1. Ibu Guru

22.2K 2K 35
                                    

"Eh, Ibu. Udah siang masih cantik aja, Bu. Sepertinya cahaya matahari tak lebih berkilau dari wajahmu."

Gadis dengan rambut yang ia kuncir ekor kuda itu tertawa tipis mendengar gombalan dari anak muridnya. Sudah tak asing lagi bagi telinga Diana mendengar rayuan dari siswa yang diajar olehnya. Ya, menjadi guru perempuan muda di sekolah SMA memang kurang lebih akan seperti ini nasibnya. Suka jadi incaran remaja puber yang baru mulai tertarik pada lawan jenis.

"Eh, kamu. Dari pagi sampai sudah siang masih tetap jelek aja," sahut Diana balik sambil berjalan menuju meja guru di depan kelas. Sahutannya itu sontak membuat murid-murid di kelasnya tertawa mengejek siswa yang tadi menggoda Diana.

"Sudah, sudah. Kalian bawa yang Ibu minta kan?" tanya Diana dari depan kelas.

"Bawa dong, Bu!"

"Oke, kalau gitu sekarang kalian ambil, lalu semuanya ikut Ibu ke lapangan ya."

"Siap, Bu!"

Usai mengatakan itu Diana pun keluar dari ruang kelas menuju lapangan. Di lapangan sudah tersedia meja yang berisi perlengkapan sablon sederhana seperti beberapa papan triplek, screen yang sudah berdesain, cat sablon, rakel, dan beberapa peralatan menunjang lainnya. Sedangkan untuk bahan yang akan dijadikan media sablonnya, Diana meminta muridnya untuk membawa kaus berwarna putih polos dari rumah masing-masing.

"Nanti per sepuluh orang aja ya, Pak, soalnya ini papannya juga cuma ada sebelas dan yang satu kan buat contoh Bapak," ujar Diana pada Pak Amir, rekan sesama guru seni budaya di sekolah swasta bernama SMA Gemilang ini.

"Iya, Mbak Diana."

Pak Amir merupakan guru seni budaya yang mengajar di kelas sebelas, sedangkan Diana mengajar di kelas dua belas. Tadinya sih Diana mengajar di kelas sebelas, tapi karena Pak Amir cukup kewalahan menghadapi murid kelas dua belas─yang kebanyakan resek banget mulutnya dan suka sekali membantah kalau diberi perintah oleh Pak Amir yang kebetulan adalah seorang pria yang lembut banget bicara dan perilakunya sehingga membuat murid-murid justru lebih dominan dibanding dirinya, Diana akhirnya ditukar tempatnya oleh pihak sekolah dengan Pak Amir. Sehingga sekarang jadi Diana lah yang mengajar di kelas dua belas.

Dibandingkan Pak Amir, Diana jauh lebih bisa meng-handle siswa-siswa yang nakal dan suka membantah karena Diana lebih tegas. Selain itu perbedaan usia Diana dengan murid-muridnya yang tidak terlalu jauh menjadikan interaksi di antara Diana dan murid-muridnya jadi lebih seperti kakak-adik. Makanya kalaupun Diana marah-marah, muridnya tidak merasa seperti diceramahi. Namun malah jadi segan karena seperti diomeli oleh kakak sulung mereka.

Setelah para muridnya berkumpul, Diana meminta mereka untuk berbaris dengan tiap baris terdiri dari sepuluh orang. Diminta baris begini pun mereka ada saja kelakuannya. Ya tarik-tarikan lah, gak mau satu barisan lah, gak mau di paling depan lah. Selalu ada saja tingkah anak sekolahan tuh.

"Kalian ini cuma disuruh baris buat menentukan antrian menyablon aja kok repot banget sih kayak disuruh antre buat dijorokin ke jurang aja," keluh Diana. Akhirnya ia pun turun tangan untuk mengatur barisan muridnya.

"Kelompok pertama barisan yang paling depan dulu ya. Yang lain perhatikan contoh dari Pak Amir baik-baik!" seru Diana.

"Yah, kita lebih suka perhatiin Ibu," celetuk Brian, salah seorang siswa yang memang paling sering bertingkah di sekolah.

"Kita? Kamu doang kali," sahut Diana santai. Dia tak pernah risi untuk membalas gombalan muridnya. Soalnya kalau Diana risi, muridnya malah akan semakin menjadi-jadi karena menganggap Diana tak mampu membalas mereka. Maka dari itu prinsip Diana adalah 'lawan balik'.

Mendengar jawaban Diana, muridnya yang lain pun langsung berseru, "Ciye, Briaaan!"

"Ssttt! Jangan berisik. Jangan ganggu murid lain yang lagi belajar di kelas." Diana memperingatkan sambil menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Silahkan dimulai saja Pak Amir," lanjutnya kemudian mempersilakan Pak Amir untuk memberi contoh.

DIVERSITY [DaMay Sister's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang