Empatbelas

5 1 0
                                    

Homecoming sesuai dengan apa yang ada di bayanganku. Loud music, people dancing, dan most importantly, people sweating. That's gross.

Suara musik yang keras mulai menyakiti gendang telingaku. Jelas saja, ini sudah jam setengah 1 malam, dan aku sudah mendengarkan musik keras ini sejak jam 6 sore. Aku memutuskan untuk mengambil segelas coca cola dan berdiri di pinggiran, melihat orang-orang menari. Bisa terlihat jelas, Cara dan Gerald yang menari seperti orang gila di kerubunan.

Aku memang tidak begitu menyukai keramaian. Aku suka kamarku, perpustakaan, cafe yang tenang. Acara-acara yang padat biasanya membuatku sesak nafas.

"Don't feel like dancing ?" Suara yang familiar itu membuatku menengok.

"Yeah. Bisa sesek nafas gue disono. Plus, bau keringat," kataku sambil tertawa kecil.

"Mau keluar? Cari angin sebentar," ajaknya sambil meletakkan gelas kosongnya di meja disebelahku.

"Sure,"

Kami berdua keluar dari aula dan memutuskan untuk duduk di pinggir kolam renang, sambil mencelupkan kaki kami.

"How are you doing?" tanya Hayden membuka pembicaraan.

"Biasa aja. Lagian kita kan tiap hari ketemu, ngapain nanya gitu, kayak baru pertama kali ketemu aja deh," ledekku sambil melihat kearah langit. Hari ini bulan bisa terlihat jelas, walau tanpa ditemani bintang-bintang.

"Serius. Masalah kuliah gimana? Udah settled?" tanyanya sambil kini menatap mataku lekat-lekat.

"Not good actually," kataku menghela nafas.

"Anddd, do you want to talk about it?"

"Yeah. Gue kabur dari rumah," kataku santai. Aku memang tidak begitu ingin memikirkan itu sekarang. Aku hanya akan fokus mencari apa yang ingin aku lakukan nanti, bukan memikirkan perasaan orang tuaku, yang bahkan tidak memedulikan perasaanku.

"Gila ya lo?" balas Hayden. Matanya membesar karena kaget.

"Iya, gue gila. Karena gue kelamaan main sama orang gila macam lo," candaku.

"Sialan. Tapi kenapa? Lo buka tipe-tipe yang bisa kabur dari rumah,"

"Berantem sama bonyok. Masalah kuliah. Gue mau kuliah di luar negeri, bonyok gakasih," jelasku sambil menggoyangkan kaki ku yang masih terendam di kolam renang.

"Emangnya gak bisa diomongin baik-baik?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kalo lo gimana ?" tanyaku.

"Gak sebesar masalah lo sih. Cuman cekcok sama bokap masalah jurusan," jawabnya.

"Kenapa? Bukannya lo udah fix bakal ambil kedokteran atau bioteknologi?" tanyaku bingung. Hayden memang salah satu orang yang beruntung karena bisa menemukan passionnya sejak awal.

"Iya. Bokap mau gue masuk teknik mesin. Padahal lo tau kan gue paling gak bisa fisika,"

Memang kami berdua, dan pastinya kebanyakan murid tidak berbakat di pelajaran itu. Ruwet banget. Rasanya kemampuan fisikaku seperti tertatik oleh gravitasi, tidak bisa naik.

"Menurut lo, gue cocok jadi apa?" tanyaku. Angin malam yang berhembus pelan mengenai wajahku membuatku lebih tenang.

"I can visualize you as psikolog. Jaksa juga lo banget,"

"Gue consider kedokteran dan hukum. Gue iri sama lo, lo udah tau lo mau jadi apa. Jalan lo udah jelas. Gue bener-bener masih kehilangan arah," kataku pelan. Kurasa suasana seperti ini sangat mendukung sesi tukar pikiran.

"Kenapa lo mau keluar negeri, Ar? Bukannya disini udah enak?" Kini giliran Hayden yang balik bertanya.

"Gue mau liat dunia luar. Gue mau experience kebudayaan lain and see things from other perspective,"

"I see. Gue ngerti kenapa lo tetep kekeh dengan mimpi lo," kata Hayden seraya mengangkat kakinya keluar dari kolam.

"Sulit ketika hampir seluruh hidup lo, lo punya mimpi, dan ketika mimpi lo diambil, lo merasa bukan kayak diri lo lagi, karena mimpi itu kayak identitas lo,"

"Dan ironisnya, pembunuh mimpi kebanyakan adalah orang tua kita sendiri," jawabnya pelan.

Kini kami berdua hanya duduk diam, ditemani dengan sayup-sayup alunan lagu yang diputar di aula.

"So, apa yang bakal lo lakuin? Lo bakal ikutin maunya ortu lo, atau lo tetep maju terus?" tanya Hayden sambil berdiri, memandang aku yanh masing duduk.

Akupun ikut berdiri, lalu menepuk-nepuk tangan serta bajuku lalu memandang manik matanya lekat-lekat.

"Gue pasti bakal terus perjuangin mimpi gue. Kalo bonyok gabisa terima, yah itu pilihan mereka. Jadi lo juga janji sama gue, kalo lo bakal ikutin kata hati lo," kataku tegas sambil mendekatkan jari kelingkinku dengan Hayden. Memang sudah kebiasaan kami untuk melakukan pinky promise disaat seperti ini.

Matanya menyipit dan ujunh bibirnya tertarik keatas.

"Deal. See you on top," katanya membalas pinky promise milikku.

Kami berdua berjalan kembali ke aula sambil bercanda, seolah pembicaraan serius selama 10 menit itu tak pernah terjadi, walau sebenarnya disimpan lekat dalam hati.



ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang