Sebelas

4 5 1
                                    

Saat masih di taman kanak-kanak, sering kali guru-guru bertanya 'kalau sudah besar nanti mau jadi apa'. Anak-anak akan menjawab dengan antusias dengan jawaban-jawaban seperti 'dokter' atau 'astronot'.

Seiring berjalannya waktu, jawaban-jawaban itu mulai berubah. Entah menjadi lebih spesifik atau malah semakin kehilangan arah.

Menurutku, impian anak kecil adalah hal paling murni. Impian-impian itu dilontarkan tanpa batasan, tanpa alasan, dan tanpa pertimbangan. Impian-impian itu merefleksikan apa yang benar-benar kita inginkan, dari lubuk hati kita yang terdalam.

...

Spirit week memang selalu menyenangkan. Suasana sekolah serasa lebih hidup dengan siswa-siswi yang berpakaian bebas. Para gurupun terlihat lebih antusias.

Dua hari pertama berjalan dengan lancar. Banyak foto-foto lucu yang kami dapatkan. Mulai dari foto konyol sampai foto yang bagus dan aesthetic.

Tema hari ketiga adalah game of life, alias berpakain sesuai dengan profesi impian kita. Aku bingung pakaian apa yang harus aku pakai besok. Selama beberapa menit aku diam di meja milikku sambil mengetuk-ngetuk pensilku di meja.

"Mikirin apa sih, Ar. Serius amat mukanya," tanya Hayden yang tampak rapi dengan setelan kemeja dan dasi, tak lupa dengan kacamata yang bertengger di wajahnya. Rupanya ia memilih menjadi 'nerd' hari ini.

"Lo kalo muncul suka gaada peringatan ya. Contohlah jelankung yang datang kalau diundang doang,"

"Mikir apa lo? Dahi lo sampe berkerut gitu. Nanti penuaan dini aja lo. Tahu rasa," ledenya.

"HAYDEN IH KESEL!" kataku setengah berteriak.

Hayden hanya tertawa kecil sebagai tanda bahwa ia puas melihatku terganggu dengan keusilannya.

"Besok gatau mau pake baju apa gue, Hay. Lo pake baju apa?"

"Gue sih mau pake jas lab aja. Kan pingin jadi scientist gue," kata Xafier.

"Duh, gue pake apa ya. Bantuin gue dong," rengekku.

"Ya lo mau jadi apa?" tanyanya balik.

"Kalo gue tau gue mau jadi apa gue gabakal tanya lo. Ih lemot," omelku.

Hayden tersenyum kecil dan berkata
"Gausa spesifik, tapi lo mau jadi apa?"

"Gatau pastinya gimana, tapi pastinya gue mau jadi wanita karier."

"Yaudah. Kalo gitu, pake aja pakaian formal. Blazer, rok. Gitu kan ibu-ibu kantoran apapun profesinya," jelas Hayden.

Benar juga. Memang Hayden itu jenius. Jelas saja dia bisa menjadi juara kelas.

"Sumpah lo jenius banget. Cinta deh gue ma lo," kataku sambil mengedipkan mata kiriku dan membuat tanda hati dengab jariku.

"Geli," balas Hayden sambil berpura-pura muntah.

"Ati-ati, lo geli sekarang, nanti lo naksir lagi sama Aretha," tambah Cara yang datangnya juga entah darimana.

"Nyebelin lo, Car. Titisan iblis mana sih lo?" ejekku.

"Oh btw, Ar. Lo homecoming pergi sama siapa?" tanya Hayden.

"Sama Cara dan Arielle kali. Gue jomblo dari embrio nih," kataku santai.

"Pergi sama gue mau ga? Kita kan sama-sama jomblo," ajak Hayden.

"Tapi Arielle-"

"Sip. Aretha mau kok," potong Cara cepat sambil mengacungkan jempolnya.

Aku memelototi Cara. Cara menarik lenganku menjauhi Hayden.

"Nanti lo berdua doang ma Arielle," jawabku tak mau kalah.

ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang