Cinta saat SMA itu bisa dibilang antara impian atau mimpi buruk. Indah jika berjalan mulus tapi mimpi buruk jika tak baik, karena akan merusak kenangan-kenangan SMA yang seharusnya indah.
Aku sendiri tidak ingin jatuh cinta saat SMA. Menurutku, lebih banyak buntungnya daripada untungnya. Pelajaran berpotensi jatuh, padahal masa SMA adalah masa krusial yang menentukan masa depan kita.
"Ya. Sudah cukup. Giliran siapa sekarang ?" tanya Frentzen sambil melihat foto-foto milikku dan Hayden barusan.
Arielle menarik Cara kearah backdrop. Frentzen yang mengklaim dirinya sebagai "artistik" tidak ingin melihat Arielle dan Cara berpasangan. Akhirnya ia meminta Darren berfoto dengan Arielle dan Gerald dengan Cara.
Aku paling suka dengan foto-foto milik Cara dan Gerald. Pose-pose mereka sangat lucu dan natural. Terus terang sepertinya fotoku dengan Hayden akan terlihat kaku.
"Xafier, lo ga foto ?" tanya Darren berteriak.
"Gak. Gue males," jawabnya malas.
"Udah yuk cepetan, panas nih,"
"Ah, gaasik banget lo," potong Frentzen sambil menarik lengan Xafier dan membawanya kearah backdrop.
"People changes, Xaf. But moments stay the same. That's why people hold into photographs, because it holds on to what you knew and what you want to remember," ujar Frentzen.
"Well said," kataku sambil menepuk pundak Frentzen.
"Tapi... gaseru kalo si handsome yang satu ini gaada pasangan. Ar, lo numpang foto aja, mau ga? Hayden, lo gapapa kan date lo gue pinjem bentar sebagai props,"
Aku ingin menolak, namun aku kalah cepat dengan Hayden yang mengangguk sebagai jawaban.
Aku berdiri disebelah Xafier dan mengalungkan tanganku pada lengan miliknya.
"Anggep aja ini bayaran gue buat martabak yang waktu itu lo traktir," candaku.
"Enak aja. Martabak mahal tau,"
"Foto sama gue juga mahal. Daripada lo keliatan jones gitu kan. Image lo rusak lah," kataku tak mau kalah.
"Fine. Whatever," balasnya dengan mata yang masih tertuju ke kamera.
Sesi foto selesai dengan baik. Kami semua memutuskan untuk pergi ke Cafe Oliver untuk menghabiskan waktu, sekalian mencari tempat yang dingin, untuk ngadem.
"So, masalah si Fanny Jessy gimana tuh, gak adil banget," kata Darren memulai pembicaraan.
"Bener juga, bahkan gue lupa gara-gara sibuk siap-siap buat homecoming," jawab Cara.
"Ih, sok kecakepan lo. Lo mah mau siap-siap kek, gak siap-siap, tetep aja satu species sama yang ada di ragunan," tukas Gerald yang langsung meringis karena kakinya diinjak heels tajam milik Cara.
"Gue tau ini aneh, tapi gue denger Freddie ngomongin masalah transaksi di loker 330," ujar Hayden bingung.
"Loker 330 ?" Aku menaikkan alisku.
"Loker 330 artinya ada di lantai 3 kan. Itu kan koridor anak kelas 10. Masa dia suruh anak kelas 10 buat bikinin dia contekkan," tambah Cara.
"Setau gue, anak kelas 10 belum dibolehin pake loker. Loker baru bisa dipake bulan september nanti. Gue inget soalnya Aluna marah-marah ke gue minggu lalu,"
"Well, menarik juga. Mau kesono ga sekarang ?" Wajah usil milik Darrenpun kembali terpajang. Gerald, sebagai teman baiknya, sekaligus teman idiotnya langsung menyetujui ide itu. Mereka langsung bergegas, meninggalkan es teh manisnya yang belum tersentuh. Terpaksa, kami semua sebagai teman yang baik, membayar minuman mereka.
"Woy! Lo berdua main keluar nyelonong seenaknya ya. Itu es teh lo berdua belom dibayar," panggil Hayden terhadap dua manusia hiperaktif itu.
"330 yang mana ya," Darren sama sekali tidak mengubris sindiran Hayden dan terus fokus mencari loker itu.
"Panas woy, cepetan napa sih. Lo berdua gabecus, gue baru liat aja udah ketemu," Cara langsung membuka loker 330 itu dan melihat isinya.
Ada beberapa lembar kertas disana. Kami semua berkumpul untuk melihat kertas apa itu. Awalnya, kami pikir kami akan menemukan jawaban ulangan sejarah, tapi yang kami temukan ternyata jauh lebih besar daripada itu.
"Ini soal UTS ?" Xafier mengambil kertas yang berada di paling atas. Semua orang bisa langsung mengenali soal-soal itu karena ada sticky note yang menandai dokumen-dokumen yang masih belum diformat sesuai dengan format UTS sekolah kami.
"Freddie jual beli soal ternyata," kataku menyimpulkan.
"Gimana nih?" kata Arielle lirih.
"Gimana kenapa? Ya, langsung laporin ajalah," balas Gerald santai.
"Gak bisa segampang itu, Ger. Kita harus pikir mateng-mateng dulu. Takutnya, kalo kita lapor tanpa pertimbangan, bisa-bisa kita ikut terseret ke masalah ini," jelas Hayden.
Aku mengangguk setuju. Bertindak impulsif sesuai dengan emosi adalah pilihan yang buruk untuk saat ini.
Semuanya hanya berdiri dan diam seribu bahasa, sibuk dengan berbagai skenario yang sedang diputar di kepala mereka masing-masing, kecuali Xafier yang masih memilah-milah kertas-kertas itu.
"Guys. Gue ada ide," kataku memecah keheningan. Kini semua mata memandang kearahku
"Jadi, satu-satunya cara agar masalah bocornya soal UTS bisa dibawa ke kepsek adalah kita harus bisa bikin mereka ketahuan nyontek di ujian sejarah,"
"Kenapa? Ini kan udah dua kasus yang berbeda," tanya Arielle bingung.
"Jadi maksud Aretha, dengan mereka tertangkap nyontek, otomatis tingkat kepercayaan guru kepada mereka bakal jatuh drastis. Disaat itu, masalah mereka ikut ambil bagian dalam kasus bocornya soal UTS akan lebih believeable dan masuk akal. Karena mereka udah punya rekor buruk sebelumnya," jelas Hayden.
"Masuk akal," kata Xafier. Dia merapikan kembali kertas-kertas itu lalu memasukkannya ke dalam loker itu.
"Terus sekarang, kita tinggalin gitu aja?" tanya Darren seperti tidak rela.
"Gak. Kita ambil 1 lembar buat bukti, terus kita foto keadaan awalnya gimana," jelasku.
Xafier mengangguk, lalu mengambil secara acak kertas yang ada di dalan tumpukkan itu, lalu memotretnya.
Kami semua menutup loker itu, lalu berjalan menuju aula yang seharusnya sudah mulai ramai. Kini waktu menunjukkan pukul 5.45.
"Kita harus minta tolong Kelvin buat cari tahu tentang contekan sejarah mereka," usul Darren.
"Ide bagus. Kelvin punya 'intel'. Harusnya dia bisa,"
Kami semua mengangguk setuju. Perjalanan menuju aula ditempuh di dalam canda tawa, seolah semuanya lupa tentang hal-hal yang baru kita temukan. Tanpa sadar bahwa penemuan soal bocoran UTS akan menjadi perjalanan awal penemuan jati diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aretha
Teen Fiction[ On Going ] Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ada di pikiran Aretha pada tahun terakhir SMAnya. Selain nilai dan reputasinya sebagai 'murid teladan' yang harus dijaga, Aretha juga belum siap untuk jatuh hati. Tapi bukan jatuh cinta namanya jika...