat duduk kami.

"Iya. Cocok juga lo jadi pelayan," candaku. Selagi menunggu, aku memutuskan untuk mengeluarkan laptopku dan membuka assignment sejarah di Google Classroom. Ternyata tugas kali ini disuruh membuat laporan tentang akhir perang dunia kedua.

Hayden kembali dan duduk didepanku dengan ekspresi bingung.

"Aneh. Xafier ada di depan Cafe. Padahal katanya dia ada latihan tenis meja hari ini," jelasnya.

"Hah. Gamungkin dia bolos. Bentar lagi kan dia ada lomba," kataku tak percaya.

"Seriusan. Gue gamungkin salah kenalin temen gue sendiri. Tapi, gue liat-liat, dia ga sendiri, Ar," tambahnya.

"Sama siapa?" tanyaku.

"Kayaknya sama Sandra. Tapi gue ga yakin juga."

Sandra adalah teman masa kecil Xafier. Sebagai gadis, Sandra bisa digolongkan sebagai gadis ideal. Feminim, cantik, ramah, lemah-lembut. Sandra adalah penari balet yang handal. Beberapa kali ia membawa penghargaan yang mengharumkan nama sekolah kami.

Pesanan kamipun telah sampai. Kami berdua sibuk dengan piring di depan kami. Hari ini, Cafe Oliver memang sedikit lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena sekolah dipulangkan lebih pagi.

"Hai, Kak Hayden," sapa beberapa adik kelas.

Hayden hanya tersenyum kecil sebagai balasan.

"Cie, terkenal," godaku. Memang temanku yang satu ini populer.

"Berisik lo kalo udah kenyang," candanya sambil mengambil ice tea miliknya.

"Kenapa Kak Hayden sering pergi berdua sama Kak Aretha sih? Mereka pacaran?" bisik salah satu adik kelas dengan rambut pendek yang duduk di serong meja kami.

ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang