4. DIBALIK KECERIAAN SINUS

213 30 1
                                    

Bel pulang sekolah telah berbunyi lima menit yang lalu. Tetapi, Sinus beserta Iori dan Pratista kini masih sibuk membereskan barang-barang mereka dan kemudian dilanjutkan membersihkan ruang kelas mereka karena besok adalah jadwal piket harian mereka. Daripada besok pagi harus buru-buru datang ke sekolah untuk piket, mereka berpikiran untuk membersihkan kelas sepulang sekolah.

“YEYYY, UDAH SELESAI!. Ayo, Ri, Ta, kita pulang!” ajak Sinus.

“Ayo! BTW, lo pulang bareng siapa, Sin?” tanya Iori.

“Gue naik angkot seperti biasa,” jawab Sinus.

“Gak mau bareng gue aja? Kebetulan hari ini gue dijemput papa,” tawar Iori.

“Iya, Sin, mau aja! Lagian sekarang kan udah jam empat, angkot pun hanya tinggal satu dua aja yang lewat,” kata Pratista.

“Nggak, deh! Gue nunggu angkot aja. Kalau udah lama belum ada juga angkot yang lewat, gue bisa jalan kaki kok. Gue itu nggak mau ngrepotin kalian berdua, Ri, Ta,” balas Sinus.

“Oke, deh. Kalau gitu kita balik dulu, tuh sopir keluarga gue dah nungguin.  Byeee, hati-hati, yaaa!” kata Pratista sambil melenggang pergi meninggalkan Sinus.

“Iya, byee!” balas Sinus.

Sinus pun kini tinggal seorang diri dan berjalan sendirian menuju depan gerbang sekolah untuk menunggu angkot.

Setelah kurang lebih setengah jam menunggu, belum juga ada satu angkot pun yang lewat. Kini, Sinus memutuskan untuk berjalan kaki sendiri pulang ke rumahnya.

Tiba-tiba, ada sebuah motor yang berhenti di samping Sinus. Dan siapa yang mengendarainya? Ternyata, Einstan lah yang mengendarai motor tersebut.

“Eh, Sinus! Kok baru pulang?”tanya Einstan.

“Tadi masih piket kelas, Kak. Kak Einstan sendiri kenapa baru pulang?” balas Sinus bertanya balik.

“Oh, tadi masih ada rapat OSIS untuk mbahas persiapan olimpiade. Besok akan diumumkan siapa aja yang bakalan mewakili sekolah dalam ajang perlombaan bergengsi ini,” jawab Einstan.

“Oh, gitu. Kak Einstan sendiri ikut olimpiade apa?”

“In syaa Allah, Fisika.”

“Wow, Kak Einstan jago Fisika, ya? Jadi kayak Albert Einstein itu.”

“Ya iyalah! Kalau nggak jago, nggak mungkinkan gue mewakili sekolah dalam olimpiade ini?”

“Oh, iya juga ya. Nih otak kenapa jadi lemot dan nggak kepikiran sampai situ, sih?” ucap Sinus lirih merutuki dirinya sendiri.

Tiba-tiba satu tangan Einstan bergerak ke atas kepala Sinus dan mengacak rambut Sinus pelan.

“Lo lucu kalau begini,” kata Einstan sembari memperlihatkan senyum menawannya.

Sinus pun jadi salah tingkah karena perlakuan manis Einstan dan tanpa ia sadari pipinya kini bersemu merah karena malu.

“Hehehe..., kakak bisa aja. Gue tuh udah manis dari kecil kali, Kak,” sahut Sinus.

“Kalo ngomong, pipinya nggak usah ditutupin juga kalee,” goda Einstan pada Sinus yang pipinya kini semakin memerah tomat.

“Eh, Kak! Gue duluan ya, ini udah hampir petang,” ucap Sinus  mengalihkan topik pembicaraan.

“Eh, bareng gue aja! Nanti diculik om-om lho!” kata Einstan menggoda Sinus lagi.

“Ih, apaan sih, Kak! Mana mungkin ada om-om mau sama gue. Gue aja kayak gini,” balas Sinus.

“Pasti ada lah. Gue aja suka sama lo.”

“Iiihhhh..., Kak Einstan nyebelin!” kata Sinus sambil mencak-mencak dan berjalan meninggalkan Einstan.

“Eh, Sinus. Ada orang gila itu!” canda  Einstan.

Sinus pun membelalakkan kedua matanya dan langsung lari terbirit-birit menghampiri Einstan kembali sambil berteriak-teriak tidak jelas.

“AAAHHH... BUNDAAA, ADA ORANG GILAAA…. NA'UDZUBILLAHIMINDZALIK....”

Einstan pun hanya geleng-geleng kepala melihat ekspresi Sinus.

“Tapi boong!” jujur Einstan diiringi kekehan.

“Bodo amat! Gue marah sama Kak Einstan!”

“Jangan marah lah! Nanti cantiknya berkurang, lho!”

Sinus pun menutupi wajahnya kembali dengan kedua telapak tangannya, dan berkata dalam hati, Nih pipi kenepa nggak mau diajak kompromi, sih?

“Ayo buruan naik! Pakai nih helm!” perintah Einstan sambil menyodorkan helm kepada Sinus.

Sinus pun menerimanya dan segera memakainya. Kemudian ia langsung naik ke atas motor Einstan.

"Udah?” tanya Einstan memastikan Sinus sudah siap di atas motornya.

“Udah, Kak! Ayo buruan jalan! LET'S GOO!!!” perintah Sinus.

Tanpa menjawab perkataan Sinus, Einstan langsung menjalankan motornya dan kini mulai membelah jalanan kota yang ramai akan orang-orang yang pulang dari bekerja.

Tanpa disadari Sinus dan Einstan, dari kejauhan nampak terlihat seorang laki-laki yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua. Ya, pria itu adalah Cosinus.

“Ada apa dengan gue?” kata Cosinus lirih dan didengar oleh Alfa yang sedang bersamanya.

“Ealah, bro. Lo suka sama Sinus, ya?” kata Alfa menggoda Cosinus.

“Nggak bakal!” balas Cosinus dingin dan datar.

“Hhh, gue yakin entar lama kelamaan lo juga bakalan ngakuin perasaan lo kalau lo suka sama dia,” kata Alfa lagi.

***

Sesampainya di depan rumah Sinus, Sinus segera turun dari motor Einstan dan memberikan helm yang digunakannya tadi pada Einstan.

“Makasih banyak, Kak!” kata Sinus.

“Iya. Gue pulang dulu, ya?”

“Oke, Kak! Hati-hati, jangan ngebut!”
Einstan pun hanya menganggukkan kepalanya dan kemudian melajukan motornya.

Kini sinus sudah sampai di depan pintu rumahnya.

“Assalamu’alaikum,” teriak Sinus saat memasuki rumahnya.

“Wa’alaikumsalam. Eh, kok baru pulang, Sin?” balas seorang wanita paruh baya dan kini menghampiri Sinus. Ya, wanita paruh baya itu adalah bunda Sinus, Azkia.

“Iya, Bun. Tadi Sinus masih piket kelas, terus nggak ada angkot yang lewat. Untung tadi ada Kak Einstan yang nganterin Sinus,” jawab Sinus.

“Kak Einstan? Siapa dia?”

“Dia itu ketua OSIS di sekolahan Sinus, Bun. Eh, iya, Bun. Ayah udah pulang apa belum?”

“Udah. Ayah kamu masih mandi. Kamu juga buruan ke kamar, bersihin diri kamu! Setelah itu, segera turun ke bawah ya, kita makan malam bersama. Ada yang mau ayah dan bunda omongin sama kamu.”

“OK, siap, Bundaku tercinta!” jawab Sinus dengan posisi tangan layaknya orang yang sedang hormat pada umumnya.

Sinus pun segera pergi ke kamarnya di lantai dua. Azkia yang melihat putrinya bertingkah seperti itu, kemudian menyunggingkan senyumannya. Ia merasa sedih, karena di balik kelakuan ceria putrinya itu, sebenarnya Sinus menderita suatu ketakutan akan tempat gelap, Nyctophobia.

Bersambung....

***

LOVE IN TRIGONOMETRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang